Shalat Berjama’ah dan Pandemi Covid 19 dalam Perspektif Hadis

Ja’far Assagaf

Dosen IAIN Surakarta | Pengurus Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia

 


1. Definisi Shalat Berjama’ah

Shalat merupakan ibadah yang intensitas waktu lebih sering dilaksanakan bagi kaum Muslim ketimbang ibadah lainnya seperti Puasa, Zakat dan Haji. Shalat telah dikenal secara bahasa adalah doa dan secara istilah adalah gerakan-gerakan khusus yang dimulai dengan Takbiratul Ihram dan diakhiri dengan salam, dengan aneka kualifkasi yang spesifik.[1]

Makna jama’ah secara bahasa adalah sekelompok orang, sementara menurut terminologi bahwa shalat berjama’ah yaitu terikatnya shalat ma’mum (orang yang mengikuti) dengan shalatnya imam (yang memimpin shalat).[2] Shalat berjama’ah dikerjakan secara bersama-sama (paling sedikit dua orang; imam dan ma’mum) yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh orang-orang (ma’mum) yang berada di belakang imam itu. 

2. Macam-Macam Shalat Berjama’ah

Dalam Islam, shalat berjama’ah dapat dilaksanakan pada semua shalat fardhu baik fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, dan beberapa shalat sunnah. Pada shalat fardhu ’ain yaitu shalat lima waktu dalam sehari dan semalam,  dan pada fardhu kifayah dilaksanakan secara berjama’ah pada shalat jenazah. Sementara pada shalat sunnah yaitu pada shalat Istisqa, shalat gerhana (Matahari maupun Bulan), shalat Tarawih serta shalat Idul Fitri dan Adha. Semua jenis shalat sunnah maupun shalat yang fardhu kifayah dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri, namun lebih utama dikerjakan secara berjama’ah. Adapun shalat Fardhu ‘ain lima waktu, dalam hal ini ulama berbeda tentang hukum berjama’ah di dalam pelaksanaannya.

Shalat Jum’at sesungguhnya merupakan shalat yang berada di waktu Zuhur sehingga shalat Jum’at merupakan kewajiban setiap muslim (fardhu ‘ain), namun hari Jum’at merupakan hari istimewa dan memiliki hukum tersendiri yang dapat dinyatakan secara pasti wajib dikerjakan secara berjama’ah dan tidak sah bila dikerjakan secara sendiri-sendiri. Hal ini yang membedakan pelaksanaan shalat Jum’at dengan shalat fardhu ‘ain lima waktu. Bahkan bisa dinyatakan bahwa dalam Islam tidak ada shalat berjama’ah yang hukumnya fardhu ‘ain kecuali shalat Jum’at.

3. Hukum Shalat Berjama’ah dan Jum’at

Hukum melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah terdapat perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan itu bisa dilihat pada tiga pendapat, yaitu:[3]

Pertama, pendapat yang menyatakan shalat berjama’ah wajib ‘ain. Salah satu hadis yang dijadikan landasan kelompok ini adalah:

…عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال…والذي نفسي بيده لقد هممت أن آمر بحطب يحتطب ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها ثم آمر رجلا فيؤم الناس ثم أخالف إلى رجال فأحرق عليهم بيوتهم…    (رواه البخاري)[4]

Ulama yang mendukung pendapat ini di antaranya Ibn Mas‘ud (w. 32 H), al-Auza’iy (w. 157/8 H), Abu Tsaur, Imam Ahmad (w. 241 H) dan sebagainya. Kelompok ini ada yang menjadikan shalat jama’ah fardhu ‘ain dan merupakan syarat sah seperti Daud al-Zahiri (w. 270 H) dan ada yang tidak menjadikannya syarat sah sepeti Imam Ahmad (w. 241 H).

Kedua, pendapat yang menyatakan hukum shalat berjama’ah adalah wajib kifayah. Salah satu hadis yang dijadikan landasan kelompok ini adalah:

…عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِى قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ   (رواه أبو داود)[5]

Ulama yang mendukung pendapat ini di antaranya Imam Syaf’iy (w. 204 H), Abu Ishaq dan sebagianya

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa shalat berjama’ah lima waktu adalah sunnah muakkadah. Salah satu hadis yang dijadikan landasan kelompok ini adalah:

عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة   (رواه البخاري)[6]

Pendapat ketiga ini merupakan pendapat mayoritas ulama seperti dinyatakan Qadhi ‘Iyadh al-Yahsubi (w. 544 H) dan al-Nawawi.

Khusus untuk kewajiban shalat Jum’at ulama sepakat merupakan wajib ‘ain bagi laki-laki dewasa yang tanpa uzur syar’iy, dan dilaksanakan secara berjama’ah (di masjid). [7]  Meski ualama berbeda pendapat tentang syarat dan tata cara pelaksanaannya. Di antara dalil yang digunakan tentang wajib melaksanakan Jum’at QS: al-Jum’ah; 9 dan hadis berikut:

…أن عبدالله بن عمر وأبا هريرة حدثاه أنهما سمعا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول على أعواد منبره  لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين   (رواه مسلم)[8]

Selain itu kewajiban Jum’at bersandar pula pada konsensus (ijma’) ulama dan kaum muslimin.

4. Kondisi yang Membolehkan Meninggalkan Shalat Berjama’ah dan Jum’at

Islam merupakan agama yang mudah dan karena sifat kemudahan tersebut maka Islam selalu hadir dalam kondisi apapun, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan alasan manusiawi maupun alasan alam yang tidak mendukung seor4ang muslim dalam menjalankan kewajibannya seperti shalat berjama’ah dan shalat Jum’at.

Dalam hadis ditemukan alasan tidak melaksanakan shalat di mesjid secara berjama’ah yang disebabkan keadaan alam atau berada dalam perjalanan seperti riwayat di bawah ini

…عن ابن عمر أنه نادى بالصلاة في ليلة ذات برد وريح ومطر فقال في آخر ندائه ألا صلوا في رحالكم ألا صلوا في الرحال ثم قال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يأمر المؤذن إذا كانت ليلة باردة أو ذات مطر في السفر أن يقول ألا صلوا في رحالكم   (رواه مسلم)[9]

Hadis ini menjelaskan ada tiga hal yang bisa membuat orang tidak shalat berjama’ah yaitu malam yang sangat dingin, hujan atau dalam perjalanan. Imam al-Nawawi mengomentari bahwa hadis ini menjadi dalil meringangkan perintah untuk berjama’ah disbebkan hujan atau beberapa uzur (syar’i).[10] Sementara hadis berikut juga menjelaskan gugurnya berjama’ah lantaran alasan kondisi diri maupun keadaan yang menakutkan yang biasanya datang dari luar. 

…عن ابن عباس قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم من سمع المنادى فلم يمنعه من اتباعه عذر. قالوا وما العذر قال خوف أو مرض, لم تقبل منه الصلاة التى صلى   (رواه أبو داود)[11]

Dalam hadis di atas, disebutkan sakit maupun ketakutan atau takut kepada sesuatu merupakan penghalang bagi seseorang untuk tidak shalat berjama’ah di masjid.

Kedua hadis tersebut dapat pula diterapkan pada pelaksanaan shalat Jum’at bila mengalami hal yang sama seperti sakit, ketakutan, atau hujan yang sangat deras.  Ulama juga menambahkan bahwa kewajiban shalat jum’at itu gugur bagi hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit berdasar hadis berikut:

…عن طارق بن شهاب عن النبى -صلى الله عليه وسلم  قال الجمعة حق واجب على كل مسلم فى جماعة إلا أربعة عبد مملوك أو امرأة أو صبى أو مريض   (رواه أبو داود)[12]

 

5. Konteks Pemahaman Hadis-Hadis tentang Shalat Jum’at dan Shalat Berjama’ah dengan Penularan Pandemi Covid 19

Pada masa kini terjadi penyebaran covid 19 yang hampir di seluruh pelosok dunia, di Indonesia angka positif telah mencapai 11.192 orang, yang meninggal 845 orang dan sembuh mencapai 1876 orang (dilansir kompas.com 03-05-2020). Para pakar kesehatan juga telah menyebutkan bahwa penularan covid 19 melalui droplet yang telah disepakati. Meski mereka masih berbeda tentang keberadaan virus tersebut saat berada di udara.

Terdapat penjelasan kalau virus penyebab covid 19 dapat bertahan di udara bisa sampai 8 jam (seperti dilansir kompasTV, 6-04-2020), yang perlu dipahami bahwa virus penyebab covid 19 merupakan virus baru dan karena itu di antara ahli masih terdapat keterangan berbeda, maka tindakan yang tepat adalah berusaha menghindar berdekatan dengan orang lain (sosial distancing) dan tetap menggunakan masker terutama saat keluar rumah. Di al-Azhar Mesir, Saudi dan lainnya serta MUI (No. 14 tahun 2020) di Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang berpijak dari aspek kesehatan dan keselamatan jiwa berdasar tujuan atau maksud dari syari’ah Islam (maqashid al-syari’ah).

Dalam fatwa-fatwa tersebut terdapat kesamaan, tentang larangan bagi orang-orang untuk melakukan aktivitas yang melibatkan perkumpulan banyak orang termasuk shalat berjama’ah dan shalat Jum’at, sebab penularan dapat dan bahkan sangat diduga kuat (zhan) akan terjadi bila hal tersebut tetap dilaksanakan. Meski ada pula ulama yang berbeda pendapat dengan mayoritas ulama masa kini dalam menyikapi shalat berjama’ah dan Jum’at di masa pandemic covid 19, namun pendapat minotitas tersebut dapat dinyatakan lebih berdasar pertimbangan fiqh murni ketimbang kolaborasi dengan pendapat para ahli.

Dalam memahami kondisi kekinian terkait covid 19, khususnya pelaksanaan shalat Jum’at dapat diperkuat dengan hadis berikut   

…عن أبى الجعد يعنى الضمرى قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه   (رواه الترميذي)[13]

Bahwa pada dasarnya shalat Jum’at tidak boleh ditinggalkan sebanyak 3 kali (berturut-turut), namun dalam hadis tersebut terdapat kata-kata تهاون   yang berarti menganggap remeh atau menggampang-gampangkan atau meninggalkan Jum’at tanpa uzur. Pada dasarnya ibadah-ibadah seperti shalat Jum’at yang ada dapat ditinggalkan lantaran ada gangguan yang dapat mencelakai jiwa maupun harta seperti pernyataan Ibn al-Arabiy al-Maliki (w. 543 H).[14] Uzur dimaksud dapat berupa alam dan kondisi fisik di atas, terlebih hadis riwayat Abu Daud di atas menyatakan secara jelas kalau shalat berjama’ah boleh ditinggalkan lantaran takut atau sakit.

Perlu dipertegas bahwa takut atau ketakutan pada sesuatu itu dapat beraneka bentuk seperti takut karena nanti dirampok, takut nanti dibunuh, takut celaka lantaran kondisi alam seperti gunung meletus, gempa bumi dan sebagainya, tentu takut pada covid 19 juga masuk dalam kategori takut atau ketakutan akan tertular karena telah dipastikan dengan ilmu kesehatan oleh para ahli di bidangnya kalau penularan covid 19 dapat terjadi karena berkumpulnya orang-orang dalam jumlah yang banyak, karena itu semua orang diminta untuk menjaga jarak dan menggunakan masker. Perlu dipahami ketakutan pada covid 19 bukan berarti seorang muslim takut selain pada Allah swt, ini dua hal yang berbeda. Takut pada Allah swt tentu dengan cara menjalankan perintah dan larangannya berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Begitu banyak ayat maupun hadis yang menyatakan kalau Islam agama yang mudah, kemudahan itulah yang menjadi dasar dalam menjalankan syari’ah, karena Allah inginkan kebaikan, kemudahan dan keselamatan saat menjalankan perintah-Nya, bukan justeru sebaliknya dapat menjadikan celaka bahkan kematian. Dalam hadis pun Nabi saw menyatakan agar menghindar dari orang yang berpenyakit menular,[15] Ini bukan berarti takut pada penyakit tersebut. Tetapi karena sifat penyakit itu adalah menular maka sebagai muslim wajib melakukan ikhtiyar meski semua merupakan qadha dan qadar Allah swt.      

6. Keselamatan Jiwa besrsifat Umum Sebagai  Skala Prioritas

Berpijak dari uraian di atas dan kondisi terkini maka patut dilihat bahwa misi agama Islam sebagai rahmatan li al-alamin, rahmat bagi semua alam termasuk bagi pemeluk Islam sendiri. Dalam pelaksanaan ajaran agama, Islam menempatkan kemudahan daripada kesulitan (QS: al-Baqarah; 184), terutama dalam keadaan yang dharurat seperti menghadapi pandemi covid 19 ini maka konsep rukhshah itu menjadi sesuatu yang lazim digunakan.

Memang ulama dahulu ada yang menmpatkan skala prioritas keselamatan agama lebih diutamakan dari keselamatan jiwa, namun hal tersebut tidaklah merupakan sesuatu yang final mengingat dalam fakta sejarah seperti ‘Imar bin Yair (w. 37 H) melakukan tindakan penyelamatan jiwa saat disiksa oleh Abu Jahal. Islam menjadi agama yang dapat diaktualisasikan oleh siapapun dengan kondisi apapun karena Islam senantiasa bersesuaian dengan zaman (mulazamah al-zaman).

Dengan dasar menyelamatkan jiwa maka ruh Islam memanggil saat pandemi covid ini dengan melihat pelaksanaan shalat Jum’at dan berjama’ah diganti dengan shalat lima waktu di rumah dengan 3 pertimbangan yaitu dari dua aspek yaitu ‘illat, dan kemaslahatan umum.

Dari aspek ‘illat (penyebab) dapat dipetik hadis riwayat Muslim dari Ibn Umar (w. 74 H) dan hadis riwayat Abu Daud dari Ibn ‘Abbas (w. 68 H) bahwa Jum’at dan shalat berjama’ah tidak dilaksanakan di masjid karena ada ‘illat hukum yaitu ditakutkan akan mendatangkan kecelakaan atau kebinasaan seperti sakit yang dapat menyebabkan kematian seperti covid 19 yang telah merenggut sekian ratus ribu nyawa di dunia. Di sinilah hukum meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid memiliki ‘illat untuk diganti dengan pelaksanaannya di rumah berdasar dari kaedah

الحكم يدور مع العلّة وجودا وعدما[16]

Keberadaan ‘illat di atas menyebabkan hukum pelaksanaan Jum’at dan berjama’ah lima waktu berubah menjadi pelaksanaan di rumah.

Dari aspek kemaslahatan dapat dilihat dari dua hal yaitu dengan menolak kemungkinan datangnya bahaya dan diusahakan berjalan seiring dengan kemaslahatan serta menciptakan kemaslahatan umum yang lebih besar dengan cara menolak datangnya kemudharatan yang jauh lebih besar meski terkadang harus menempuh hal yang mendatangkan mudharat kecil. Kaedah  درء المفاسد وجلب المصلح   berusaha menempatkan dan menghindari kemudharatan sebagai skala prioritas yaitu mencegah munculnya penambahan penderita covid 19 bahkan kematian penderitanya meski dalam shalat Jum’at dan berjama’ah di masjid terdapat kemaslahatan. Shalat berjama’ah tetap dapat dilaksanakan di rumah bersama keluarga merupakan hal yang maslahat dalam kondisi pandemic dan sekaligus ikut membantu meminimalkan dan mungkin menihilkan penularan covid 19 di tempat masing-masing.   

Sementara kaedah إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما[17] atau sering disebut pula dengan الضرر الأشدّ يزال بالضرر الأخف bahwa kemudharatan yang lebih besar dihilangkan dengan kemudharatan yang kecil. Pandemi Covid 19 dalam konteks sekarang merupakan bahaya dalam kategori besar sehingga menjadikan ekonomi dan sebagainya dari sendi-sendi kehidupan umat manusia seakan mati. Cara pencgahannya menurut para ahli yaitu dengan jaga jarak dan menggunakan masker serta menjaga imunitas. Untuk mencapai hal tersebut maka setiap orang dilarang melakukan aktifitas yang berlebihan dan terutama perkumpulan yang menlibatkan banyak orang, meski dalam perkumpulan seperti shalat berjama’ah terdapat kemaslahatan yaitu munculnya solidaritas atau semakin meningkat rasa ukhuwah, namun dalam kondisi covid 19 sekarang ini konsep ukhuwah seperti di atas tidak dapat lagi dipraktekkan dan ini dapat berpotensi merubah soldaritas dan ukhuwah tersebut sebagai kemudharatan yang kecil, sebab menolak kemudharatan dari akibat covid 19 jauh lebih besar yang akan muncul bila tercapainya ukhuwah tetap diinginkan dengan cara melakukan shalat berjama’ah. Selain itu konteks ukhuwah dapat dialihkan dengan cara yang berbeda tanpa harus melibatkan kontak fisik secara dekat dan banyak dalam satu perkumpulan. 

7. Kesimpulan

Shalat berjama’ah disyari’atkan oleh agama Islam bagi pemeluknya yang dilaksanakan tanpa uzur syar’i. Khusus shalat Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dengan ketentuan tertentu. Pada masa pandemic covid 19, shalat berjama’ah dan Jum’at ditinggalkan lantaran alasan keselamatan dan kesehatan lebih diutamakan karena meinggalkannya bukan lantaran bermalas-malasan atau menganggap remeh tetapi lantaran situasi dan kondisi yang justeru harus dijaga agar penyebaran covid 19 mereda dan terhenti. Untuk mencapai tujuan tersebut, agama lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan khusus, dan agamapun akan mendorong buat menyelamatkan banyak jiwa meski harus dengan menempuh risiko-risiko yang jauh lebih kecil dari bahaya yang lebih besar yang kemungkinan besar akan datang.

 

 Kepustakaan

al-Qur’an al-Karim

al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad, Hasyiah al-Bujairimiy; Tuhafah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib. Juz II. Bairut: Dar al-Fikr 2006.

al-Bukhariy, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhariy bi Hasyiah al-Sindiy. Juz I & IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Ibn al-Arabiy, Muhammad bin Abdullah Abu Bakar. ‘Aridhah al-Ahwadziy. Jilid I, vol. II. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011.

al-Maqdisiy, Muhammad bin Abdullah Ibn Qudamah, al-Mughni fi Muhktashar al-Khiraqiy, Juz III-IV. Riyadh: Dar ‘Aalam al-Kutub, 1997 M.

al-Nawawiy, Yahya bin Syarafaddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, Juz IV. Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

_______________, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy. Jilid III, vol. V. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.

al-Sarakhsi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad. Ushul al-Sarakhsiy, Juz II. Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1993.

al-Sijistaniy, Abu Daud Sulaiyman bin Asy‘as. Sunan Abi Daud Diedit oleh Sidqiy Muhammad Jamil al-‘Attar. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 2003.

al-Syarbini, Muhammad bin Ahmad. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’aniy AlFadz al-Minhaj li al-Nawawi. Juz I. Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997.

al-Suyuthi, Jalal al-Ddin. al-Asybah wa al-Nazair. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983.

al-Qusyairiy, Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Naisaburiy. Shahih Muslim. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.

al-Turmuziy, Abu Isa; Muhammad bin ‘Isa bin Surah. Sunan al-Turmuziy. Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 2003.

 Catatan Kaki                                                              

* Disampaikan dalam Dialog di Tadarus Ilmiah Ramadhan pada 04 Mei 2020 yang diadakan oleh IAIN Ternate Maluku Utara.

[1] Muhammad bin Ahmad al-Syarbini (w. 977 H/1570 M), Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’aniy AlFadz al-Minhaj li al-Nawawi, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz I, h. 187.  

[2] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi (w. 1221 H), Hasyiah al-Bujairimiy; Tuhafah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, (Bairut: Dar al-Fikr 2006), juz II, h. 120.

[3] Pendapat-pendapat tentang hukum berjama’ah dalam shalat lima waktu dan tokoh-tokohnya serta argumentasi mereka, lihat: Muhammad bin Abdullah Ibn Qudamah al-Maqdisiy (w. 620 H), al-Mughni fi Muhktashar al-Khiraqiy, (Riyadh: Dar ‘Aalam al-Kutub, 1997 M), juz III, h.5-7; Yahya bin Syarafaddin al-Nawawiy (w. 676 H), al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th), juz IV, h. 182-184, 189-193.

[4] Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (w. 256 H), Shahih al-Bukhariy bi Hasyiah al-Sindiy. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz I, h. 147 (no. 644).

[5] Abu Daud Sulaiyman bin Asy‘as al-Sijistaniy, Sunan Abi Daud, diedit oleh Sidqiy Muhammad Jamil al-‘Attar (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz I, h. 217 (no. 547)

[6] Al-Bukhariy, Shahih…, juz I, h. 147 (no. 645)

[7] Ibn Qudamah, al-Mughni…, juz III, h. 158-159; al-Nawawi, al-Majmu’… juz IV, h 482-483.

[8] Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid I, h. 379 (no. 865)

[9] Muslim,  Shahih Muslim, jilid I, h. 311 (no. 697)

[10] al-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), jilid III, vol. V, h. 169.

[11] Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz I, h. 219 (no. 551).

[12] Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz I, h. 401 (no. 1067).

[13]  Abu Isa; Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Turmuziy, Sunan al-Turmuziy (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz II, h. 38-39 (no. 500).

[14] Muhammad bin Abdullah Abu Bakar Ibn al-Arabiy, ‘Aridhah al-Ahwadziy, (Beiurt: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), jilid I, vol. II, h. 241-242.

[15] Al-Bukhari, Shahih, juz IV, h. 15 (no. 5070)

[16] Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarakhsi (w. 490 H), Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1993), juz II, h. 182.

[17] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazair (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983), h. 87

1 Comment

  • waliko
    Posted Mei 14, 2020 11:56 am

    barakallah moga bermanaaf ya

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com