EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
(Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu)
——————————————————–
Isra-Mi‘raj merupakan salah satu hari bersejarah dan bernilai bagi umat Islam di dunia, tak terkecuali kaum Muslimin Indonesia. Hari tersebut penting karena memiliki banyak nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka Presiden Ir. Soekarno (lebih akrab dipanggil Bung Karno) melalui Kepres no 24 tahun 1953 menetapkan Isra-Mi‘raj pertama kali sebagai hari libur nasional bersama beberapa hari lainnya.
Peristiwa Isra yang tertuang dalam QS: al-Isra; 1 dan Mi‘raj QS: al-Najm; 13-18, memuat banyak hikmah penting, yang dapat dilihat dari tiga sisi yaitu spiritual, sosial-historis, dan budaya. Sisi sipritual mengungkap tiga poin utama tentang perjalanan Nabi suci Muhammad saw dari masjid al-Haram di Mekkah menuju masjid al-Aqsha ke Palestina, lalu bersama Jibril as, Nabi suci saw naik ke langit yang disebut Mi‘raj.
Pertama, mengungkap kekuasaan Allah swt. Isra-Mi‘raj mengajarkan umat Islam agar senantiasa menanamkan aqidah mereka tentang segala sesuatu berada dalam kuasa Allah swt. Memperjalankan Nabi suci ke dua tempat yang berbeda dan berjarak sangat jauh dalam waktu yang teramat singkat, tentu tak akan terjadi tanpa kuasa Allah swt. Kuasa Allah swt pula yang dapat merubah apa yang telah Dia tetapkan sebelumnya terkait dengan hukum-hukum yang berjalan di alam semesta. Manusia yang berada di luar angkasa akan kehabisan oksigen yang dapat menyebabkan kematian, namun dalam peristiwa Isra-Mi‘raj, Allah swt memiliki qudrah (kekuasaan) dan iradah (keinginan) untuk menetapkan dan mengecualikan hukum alam tersebut dari diri Nabi suci saw;
Kedua, iman yang kuat dalam hati. Peristiwa luar biasa tersebut meski sebagian orang berusaha menjelaskan dengan pendekatan ilmiah, namun kejadian itu agaknya akan tetap menjadi ranah keyakinan yang diimani bukan dirasionalkan, sebab akal maupun logika belum dan atau tidak dapat membuktikan secara empiris kejadian tersebut, maka hati sebagai wadah bercokolnya iman yang mampu menerimanya. Tak heran Abu Bakar ra (w. 13 H) digelar dengan al-shiddiq (selalu membenarkan) setelah mendengar peristiwa tersebut, sebab disini pendekatan iman yang telah ternanam kuat di dalam hati sang khalifah rasul tersebut yang berbicara;
ketiga, shalat yang secara bahasa berarti do’a merupakan bagian dari aneka harapan yang diinginkan agar terkabul, berfungsi menjadi media hubungan vertikal antara seorang hamba dengan sang Khaliq. Mi‘raj Nabi suci saw merupakan aplikasi dan contoh langsung bagaimana pertemuan seorang hamba dengan Penciptanya yang mengisyaratkan tentang naiknya harapan, ide dan ruh seseorang berjumpa dengan Allah swt ketika shalat. Kata Mi‘raj yang berasal dari عرج, yaitu naik dan meninggi menyiratkan proses menapaki jalan menuju sang Khaliq bertingkat-tingkat sebagaimana tingkatan 7 langit yang dilalui oleh Nabi suci saw. Selain itu, shalat yang diawali dengan kesabaran menghadapi bermacam-macam problema hidup, akan berfungsi menjadi sarana datangnya pertolongan Allah swt saat pemohon benar-benar khusyuk melakukannya (QS: al-Baqarah; 45).
Membaca Isra-Mi‘raj melalui aspek sosial-historis akan mengingatkan kita pada perjuangan yang teramat berat dari isteri tercinta Nabi suci saw bernama siti Khadijah as dan Abu Thalib yang sebenarnya bernama Abd Manaf bin Abd Mutthalib (Syaibah), paman Nabi suci saw yang beriman secara diam-diam untuk menyelamatkan dakwah Islam. Fakta historis dan proses Isra-Mi‘raj memberikan pelajaran tentang: (1) shalat juga dapat berfungsi sebagai pelipur lara saat seseorang merasa sendiri, dibenci dan dimusuhi masyarakat meski dia tidak melakukan kesalahan apalagi dosa.
Agaknya tidak keliru, wafatnya dua pembela Nabi suci saw tersebut sebagai latar belakang dan ‘rancangan’ Allah swt mengisra-mi‘rajkan Nabi suci saw., sekaligus shalat lima waktu menjadi penghibur hati setiap Muslim selain sebuah kewajiban; (2) peristiwa Mi‘raj, menunjukkan Nabi suci saw meskipun telah sampai ke maqam tertinggi bertemu dengan Allah swt, namun Nabi pembawa rahmat tersebut tak silau, dan tak melupakan fungsinya sebagai makhluk sosial, maka Nabi suci tetap turun untuk terus ‘membumi’ dengan manusia agar merekapun memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Al-Suhailiy (w. 581 H) dalam al-Raudh al-Unf, mengungkap simbol di balik pertemuan Nabi suci saw dengan nabi/rasul tertentu, dari langit pertama sampai langit ke tujuh. Menurutnya, hikmah pertemuan itu merupakan gambaran hidup Nabi suci saw nanti setelah kembali ke bumi (II, 199). Dapat kita nyatakan hikmah tersebut memuat gambaran interaksi sosial Nabi suci saw yang akan terjadi dengan masyarakat setelah kembali dari Mi‘raj, sejatinya interaksi pahit dan manisnya hidup dapat dialami oleh siapapun, dan Nabi suci telah memberikan teladan hidup dalam hal ini.
Dari aspek budaya Isra-Mi‘raj telah melahirkan aneka tradisi umat Islam yang bernilai filosofis dan religius, baik di penjuru dunia maupun di Indonesia. Di Yogyakarta, perayaan Rejeban Peksi Buraq yang dipusatkan di serambi masjid Gede Kauman, menjadikan gunungan buah (biasanya jeruk) sebagai simbol dari kendaraan Buroq saat Nabi suci saw melakukan Mi‘raj. Melalui simbol tersebut agaknya supaya do’a, harapan, shalat bahkan amal ibadah seorang Muslim menuju Allah swt dapat diterima secepat perjalanan Buroq ke langit, dan aneka hikmah lainnya yang terkandung dalam budaya itu. Tradisi tersebut juga untuk memuliakan salah satu bulan haram, dan bukankah di antara kata Rajab (رجب) memiliki arti membesarkan atau memuliakan, setelah sebelumnya merasa takut (renungkan arti kata Rajab dalam lisan al-‘Arab, I, 411) ?, memuliakan bulan Allah swt dengan mendekati-Nya yang sebelum itu dalam kondisi takut lantaran menjauh dari-Nya.
wa Allahu a‘lam bi al-shawaab….