Foto : conncoll.edu |
Penulis : Ja’far Assagaf (Dosen IAIN Surakarta) |
Pagi hari duduk santai di rumah. Tak ada kuliah di penghujung Agustus 2018. Teringat ungkapan Nur Kholis Majid (wafat bulan Agustus tahun 2005 M), Putera Mahkota Studi-Studi Islam adalah Alwi Shihab (lahir bulan Agustus 1946 M) yang saat itu belum lama menyelesaikan doktoralnya.
Mendengar hal tersebut, mantan Menlu di era Presiden Gus Dur (wafat Desember 2009 M) yang menguasai beberapa bahasa itu merespon, “badan ini terasa panas-dingin, bergetar…”
Banyak orang berbicara tentang studi Islam. Entah itu masa depan, harapan, kesuramannya dan sebagainya. Paling aneh adalah mereka yang menyatakan bahwa studi Islam telah SELESAI.
Bila dilihat berbagai cabang ilmu dalam studi-studi Islam, nampaknya pernyataan tersebut mungkin ada benarnya. Namun fenomena dan fakta lapangan yang ada ternyata studi Islam belum menukik secara mendalam dan komprehensif bagi mereka yang berkecimpung di bidang tersebut saat ini.
Mungkin studi Islam telah SELESAI bagi punggawa ilmu-ilmu ini, yaitu ulama kaliber, tetapi bagi pelajar bahkan dosen sekalipun dengan tingkatan titelnya, agaknya studi Islam belum tuntas.
Menjadi ahli dalam studi Islam, ibarat mengarungi lautan luas lagi dalam yang penuh dengan ikan dan rumput bahkan karang. Mereka yang berkecimpung untuk mendalami studi Islam setidaknya harus memiliki beberapa perangkat utama.
Sebagai dasar dan alat untuk memahami studi Islam, seseorang harus mendalam penguasaan bahasa, terutama bahasa Arab. Begitu juga bahasa Inggris, Persia, Jerman, Prancis, Latin dan mungkin China. Aneka bahasa ini menampilkan sumber-sumber pengetahuan dari berbagai ilmu. Khusus untuk bahasa Arab penguasaan terhadapnya harus lebih mendalam karena sumber-sumber utama studi Islam bermula dari sini.
Untuk isi atau konten materi, nampaknya sejarah Islam adalah pokok yang tidak boleh tidak harus dikuasai oleh siapapun yang ingin menjadi ahli dalam studi Islam. Sejarah akan berbicara, di antaranya tentang al-Qur’an apalagi Hadis. Cakupan sejarah tidak hanya pada kronologis atau periodik, tetapi mencakup analisa munculnya berbagai disiplin ilmu dalam Islam.
Penguasaan konten materi tentu dibarengi dengan kerangka berfikir agar menjadi pisau analisa yang tajam untuk ‘membaca’ isi sejarah; kandungan al-Qur’an dan konteks Hadis. Di sini diperlukan cara berfikir (mantiq) yang logis, kritis dan terarah. Filsafat, khususnya filsafat Islam menjadi alat untuk menganalisa konten materi. Usul fiqh termasuk cara befikir yang filosofis meski ciri khas kajian fiqh.
Bahasa sebagai alat bantu. Sejarah adalah konten materi yang harus dikuasai secara mendalam dan detail. Serta filsafat sebagai alat untuk menganalisis, dapat dibantu dengan pendekatan fisika, sosiologi, antropologi, dan sebagainya akan menghasilkan format studi Islam yang mampu untuk menjawab tantangan zaman yang terus berkembang.
Sayangnya dewasa ini, tidak sedkit mereka yang menekuni studi Islam nampak memiliki kelemahan dalam tiga ranah ini sekaligus, atau bahkan secara spesifik lemah dalam konten materi sejarah. Kata Bung Karno (wafat Juni 1970 M) JAS-MERAH…