Ja’far Assagaf
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Pengurus Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia
Pembahasan tentang hadis qudsi telah ikut menyita perhatian ulama, khususnya ulama hadis. Ide, pemikiran dan rasionalitas yang terkandung dalam kata diskursus mungkin makna yang tepat untuk memberikan gambaran tentang hal ini. Hadis qudsi sering disebut dengan al-Hadis Rabbaniy atau al-Hadis al-Ilahiy karena Nabi suci Muhammad saw menyandarkan sumbernya kepada Allah swt dengan redaksi tertentu.
Pasalnya penyandaran Nabi suci saw kepada Allah swt terkait dengan apa yang diterima oleh Nabi suci sebagai risalah Islam, dan otoritas Nabi suci saw sendiri dalam menjabarkan risalah itu, maka ulama hadis berusaha memetakan tiga terminologi yang terkait dengan risalah dan otoritas tersebut, yaitu al-Qur’an, al-Hadis al-Qudsi dan al-Hadis al-Nabawiy. Pijakan inilah yang akan membuat pengkaji hadis memulai diskursus tentang definisi, perbedaan, sumber dari ketiga terminologi tersebut serta materi atau konten yang ada dalam hadis qudsi.
A. Definisi Hadis Qudsi, perbedaannya dengan al-Qur’an dan al-Hadis al-Nabawiy
Secara terminologi, ulama hadis mendefinisikan hadis Qudsi adalah apa yang disandarkan kepada Nabi suci saw, dan Nabi menyandarkannya pada Allah swt yang Maha Mulia dan Maha Agung, disertai dengan kata-kata seperti apa yang diriwayatkan dari Tuhannya, atau Allah swt berfirman yang Rasul suci saw riwayatkan dari-Nya (‘Itr, 1997). Definisi ini adalah terminologi yang sudah popular bagi pengkaji hadis, tetapi ulama hadis justeru tidak satu kata (baca: polemik) dalam hal memberikan spesifikasi pada arti terminologi tersebut sebagaimana diakui oleh ‘Itr (w. 1442 H/2020 M).
Sementara gabungan definisi al-Zarqaniy (w. 1367 H/1948 M) tentang al-Qur’an yaitu firman Allah atau lafad yang diturunkan pada Nabi suci saw dari awal surah al-Fatihah sampai surah al-Nas, yang bernilai mu’jizat, tertulis di mushaf, dinukil secara mutawatir dan dianggap beribadah bagi yang membacanya. Menurutnya definisi ini berasal dari pakar teologi Islam, ushul dan pakar bahasa Arab. Defenisi ini pula yang membedakan al-Qur’an dengan hadis nabawiy yang tidak diturunkan (secara langsung) maupun dengan hadis qudsi yang yang tidak mutawatir maupun tidak dianggap beribadah bila membacanya. Meski pengarang Manahil a-‘Irfan tidak menyertakan Jibril as dalam definisi ini, namun tetap diakui keterlibatan malaikat tersebut di pembahasan tentang proses turunnya al-Qur’an (al-Zarqaniy, I, 1996), yang telah dibahas sebelumnya oleh al-Suyuthi (I, 1995).
Adapun hadis nabawiy yaitu segala yang disandarkan pada Nabi suci saw baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat (al-Sakhawiy, I, 1426 H/2005 M). Definisi ini merupakan pendapat mayoritas ulama hadis yang cenderung menyamakan dengan sunnah, meski cakupan sunnah lebih sempit dari hadis.
Dari ketiga definisi di atas, apakah perlu dibedakan? Pertanyaan substansi ini pasti muncul disebabkan ketiganya adalah sumber risalah Islam yang secara hakiki berasal dari Allah swt. Bila sumber tersebut hanya dari Allah swt, bahkan termasuk perkataan Nabi suci saw (QS: al-Najm; 3-4), maka bagaimana membedakan ketiga hal itu dari satu sumber yang sama ? ini adalah pertanyaan ontologis terhadap apa sebenarnya yang dikaji dari ketiga hal tersebut ? ya, metafisika dalam hal ini wahyu.
Ulama hadis telah memberikan penjelasan tentang perbedaan al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis nabawiy, dapat dinyatakan perbedaan yang ditemukan ada yang secara empiris, yaitu praktek atau sikap umat Islam kepada ketiganya berdasar pendapat fuqaha, misalnya a-Qur’an dibaca dalam shalat, hadis qudsi tidak, al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir hadis qudsi tidak dan beberapa lainnya (al-Malikiy, cet IV, 1402 H/1982 M; ‘Itr, 1997; ‘Ajjaj al-Khatib, 1989). Walau demikian terdapat tiga perbedaan al-Qur’an dengan hadis qudsi yang abstrak, begitu pula satu perbedaan antara hadis qudsi dengan hadis nabawiy. Tiga perbedaan al-Qur’an dengan hadis qudsi tersebut yaitu: (1) al-Qur’an adalah mu’jizat dan hadis qudsi tidak; (2) al-Qur’an berpahala bila membacanya sementara hadis qudsi tidak; (3) al-Qur’an lafad dan maknanya dari Allah swt sementara hadis qudsi maknanya dari Allah swt namun lafadnya berasal dari Nabi suci saw.
Perbedaan al-Qur’an dan hadis qudsi yang ke (1) membuka diskursus tentang mu’jizat apakah bentuknya abstrak ataukah dalam bentuk empiris ? ada aspek empiris seperti lafal-lafad al-Qur’an dari zaman Nabi suci saw sampai kini terpelihara, kecuali riwayat qira’ah yang mutawatir tentang perbedaan lafad yang diotorisasi langsung oleh Nabi suci saw, maka perbedaan ini (ke 1) dapat bersifat empiris sementara nilai kemukjizatan al-Qur’an dari aspek bahasa pada masa kini dapat dinyatakan lebih bersifat abstrak ketimbang sesuatu yang benar-benar riil dirasakan oleh kaum Muslim. Meski segera dinyatakan kalau aspek kemukjizatan al-Qur’an tidak hanya pada aspek bahasa. Selain itu, nilai kemukjizatan hadis qudsi maupun hadis nabawi menarik untuk dilakukan penelitian tanpa harus mencocoklogi kata generasi milineal.
Perbedaan al-Qur’an dan hadis qudsi yang ke (2) membuka diskursus tentang berapa pahala membaca al-Qur’an. Dalam riwayat Turmudzi telah disebutkan bahwa huruf الم itu bukan satu huruf melainkan tiga huruf, dan setiap huruf adalah kebaikan yang bernilai 10 kali (Turmudzi, IV, 2004), masih menyisakan pertanyaan tentang keabstrakkan ukuran pahala bernilai 10 tentu tidak dapat dihitung secara matematis seperti hitungan manusia? meski penyebutan 10 di hadis itu dapat pula sebagai ilustrasi tentang lipat ganda pahala sehingga angka tersebut sesungguhnya majaziy (metaforis), tetapi tidak menutup kemungkinan bermakna 10 dalam hitungan akhirat sebagaimana tafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut seribu tahun hitungan manusia sama dengan 1 hari hitungan Allah (QS: al-Sajadah; 5).
Perbedaan al-Qur’an dan hadis qudsi yang ke (3) juga merupakan perbedaan antara hadis qudsi dan hadis nabawi. Menurut ‘Itr yang menukil Qawaid al-Tahdis (cet I, 2004) karya al-Qasimi (w. 1332 H/1914 M) memuat pendapat al-Thibiy (w. 743 H) dan Abu al-Baqa (w. 616 H) tentang perbedaan al-Qur’an dan hadis qudsi tersebut sebagaimana point (3) sebagai pendapat yang paling kuat. Padahal perbedaan ini benar-benar abstrak karena mempertanyakan substansi dari mana al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis nabawiy berasal ? ya benar dari Allah swt, namun bagaimana dapat dibedakan ketiga wahyu tersebut jika hanya dibatasi dengan definisi lafadnya dari sumber yang berbeda namun substansinya adalah sama yaitu berasal dari Allah swt ?. Agaknya perbedaan ke (3) ini menjadi diksursus ulama dahulu sampai sekarang.
B. Sumber Hadis Qudsi dan Media Pembeda dengan al-Qur’an dan Hadis Nabawi
Bila hadis qudsi diyakini sebagai wahyu maka sumbernya pasti dari Allah swt. Sebab itu pertanyaan tentang sumber al-Qur’an maupun hadis nabawiy sudah tak perlu dipertanyakan lagi, karena sumbernya sama; Allah swt. Wahyu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan manusia telah diakui oleh sebagian failosof, khususnya mereka yang beragama. Sehingga pertanyaan dalam kaitan ini lebih terkait epistemologi yaitu bagaimana cara Nabi suci saw mendapatkannya atau cara mendapatkan tiga bentuk wahyu tersebut dan media apa yang digunakan?
Ulama telah menjelaskan di aneka kitab kajian hadis tentang bagaimana Nabi suci saw memperoleh wahyu matlu/yang terbaca yaitu al-Qur’an maupun wahyu yang tidak terbaca yaitu hadis, termasuk hadis qudsi. Ada kesamaan dalam proses sampainya wahyu dalam kedua bentuk itu seperti melalui ilham, namun ada perbedaan yang mendasar antara sampainya al-Qur’an dan hadis qudsi kepada Nabi suci saw yaitu melalui perantara Jibril as, meski ini pun masih belum ada konsensus di antara ulama seperti diungkap oleh al-Qasimi (2004), Abu Zahwu (1959) dan Muhammad Munir al-Dimasyqiy (w. 1948 M) dalam muqaddimah al-Ittihaf al-Saniyyah bi al-Ahadis al-Qudsiyyah (t.th). Penjelasan tersebut memunculkan cara atau media sampainya wahyu kepada Nabi suci saw melalui dua hal: (1) hissiyyah melalui panca indera, Nabi suci saw. dapat berjumpa dengan Jibril as baik dalam bentuk asli maupun berupa manusia yang kadang sahabatpun dapat melihat malaikat dalam bentuk ini meski mereka tidak tahu, dan Nabi suci mendengar suara lonceng. Wahyu yang melalui cara ini yaitu al-Qur’an; (2) ilham dan mimpi yaitu Nabi suci saw memperoleh wahyu yang diletakkan di dalam dirinya dan juga melalui mimpi (manam), bagian ini kebanyakan adalah wahyu berbentuk hadis (qudsi) meski terdapat pula ayat al-Qur’an yang diturunkan dengan cara ini. Jadi dalam kondisi pengalaman inderawi (hissiyyah) maupun alam al-naum (alam mimpi) keduanya terjadi pada Nabi suci saw tetap dalam bentuk hissiyyah dan tingkatan ini hanya khusus diberikan kepada para nabi dan rasul, yang disebut oleh Ibn Khaldun (w. 808 H/ 1406 M) dengan thaur al-anbiya yaitu kondisi, situasi dan tingkatan kenabian (Muqaddimah, cet I, 2009).
Penjelasan tentang cara turunnya wahyu kepada Nabi suci saw, baik al-Qur’an maupun hadis di atas belum dapat menjawab tentang apa yang membedakan antara al-Qur’an, hadis qudsi dan hadis nabawi sementara semua kalimat itu keluar dari diri (baca: mulut mulia) Nabi suci saw ?, agaknya sampai disini banyak ahli hadis belum memberikan jawaban kecuali perbedaan bahwa al-Qur’an itu mu’jizat kata-katanya, tidak berubah sampai akhir zaman, sementara hadis tidak. Tentu jawaban ini belum menyentuh substansi mengenai media (wadah) dalam konsep nubuwwah yang terdapat dalam diri Nabi suci saw sehingga bentuk apapun wahyu sebagai risalah Islam yang turun kepadanya dapat dibedakan olehnya lalu disampaikan kepada umat Islam.
Penjelasan tentang cara Nabi suci saw memperoleh tiga bentuk wahyu tersebut dan apa yang menjadi medianya terdapat dalam kitab al-Ibriz (cet III, 2002). Kitab karya Ahmad bin Mubarak al-Sijilmasiy al-Malikiy (w. 1156 H/ 1743 M) berisi kumpulan pelajaran dan dialog yang ia terima dari gurunya; Abdul ‘Aziz bin Mas‘ud al-Dibaq al-Hasaniy (w. 1132 H/1743 M). Dalam dialog menarik tersebut, al-Dibaq menjelaskan cara dari tiga wahyu tersebut sampai pada Nabi suci saw. Al-Qur’an sampai kepada Nabi suci saw melalui cahaya kebenaran langsung dari Allah swt, maka wahyu itu akan terdengar suara dan juga datang Jibril as ini merupakan cara al-Qur’an sampai pada Nabi suci saw, dan cahaya itu bersifat qadim (abadi) kalau hadis qudsi cahaya kebenaran dari Allah masuk ke dalam ruhnya Nabi suci saw sebagai media perantara namun tidak terdengar suara maupun tidak nampak malaikat Jibril as. Hadis-hadis yang disampaikan melalui cahaya di ruh tersebut tentang keagungan, kebesaran dan hak-hak Allah swt, inilah hadis qudsi. Adapun hadis nabawi, meski berasal dari Allah substansinya namun medianya telah ada sejak Allah swt ciptakan Nabi suci saw secara fisik dari tanah sebagaimana manusia, maka cahaya kebenaran tersebut menetap dalam diri Nabi suci saw (al-zat), inilah hadis nabawi. Perbedaan cahaya kebenaran yang masuk ke dalam ruh nabi suci saw dan yang masuk ke dalam dirinya (dari tanah), ini yang menjadi pokok perbedaan media hadis qudsi dengan hadis nabawi.
Penjelasan al-Dibaq di atas, masih bisa ditelusuri tentang letak cahaya kebenaran dalam diri Nabi suci saw sebagai media bercokolnya hadis nabawi, apakah di anggota tubuhnya atau di hal-hal yang asbtrak seperti hati, naluri, fitrah dan sebagainya yang tentu berbeda dengan media hadis qudsi yaitu ruh. Penjelasan Ibn Khaldun mungkin cukup membantu tentang ruh hati atau intisari yang halus (kecil?) berada di bagian terdalam di hati manusia yang berbentuk daging (cet I, 2009). Ruh hati atau intisari ini mungkin terdapat pada semua orang, namun dalam diri Nabi suci menjadi media tempat bercokolnya cahaya kebenaran dalam diri Nabi suci saw yang akan mengeluarkan hadis nabawi yang disebut oleh al-Dibaq dengan cahaya yang menetap dalam diri Nabi suci saw, dan ini yang berbeda dengan ruh yang menjadi perantara manusia hidup, dan ruh Nabi suci dalam hal ini juga berfungsi sebagai media tempat hadis qudsi nantinya disabdakan.
C. Materi/Konten Hadis Qudsi
Ulama hadis nampak tidak berbeda pendapat kalau materi atau kontens hadis qudsi lebih menitik beratkan pada keagungan, kebesaran, maha kuasa, rahmat Allah swt, anjuran-anjuran berbuat kebaikan, keutamaan beramal, dan jarang atau sedikit sekali berbicara tentang halal dan haram seperti larangan menimbun makanan (Muslim, 1992) maupun membahas praktek langsung keagamaan seperti tata cara sahlat, nishab zakat, tata cara berhaji seperti dalam hadis qudsi (‘Itr, 1997; al-Shababithiy; 2013).
Studi terkait aksiologi hadis qudsi dapat dilihat dari kegunaan hadis qudsi dan cakupan yang dibahas di dalamnya serta fungsinya. Studi terbaru dilakukan oleh Abu Abdurahman Ishamuddin al-Shababithiy yang mengumpulkan hadis qudsi sebanyak 1150 dari berbagai sumber dalam kitabnya Jami‘ al-Ahadis al-Qudsiyyah (2006) menyatakan kalau hadis qudsi juga mencakup dorongan pada diri untuk taat dan mengerjakan mandubat (kebaikan yang dianjurkan) dan beberapa lainnya. Pernyataan ini dapat dibenarkan dengan rincian bahwa fungsi hadis terhadap al-Qur’an yaitu menguatkan (bayan ta’kid), menafsirkan (bayan tafsir) dengan aneka bentuknya yaitu takhsish ‘am dan sebagainya, serta fungsi yang masih dipolemikkan yaitu membuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an (bayan tasyri’) tentu perlu dikaji lagi terkait hadis qudsi, karena meskipun hadis qudsi tetap adalah hadis, maka hadis baik yang nabawi maupun yang qudsi fungsinya tetap yaitu menjelaskan (mubayyin) al-Qur’an.
Pemikiran tentang fungsi hadis qudsi sebagai penjelas al-Qur’an tentu perlu dirinci, misalnya apakah fungsi hadis qudsi sama dengan fungsi hadis nabawi ? al-Shababithiy menyatakan kalau materi hadis qudsi tidak membicarakan detail hukum fiqih. Akan tetapi penulis menemukan misalnya hadis riwayat Abu Daud (I, 2003) yang ia muat dalam karyanya di atas tentang shalat dhuha terdapat hadis berisi peringatan Allah swt agar jangan meluputkan/melalaikannya. Kata jangan meluputkan (لا تعجزني) pada huruf لا di hadis Abu Daud berarti larangan meninggalkan dhuha. Dalam hal ini mereka yang tidak mengerjakan shalat dhuha tidaklah berdosa, meninggalkannya adalah makruh bukan haram, dan ini sudah termasuk dalam hukum-hukum fiqh. Selain itu, keberadaan hadis qudsi dapat membuka peluang bagi pengkaji hadis untuk membuat fungsi-fungsi hadis yang baru yang belum ada bagi ahli hadis, karena selama ini nampaknya fungsi-fungsi hadis yang ada merupakan ‘pinjaman’ ahli hadis dari ahli ushul fiqh.