Ilustrasi : t |
Penulis : Ust. Abdurrahman Kamil Assegaf, MPd.I. |
Idul Fitri terdiri dari dua kata yaitu عيد dan الفطر . Definisi maknanya adalah kembali ke karakter awal penciptaan sebagaimana disebutkan di dalam ensiklopedia kesastraan Arab, Lisanularab yang dihimpun oleh Ibnu Mandzur.
Maksud dari penciptaan awal memiliki dua pengertian, yakni yang pertama; secara psikis manusia butuh kepada Allah SWT, dan yang kedua; manusia bersih dari dosa sebagaimana dia dilahirkan.
كل مولود يولد علی الفطرۃ
“Setiap anak yang dilahirkan di atas fitrah (suci dari dosa)”
Di hari raya Idul Fitri seluruh dosa hamba diampuni oleh Allah SWT. Apabila hamba tersebut telah melaksanakan ibadah puasa dan zakat fitrah dengan baik dan benar.
Oleh sebab itu musuh kita yang nyata yakni Iblis tidak tinggal diam dengan hal tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Wahab bin Munabbih, Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya Iblis berteriak di setiap hari raya Idul Fitri. Maka berkumpul di sisinya para pengikutnya, mereka berkata wahai tuan kami siapa yang membuat engkau marah kami akan hancurkan dia. Iblis menjawab, tidak ada seorang pun. Akan tetapi Allah SWT sungguh telah mengampuni kepada umat ini dihari ini (Idul Fitri). Maka hendaklah kalian menyibukkan mereka dengan syahwat, kelezatan yang menjerumuskan mereka ke dalam dosa, dan meminum minuman keras hingga Allah SWT memurkai mereka. (Di sebutkan di dalam kitab Duratunashihin)
Dari ilustrasi kisah di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa meraih esensi Idul Fitri adalah orang yang mampu memproteksi dirinya dari perbuatan dosa dan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Al-Imam Ali krw. menyatakan :
اليوم لنا عيد و غدا لنا عيد و كل يوم لا نعص الله تعالی فيه فهو لنا عيد
“Hari ini hari raya bagi kami, dan besok hari raya bagi kami, dan setiap hari yang kami tidak bermaksiat kepada Allah SWT dihari tersebut maka itu adalah hari raya bagi kami.”
Disebutkan di dalam syair :
ليس العيد لمن لبس الجديد
انما العيد لمن طاعته لله تزيد
“Esensi hari raya bukan sekadar orang itu mengenakan pakaian baru, tetapi esensi hari raya adalah ketaatnya kepada Allah SWT bertambah”
Oleh sebab itu esensi dari Idul Fitri adalah ketakwaan, dan ketakwaan memiliki dua dimensi, dimensi ketuhanan dan dimensi sosial.
Dimensi ketuhanan adalah berupa ritual ibadah kepada Allah SWT, seperti sholat, puasa dan membaca Al-Quran. Adapun dimensi sosial adalah berupa ibadah sosial seperti zakat, sedekah dan infaq.
Karenanya, ibadah puasa dipadukan dengan ibadah zakat fitrah : meliputi dua dimensi ibadah yakni dimensi ketuhanaan dan dimensi sosial. Ini lah esensi ibadah yang sesungguhnya yang diidamkan di dalam al-Quran, habluminallah wa habluminanas yang akan melahirkan mahabbah dan ma’rifat.
Puncak pencapaian di dalam ibadah kepada Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan oleh Annemarie Schemmel di dalam bukunya yang berjudul Mystical Dimensions of Islam—yang menganalisa dan mengkaji dunia sufistik, “The last stations on the mystical path are love and gnosis, mahabba and ma’rifa” (Stasiun terakhir di dalam tariqoh sufi adalah cinta dan makrifat).
Sebab itu pula, para ulama sering mengartikan
شهر رمضان مدرسۃ الصالحين
“Bulan Ramadhan adalah sekolah bagi orang sholeh” untuk mendidik jiwa ini dalam konsep dan kurikulum dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi sosial guna menggapai puncak ibadah mahabbah dan ma’rifat.
Maka orang yang melaksanakan konsep dan kurikulum dua dimensi tersebut diberikan gelar minal’aidin wal faaidzin, orang yang kembali kepada fitrah dan sukses di dalam pelaksanaanya.