Antara Rasional dan Empiris dari kisah Nabi suci saw  dalam ‘dekapan’ Syaibah (Abdul Mutthalib)

Ja’far Assagaf

(Anggota Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu, dan Dosen IAIN Surakarta)

Beberapa hari ini terjadi polemik lantaran ungkapan dai terkenal Gus Ahmad Muwafiq dalam ceramahnya di Maulid Nabi suci saw yang viral di youtube berdurasi hampir 2 jam. walaupun pak Kiyai Ahmad Muawafiq telah memberikan klarifikasi dan bahkan minta maaf secara terbuka kepada kaum Muslimin di Indoensia bahwa ia tidak bermaksud untuk menghina Nabi suci saw sebagai tokoh yang diidolakan oleh setiap muslim. Tapi menarik untuk melakukan kajian terhadap hal tersebut.

Sebenarnya ada 3 hal yang perlu dikaji ceramah tersebut dari aspek keilmuan, yaitu (1) konteks mu’jizat sebelum Nabi suci saw diutus dan kedudukan riwayat-riwayatnya; (2) kondisi sosial masyarakat Arab yang rata-rata beragama pagan (penyembah berhala) dengan masyarakat ahli kitab (Yahudi dan Nashrani saat itu) yang mengetahui tanda-tanda nubuat, yang mana ini terkait dengan sikap mereka terhadap Nabi suci saw di masa kecil; (3) konteks pengasuhan masyarakat Arab khususnya Abdul Mutthalib yang mengasuh cucunya; Nabi suci saw. Bagian ketiga inilah yang akan penulis kaji meski tak sempurna, karena bagian ini nampaknya menjadi pemicu utama munculnya polemik tersebut yang mengingatkan diri penulis yang lemah ini terhadap bacaan di masa lawas secara manual, ya, kitab al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam (w. 213 H).

Tulisan singkat ini berusaha mengungkap sesuatu yang bersifat rasional sekaligus empiris dari kisah masa kecil Nabi suci saw dalam dekapan kakeknya; Abdul Mutthalib.

Sebagaimana telah dipahami dan diketahui bersama, Gus Muwafiq menyatakan kata ‘rembes’ itu terjadi pada diri Nabi suci saw di waktu kecil. kata ‘rembes’ dalam bahasa Jawa jika digunakan pada anak kecil yang masih suka bermain-main dan berkonotasi kalau anak itu tidak terurus, bisa kotor, atau umbelan (lantaran tidak terurus ?) seperti keterangan kiyai tersebut.

Merasionalkan kondisi seperti ini kepada Nabi suci saw lantaran terdapat dugaan dan mungkin beberapa fenomena umum kalau rata-rata anak kecil yang diasuh kakeknya kebanyakan tak terurus lantaran kasih sayang kakek pada cucunya sehingga kondisi ‘rembes’dialami oleh anak-anak itu. Atau dapat pula dinyatakan penalaran tersebut berdasarkan pengalaman pribadi Gus Muwafiq yang mengisahkan pengalamannya sendiri saat kecil seperti terungkap dalam ceramahnya tersebut, lalu melakukan generalisasi dengan menyatakan hal tersebut terjadi secara umum.

Tidak semua penalaran metode induktif itu berasal dari kondisi dan situasi yang sama karena secara empiris memang beda, maka rasionalisasi tentang masa kecil Nabi suci saw berpijak pada penalaran induktif yang tentu berbeda dengan lainnya setidaknya terdapat indikator yang bersumber dari al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Ishak (w. 151 H) dan karya Ibn Hisyam, al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’ad (w. 230 H) dan bisa pula ditambahkan Tarikh al-Thabari karya al-Thabari (w. 310 H). Pemilihan sumber ini karena termasuk sumber lebih awal dibanding lainnya, dan jalannya ceritera dalam kitab sejarah terasa lebih mengalir.

Dapat dinyatakan secara umum, kalau anak-anak yang banyak bermain mereka dapat mengalami apa yang disebut ‘rembes’, siapapun dia. Tentu hal tersebut dapat saja tidak berlaku secara menyeluruh untuk setiap anak, karena secara rasional tetap ada fenomena anak yang waktu kecilnya begitu terurus baik yang hidup di pedesaan atau perkotaan oleh kakek dan neneknya, di zaman lampau maupun zaman sekarang. Pertanyaannya apakah Nabi suci saw mengalami seperti yang diungkap oleh pak kiyai melalui kata’rembes’ lantaran kurang diperhatikan oleh kakeknya Abdul Mutthalib yang aslinya bernama Syaibah?

Sebelum menjawab hal tersebut patut kiranya dipahami bahwa mencari sumber tentang masa kecil Nabi suci saw tidaklah rinci terutama saat diasuh oleh kakeknya Abdul Mutthalib. Tetapi beberapa ungkapan kata dari sumber awal al-Sirah al-Nabawiyyah dapat menjadi tolok ukur penalaran induktif berbasis data empiris kalau perhatian Abdul Mutthalib kepada cucunya sangat serius. Ibn Ishak dan Ibn Hisyam melaporkan bahwa setelah wafat Ibunda Nabi suci saw; siti Aminah, Nabi Muhammad kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Mutthalib. Sang kakek memuliakan cucunya, menaruh didekatnya bahkan tempat yang khusus untuk Abdul Mutthalib disamping Ka’bah hanya boleh diduduki oleh sang Nabi suci saw, sementara anak-anak Abdul Muttalib tidak boleh di situ (al-Sirah al-Nabawiyyah Ibn Ishak, Ibn Hisyam…) Ini menjelaskan betapa besar sayang dan cintanya Abdul Mutthalib pada cucunya; Muhammad sang Nabi suci saw.

Saat menceriterakan kisah di atas, Ibn Hisyam mengungkap bahwa:   

فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي وهو غلام جفر…

Sementara Ibn Ishak memberikan gambaran saat Nabi suci saw disusui, Halimah berkata:

…فوالله ما بلغ سنتيه حتى كان غلاما جفرا…

Kata “ghulamun jafrun” dalam Ibn Hisyam dan kata “ghulaman jafran” dalam Ibn Ishak memberikan ilustrasi bahwa kondisi fisik Nabi suci saw sehat dan bugar tidak kurus sehingga membuat orang merasa iba. Bahkan kata ini memang spesifik digunakan untuk anak yang telah tumbuh dagingnya (padat berisi) lantaran asupan makanan dan susunya terpenuhi (lihat makna kata “Jafr/ جفر ” di al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar karya Ibn al-Atsir w. 606 H; Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzhur al-Ifriqiy w. 711 H, Tahqiq Sirah Ibn Hisyam, 2004, juz I, 123).

Ungkapan tentang kondisi Nabi suci saw saat dipanggil kakeknya untuk duduk bersamanya didekat Ka’bah dan keterangan Halimah al-Sa’diyyah menunjukkan bahwa kondisi Nabi saw sangat sehat, terurus makan dan minumnya dan bahkan sang kakek amat memperhatikannya.

Secara matematis ungkapan Halimah tersebut saat Nabi suci saw berumur 2 tahun sementara ungkapan dalam kisah Abdul Mutthalib saat Nabi saw berumur antara 6-8 tahun.  Berarti 4-6 tahun lamanya (sampai Abdul Mutthalib wafat), Nabi suci saat itu dalam kondisi benar-benar terurus melaui pemahaman kata ghulam jafr/ جفرغلام . 

Perhatian sang kakek juga dimuat oleh Ibn Sa’ad yang melaporkan kalau Abdul Mutthalib menugaskan Ummu Aiman untuk selalu menjaga Nabi suci saw, dan saat Ummu Aiman lalai menjaganya, tak pelak lagi Abdul Mutthalib adalah orang yang paling sibuk mencari cucunya itu dan menegur Ummu Aiman.

Ibn Sa’ad berkata:…

وقال عبد المطلب لأم أيمن، وكانت تحضن رسول الله، صلى الله عليه وسلم، يا بركة لا تغفلي عن ابني فاني وجدته مع غلمان قريباً من السدرة…

Artinya: “…Abdul Mutthalib berkata pada Ummu Aiman, -dan dia (Ummu Aiman) mengasuh Rasulullah saw- Hai Barakah (nama asli Ummu Aiman) jangan kamu lalai dari anakku ini (Abdul Mutthalib senantiasa memanggil Nabi suci saw dengan anakku), sungguh aku mendapatinya (bermain) bersama anak-anak dekat dari pohon sidrah (sejenis bidara)

Informasi dari sumber-sumber sejarah awal dapat dinyatakan bahwa Abdul Muttalib sangat memperhatikan masa kecilnya kanjeng Nabi Muhammad saw. Perhatian ini disebabkan karena: (1) Nabi suci Muhammad saw adalah cucunya yang memiliki latar belakang psikologi tersendiri lantaran ayahnya Abdullah telah wafat dan ayahnya pun menjadi anak yang ‘diistimewakan’ lantaran nazar Abdul Mutthalib; (2) Abdul Mutthalib telah mendengar seperti tertera dalam sumber-sumber awal tersebut bahwa cucunya itu akan menjadi seorang Nabi; (3) kekhawatiran sang kakek akan kejahatan orang-orang terhadap cucunya. Perhatian Abdul Mutthalib ini bisa ditelusuri melalui keterlibatannya sejak Nabi suci saw berada dalam kandungan ibunya, masa penyusuan sampai berada dalam asuhan Abdul Mutthalib dalam kitab sejarah awal.

Berpijak dari fakta dan analisis di atas, dapat dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw saat berada dalam dekapan asuhan sang kakek, memperoleh perhatian yang sangat besar. Secara logika bahwa berdasar data empiris tersebut amatlah tak mungkin ‘rembes’ dengan pengertian kusut, tak terurus, umbelan terjadi pada Nabi suci saw. Ini bukan berarti menafikan aspek basyariyyahnya Nabi suci saw sebagai manusia yang juga pergi ke pasar berdagang (QS. al-Furqan; 20) dan sakit mata saat berumur 7 tahun yang dimuat dalam kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair al-‘Ibad karya al-Shalihi al-Syami (w. 942 H). Karya ulama abad 10 H ini menukil dari Abu al-Faraj Ibn Jauzi (w. 597 H).

Sakit mata dapat dialami oleh siapa saja, terlebih sakit mata (ramad) itu ditularkan melalui berbagai media, sehingga siapapun dapat menderita penyakit tersebut. Dalam al-Qur’an bahkan Nabi Ya`qub as juga mengalami sakit mata yang mendekati kebutaan/ rabun (QS: Yusuf; 84).

Dalam teologi ahlu sunnah para Nabi dapat mengalami sakit seperti manusia karena mereka manusia, namun sakit mereka bukanlah sakit yang membuat mereka berubah menjadi mengerikan seperti gambaran riwayat israiliyyat tentang penyakit Nabi Ayyub as.

Dengan demikian maka penyakit mata yang dialami oleh Nabi Muhammad saw saat kecil (jika riwayat ini benar karena tidak terdapat dalam sumber-sumber awal sirah) adalah sesuatu yang manusiawi yang datanganya bisa dari berbagai kondisi dan itu tentu berbeda dengan konotasi kata ‘rembes’ yang merujuk pada tidak terurusnya Nabi suci saw saat kecil oleh kakeknya.

Meski kita dapat saja menduga seperti umbulen dapat terjadi pada siapa saja saat kecil termasuk Nabi suci saw (inipun harus ada data, bukan berdasar asumsi dengan rasionalisasi atas kondisi anak-anak secara umum) tetapi tentu itu bukan lantaran tidak terurus yang diistilahkan dengan ‘rembes’ tetapi lantaran penyakit flu, pilek dan sebagainya dan ini adalah sesuatu yang basyariyyah

Selain keterangan-keterangan di atas yang berusaha tidak menampilkan Nabi suci saw dari aspek kenabiannya, tentu ada nilai lain bagi setiap Muslim untuk memandang, membicarakan pribadi, dan meyakini tentang fisik dan non fisik dari Rasulullah suci saw.

Kartasura, 6 Desember 2019

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com