Ja’far Assagaf
Dosen IAIN Surakarta | Pengurus Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia
Matan adalah konten hadis, baik perkataan, perbuatan maupun apapun yang berasal dari Nabi Muhammad saw. Kajian kata dalam hadis dapat ditelusuri lewat Ilmu Gharibul Hadits(kosakata hadis) dalam beberapa karya seperti disusun Abu ‘Ubaid al-Harawiy (w. 224 H), Ibn Qutaibah (w. 276 H), Abu Ishaq al-Harabiy (w. 285 H), Abul Faraj Ibn Jauzi (w. 597 H), al-Zamakhsyari (w. 538 H) dan Ibnul-Atsir (w. 606 H). Karya-karya mereka dapat disebut kamus hadis.
Menarik memertimbangkan perlunya penelusuran spesifik pada konten hadis yang Nabi sabdakan menjadi studi tersendiri dalam hadis. Perilaku dan sabda Nabi dalam bahasa Arab, Anda tahu, dalam periwayatan tentu sedikit banyak menjadi bagian dengan perkataan dan komentar sahabat dan tabi’in. Kendati demikian, kosakata tersebut juga masih terkait unsur riwayat hadis bil ma‘na.
Secara umum ilmu gharibul hadits tetap mengandalkan logika bahasa Arab menurut arti asal sebuah kata dalam matan hadis. Untuk memahami lebih lanjut terkait ini silakan baca artikel tentang logika dan faktor pembentukan kata dalam bahasa Arab.
Semisal dalam contoh kata sya‘aba (شعب) dengan berbagai derivasinya, dapat ditelusuri oleh ulama dengan merunut asal katanya. Begitu pula ada yang langsung menyebutkan konteks bahasa sesuai bunyi kalimat yang terdapat dalam hadis. Imam Al Khattabi misalnya, menyebutkan ungkapan Ibn ‘Amr (w. 65 H) sya‘bun shagiirun min sya‘bin kabiirinyang berarti kemaslahatan yang sedikit dari kerusakan yang besar.
Ungkapan di atas pun masih memiliki logika bahasa Arab dari asal katanya, yaitu terpisah. Pernyataan itu dipahami bahwa kebaikan yang kecil tidak menyatu dengan keburukan yang banyak, karena itu keduanya terpisah.
Sementara Ibnul Atsir menyebutkan hadis tentang lelaki di antara empat anggota wanita ( syu‘abihaa al-arba‘/ شعبها الأربع, yang bermakna kedua tangan dan kedua kaki. Kata ini menjadi kiasan bersetubuh, karena dipahami bahwa empat anggota itu adalah cabang dari tubuh.
Kemudian contoh asal kata yang berbeda, dengan kesamaan huruf yang merujuk pada satu arti. Logika bahasa ini dapat digunakan untuk memaknai matan hadis, demikian pula dengan kata dengan kesamaan huruf asli yang susunannya berbeda.
Contoh kata karaba, terdapat atsar yang menyebutkan al-karuubiyyun dengan makna malaikat al-muqarrabun. Disebut demikian karena kelompok malaikat ini tergabung dalam satu komunitas. Dapat pula dipahami bahwa al-muqarrabun termasuk salah satu dari sekian kelompok malaikat yang tergabung karena kesamaan jenis, yaitu malaikat diciptakan dari cahaya.
Terkait bahasa yang muncul dari konteks sosial masyarakat Arab seperti kata Ja’far, tampak para pakar ilmu gharibul hadits tidak mencantumkan kata tersebut dalam karya mereka, alih-alih menyebutkan nama Ja’far lantaran berharap adanya oase.
Sementara kata Quraisy, mengutip berbagai komentar pakar bahasa, memahami maknanya yang dikaitkan dengan sosok pemberani. Begitu pula kata al-sandarah yang dikaitkan dengan takaran dan timbangan.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa kosakata dalam kamus hadis tak menyebutkan Ja’far sebagai sebuah kata tersendiri selain suatu nama, lantaran kata ini pada masa awal Islam telah populer sebagai nama orang.
Kata quraisy walau sudah populer sebagai nama suku, tetap disebutkan maknanya karena terdapat keterangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas tentang arti kata quraisy. Sedangkan untuk kata Ja’far tidak ada keterangan makna dari sahabat kecuali sekian kutipan bersumberkan syair-syair sebelum Islam.
Kata al-sandarah menjadi terkenal setelah syair yang dilantunkan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) saat duel dengan panglima Yahudi bernama Marhab dalam perang Khaibar tahun 7 Hijriyah. Pelacakan terhadap kata al-sandarah diperlukan untuk mendeteksi apakah kata tersebut terlacak dalam untaian syair pra-Islam. Atau apakah sementara pakar bahasa berpendapat bahwa kata tersebut hanya bersumber dari peristiwa perang Khaibar?
Patut menjadi catatan jika ternyata sebuah kata dalam hadis digunakaan terkait dengan nilai-nilai Islam. Sebagai contoh kata al-mufarridun dalam riwayat Shahih Muslim. Kata ini dimaknai Nabi sebagai lelaki maupun perempuan yang banyak mengingat Allah swt. Apakah kata tersebut sudah ada sebelum Islam, dan kanjeng Nabi Muhammad mengubahnya ke makna Islami? Ataukah kata al-mufarridun tersebut benar-benar sebuah kata baru yang Nabi ucapkan?
Dapat kita simpulkan bahwa memaknai kata dalam bahasa Arab, terlebih bahasa yang digunakan pada masa awal Islam seperti dalam hadis, membutuhkan beberapa pendekatan untuk memahami makna sesuai konteks masa tersebut. Studi ilmu gharibul hadits perlu digunakan untuk memaknai sabda Nabi maupun sahabat dengan menyesuaikan logika bahasa Arab.
Tentu menelaah kesesuaian bahasa di masa lampau adalah kerja ilmiah yang cukup berat. Namun dari pemahaman kata yang mengiringi hadirnya Islam, kita akan lebih tahu bagaimana kontekstualisasi ajaran-ajaran yang terdapat dalam matan sebuah hadis. Karena hadis, sebagai sebuat teks maupun tradisi lisan tak lepas dari budaya yang mengikutinya.
Penulis : Ja’far Assagaf | sumber tulisan : https://wikihadis.id/