1. Definisi Spiritualitas dan Silaturahmi
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Spiritual adalah sesuatu yang berhubungan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin).[1] Berpijak dari pengertian tersebut, Irmansyah menilai Spiritualtas berkaitan dengan roh, jiwa dan sukma. Menurutnya, dalam diri manusia terdiri 3 kesadaran yaitu otak, jiwa dan roh. Otak bagian dari tubuh fisik sebagai pusat kesadaran dari fisik yang terletak di bagian kepala kita. Adapun jiwa merupakan sesuatu yang berhubungan dengan diri seseorang sesudah meninggal dan jiwa menyerupai wujud (fisik) seseorang saat masih hidup. Sementara roh adalah diri sejati seseorang yang ada dalam hati, roh inilah yang dikenal dengan zat yang berasal dari percikan sang pencipta. Bagi Irmansyah, spiritualitas adalah hal-hal yang berkaitan dengan roh dan jiwa kita sendiri.[2] Dalam kajian Islam, ruh adalah pengejewantahan zat ilahi dari aspek rububiyyah-Nya,[3] meski terkadang dinilai sama dengan jiwa seperti dalam QS:al-An’am; 93.
Dari penjelasan di atas, nampak ada satu titik temu tentang spiritualitas yaitu hal-hal yang berhubungan dengan non materi yang terkait dengan diri seseorang, baik itu terkait dengan kejiwaannya maupun kerohaniannya yang membentuk dan mempengaruhi akhlaq seseorang. Spiritualitas menurut Abd Karim dalam makalahnya الروحانية في الإسلام menjelaskan bahwa spiritualitas adalah apa yang Jibril as turun dengannya dari agama lalu manusia hidup dengannya, maka spiritualitas adalah iman itu sendiri.[4] Berpijak dari sini spiritualitas dalam Islam landasannya adalah iman. Keimanan idealnya mengantar seseorang berperilaku baik, akhlaq mulia dan menjauhi segala yang tidak baik menurut agama maupun masyarakat. Spiritualitas dalam kajian yang lebih komperhensip merupakan fenomena inklusif yang mendorong setiap manusia untuk memahami makna yang luas sebagai individu dalam bertingkah laku maupun dalam konteks kehidupan setelah mati.
Adapun silaturahmi berarti tali persahabatan (persaudaraan) yang berasal dari bahasa Arab yaitu الصلة (hubungan) dan الرحم (kasih sayang). Kedua kata ini juga telah disebutkan dalam hadis seperti yang akan dikemukakan dan dijelaskan. Istilah silaturahmi telah menjadi bagian dari praktek keseharian dalam budaya masyarakat Indonesia terutama di suasana Idul Fitri yang menjadi luas dari makna asli bahasa Arabnya. Bersilaturahmi berarti kita berusaha menghubungkan kembali tali persaudaraan, persahabatan, pertemanan seolah-olah mengikat sesuatu yang telah ‘longgar’ atau menguatkan yang telah ‘lemah’ serta mengumpulkan yang telah ‘terpisah’.
2. Perintah Bersilaturahmi dan Larangan Agama Memutuskannya
Tidak sedikit ayat al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk bersilaturahmi dan melarang seorang muslim memutuskannya. Beberapa Ayat maupun hadis di antaranya dapat dikalsifikasi sebagai berikut:
a. Landasan Bersilaturahmi
Tidak keliru bila dinyatakan landasan bersilaturahmi dapat diambil dari QS: Ali ‘Imran; 134. Dalam bersilaturahmi seseorang harus dilandasi sifat untuk memberikan maaf pada pihak lain, meski konteks pemaafan itu berjenjang atau bertingkat-tingkat, sebab setiap orang berbeda dalam menyikapi saat telah memaafkan orang lain. Pemahaman ini dapat dilihat dari ayat tersebut dengan kategori pertama al-kadzimiin al-ghaizha lalu kedua a’fiin a’n al-naas dan terakhir al-muhsiniin.
Dalam tiga kategori tersebut memberikan gambaran dalam kehidupan bermasyarakat bahwa memberikan maaf itu pada kategori pertama kalau dalam pergaulan seseorang telah memafkan orang lain meski mereka sudah bisa bertegur sapa namun masih ada sedikit goresan luka yang tersisa di hati. Adapun kategori kedua, di antara kedua belah pihak telah terjadi pertemanan dan persahabatan ‘kembali’ secara umum namun di antara mereka belum saling melakukan kebaikan-kebaikan kepada pihak lainnya, sementara kategori terakhir di antara kedua belah pihak terutama yang merasa disakiti telah mampu melakukan kebaikan pada pihak yang menyakitinya.
b. Manfaat dan Tata Cara Bersilaturahmi
Manfaat yang dapat diperloleh dalam bersilaturahmi yaitu diluaskan rizki mereka yang melakukannya dan dipanjangakan atau diberi keberkahan umur mereka seperti riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik (w. 93 H):
من سره أن يبسط له في رزقه أو ينسأ له في أثره فليصل رحمه[5]
Tata cara bersilaturahmi yaitu dengan menyambung dan mengikat kembali tali persaudaraan baik melalui kunjungan maupun bahkan pemberian. Pemberian shadaqah kepada keluarga lebih bernilai karena selain ada unsur shadaqah juga unsur silaturahmi seperti hadis riwayat al-Nasa’i dari Salman bin Amir (wafat di masa Mu’awiyah ), Nabi suci saw bersabda:
إن الصدقة على المسكين صدقة وعلى ذي الرحم اثنتان صدقة وصلة[6]
Sementara bagi mereka yang ingin menyambung silaturahmi orang tua mereka yang telah wafat, maka Nabi suci saw mengajarkan agar menyambung dengan teman dan kerabat orang tuanya sebagai bukti birrul walidain seperti riwayat Abu Daud dari Malik bin Rabi’ah al-Sa’idiy (w. 30 atau 60 H )
…نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما وصلة الرحم التى لا توصل إلا بهما وإكرام صديقهما[7]
Hadis ini secara jelas menyebutkan kata silaturahmi (shilah dan al-rahmi) dalam arti menyambung atau menghubungkan kasih sayang.
c. Ancaman yang Memutuskan Silaturahmi
Terdapat ayat al-Qur’an yang mewanti-wanti silaturahmi seperti QS:al-Nisa;1 & 36, al-Isra; 26 juga terdapat hadis tentang ancaman mereka yang memutus silaturahmi tidak masuk surga seperti hadis riwayat al-Bukhari dari Jubair bin Muth‘im (w. 58 H )
لا يدخل الجنة قاطع[8]
Pahala amalan seseorang akan ditangguhkan jika mereka masih bermusuhan bahkan belum diampuni seperti dipahami dari hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah (w. 58/9 H):
تعرض أعمال الناس في كل جمعة مرتين يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد مؤمن إلا عبدا بينه وبين أخيه شحناء فيقال اتركوا أو اركوا هذين حتى يفيئا[9]
3. Nilai dan Realisasi Spiritualitas dalam Silaturahmi saat Pandemi
Pada prinsipnya silaturahmi untuk mengikat dan mengeratkan kembali tali persaudaraan, pertemanan dan persahabatan karena itu nilai pokok saat bersilaturahmi adalah kedekatan, kasih sayang dan cinta. Namun karena situasi dalam masa pandemi maka kedekatan tersebut tak bisa terlaksana secara fisik lantaran akibat yang ditimbulkan dengan adanya kontak fisik diduga kuat dapat merugikan kedua belah pihak dari aspek kesehatan dan juga keselamatan.
Memang kita perlu tafashil (rincian-rincian) mengenai daerah atau wilayah yang telah masuk dalam zona merah, kuning dan hijau, tetapi kondisi ini tidak semudah yang dibayangkan mengingat pandemi covid 19 merupakan hal yang baru bahkan para ahli kesehatanpun masik berpolemik tentang cara penularan penyakit ini. Dengan alasan ini, meski silaturahmi merupakan kewajiban terutama anak pada orang tua, namun dengan situasi dan kondisi pandemi maka hal tersebut dapat dilakukan melalui media sosial di masa kini seperti wa, zoom dan sebagainya. Selain karena alasan kesehatan dan keselamatan kedua belah pihak, juga bersilaturahmi dapat merepotkan mereka yang akan berkunjung karena berada di kota yang berbeda dengan orang tua yang mau disalturahmi, sementara banyak dari kota-kota yang ada memberlakukan PSBB.
Dalam konteks kajian Islam, penerapan kaedah الضرر يزال (kemudharatan dihilangkan) atau dengan kaedah lainnya yaitu درء المفاسد أولى من جلب المصالح[10] (menolak aneka kerusakan lebih utama/diprioritaskan dari mendatangkan aneka kemaslahatan) dapat menjadi acuan utama untuk tidak melakukan silaturahmi secara fisik dalam kondisi pandemik. Kalaupun harus dilakukan maka bersilaturahmi dapat dilakukan dengan menggunakan protokol kesehatan yang ketat yaitu mencuci tangan, menggunakan masker, pelindung wajah (face shield), jaga jarak, tidak berkumpul banyak orang, tidak berlama-lama saat bertamu dan aneka aturan kesehatan lainnya. Hal tersebut berlaku secara umum bila seseorang akan bersilaturahmi saat pandemi dan
Adapun bagi mereka yang bersilaturahmi dalam jarak yang dekat seperti dalam lingkungan RT atau kampung dan perumahan satu kluster, menggunakan ketentuan bahwa sebelum bersilaturahmi perlu ditanyakan pada tuan rumah tentang kesediaan mereka menerima tamu. Bila tuan rumah berkeberatan, maka tamu yang akan bersilaturahmi tak perlu merasa tersinggung apalagi marah. Mereka yang akan bertamu justeru harusnya paham dengan situasi dan kondisi di masa pandemi. Tentu tuan rumah tidaklah bermaksud untuk memutus tali silarurahmi namun berusaha mencegah kemungkinan terjadi penularan yang dapat membahayakan kedua belah pihak dari aspek kesehatan bahkan keselamatan.
Secara khusus bagi mereka yang mau bersilaturahmi kepada orang tua, selain menerapkan protokol kesehatan tersebut, sebaiknya memeriksakan diri (dan keluarga bila isteri dan anak-anaknya ikut) sebelum bersilaturahmi, sebab orang tua ( terutama di atas 50 tahun) yang ada di rumah menurut ahli kesehatan lebih rentan tertular covid 19. Bagi anak yang ingin bersilaturahmi, bila telah sampai di rumah orang tuanya lebih tepat anak tersebut melakukan isolasi mandiri terlebih jika anak itu akan menginap berhari-hari di rumah orang tuanya. Maksud baik silaturahmi saja tidak cukup, tetapi dibutuhkan cara yang baik saat bersilaturahmi, termasuk dalam hal ini menjaga protokol kesehatan secara ketat agar tidak menyebabkan kerugian dari aspek kesehatan maupun keselamatan pada pihak lain apalagi pada orang tua kita sendiri. Meski akan lebih baik ditunda silaturahmi secara fisik terlebih dahulu terutama bagi anak yang berada di kota yang berbeda dengan orang tuanya. Uraian-uraian di atas lebih menitik beratkan pada silaturahmi secara fisik di masa pandemi dan lebih utama untuk ditangguhkan.
Tentu bersilaturahmi di masa pandemik masih memiliki alternatif lain bila tak bisa bertemu dan bertatap (muwajahah) secara fisk, yaitu melalui medsos seperti yang telah disebutkan. Meski terasa berbeda, tetapi nilai silarurahmi melalui media sosial tentu tak mengurangi keakraban, persaudaraan, persahabatan dengan pihak yang dihubungi. Bahkan bisa jadi lebih menambah rindu yang menjadi pemantik bagi siapa saja untuk tetap memelihara dan menghubungkan ikatan kasih sayang tersebut.
Secara khusus, bersilaturahmi kepada kaum kerabat terutama pada orang tua tak dapat berlangsung secara fisik tetapi masih dapat diikutkan dengan memberikan hadiah atau oleh-oleh yang dapat dikirim secara langsung maupun memberikan uang karena di antara makna shilah (صلة ) adalah memberi atau bekal,[11] yang merupakan di antara makna silaturahmi (صلة الرحم). Silaturrahmi menurut Majduddin Ibn al-Atsir (w. 606 H) adalah kebaikan (ihsan) kepada kaum kerabat yang memikili hubungan keluarga (dari aspek nasab maupun akibat pernikahan) dengan cara berbuat baik, menyayangi, dan menjaga keadaan mereka.[12] Salah satu cara berbuat baik dan menjaga keadaan mereka yaitu dengan memberikan sebagian apa yang kita miliki meski mereka terutama orang tua tak pernah memintanya, dan ini termasuk salah satu bentuk spiritualitas yang direalisasikan melalui silaturahmi bagi mereka yang tak dapat ditemui secara fisik.
Daftar Pustaka
Anis, Ibrahim dkk. al-Mu’jam al-Wasith. Juz II. Cairo: tp, cet II, 1972.
al-Bukhariy, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhariy bi Hasyiah al-Sindiy. Juz II & IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Efendi, Irmansyah. Spritualitas: Makna, Perjalanan yang telah Dilalui, dan Jalan yang Sebenarnya. Jakarta: PT Gramedia, 2019.
Ibn al-Atsir, Majduddin; Mubarak bin Muhammad. al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al–Atsar. Juz V. Bairut: al-Maktabah al-‘Imiyyah, 1979.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad. al-Ta‘rifat. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
al-Naisaburiy, Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairiy. Shahih Muslim. Jilid II. Bairut: Dar al-Fikr, 1993.
al-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. Sunan al-Mujtaba li al-Nasa’i. Jilid III, vol V. Bairut: Dar al-Fikr, 1995.
al-Sijistaniy, Abu Daud Sulaiyman bin Asy‘as. Sunan Abi Daud. Diedit oleh Shidqiy Muhammad Jamil al-‘Attar. Juz IV. Bairut: Dar al-Fikr, 2003.
al-Suyuthi, Jalaluddin Abd Rahman. al-Asybah wa al-Nazair. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983.
Sumber Internet
https://kbbi.web.id/spiritual diakses pada 29 Mei 2020
https://www.aliftaa.jo/Article.aspx?ArticleId=232#.Xtbp7OjwbIV diakses pada 17-11-2017
Catatan Kaki
* Disampaikan dalam Acara Halal bi Halal virtual Fakultas Adab dan Bahasa Institut Agama Islam Negeri Surakarta pada jam 13.30 WIB, Jum’at 29 Mei 2020
[1] https://kbbi.web.id/spiritual diakses pada 29 Mei 2020
[2] Irmansyah Efendi, Spritualitas: Makna, Perjalanan yang telah Dilalui, dan Jalan yang Sebenarnya (Jakarta: PT Gramedia, 2019), h. 5-8.
[3] Ali bin Muhammad al-Jurjani (w. 816 H), al-Ta’rifat (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 116.
[4] https://www.aliftaa.jo/Article.aspx?ArticleId=232#.Xtbp7OjwbIV diakses pada 17-11-2017
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhariy (w. 256 H), Shahih al-Bukhariy bi Hasyiah al-Sindiy. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II, h. 8 (no. 2067).
[6] Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i (w. 303 H), Sunan al-Mujtaba li al-Nasa’i, (Bairut: Dar al-Fikr, 1995), jilid III, vol V, h. 94 (no. 2578)
[7] Abu Daud Sulaiyman bin Asy‘as al-Sijistaniy, Sunan Abi Daud, diedit oleh Sidqiy Muhammad Jamil al-‘Attar (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz IV h. 374 (no. 5142).
[8] al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy bi Hasyiah al-Sindiy. Juz IV, h. 58 (no. 5954).
[9] Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid II, h. 518 (no. 2565 lanjutan)
[10] Jalaluddin Abd Rahman al-Suyuthi (w. 911 H), al-Asybah wa al-Nazair (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983), h. 83, 87.
[11] Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Cairo: tp, cet II, 1972. ) juz II, 1037.
[12] Majduddin; Mubarak bin Muhammad Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Bairut: al-Maktabah al-‘Imiyyah, 1979), juz V, h. 425.