EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya
——————————————————–
Nabi ‘Isa asw., (‘alaihi al-shalaatu wa al-salaam) putera siti Maryam as. wanita suci dan disucikan oleh Allah swt (QS:Ali ‘Imran; 42) adalah tokoh yang dicintai oleh semua Muslim dan Kristiani, kedua umat ini meyakini akan risalah yang dibawa olehnya, meski dalam rincian aqidah maupun proses kewafatannya kedua umat tersebut berbeda mengenai putera siti Maryam as tersebut.
Menurut ‘Abbas Mahmud ‘Aqqad terdapat keterangan tentang Nabi ‘Isa asw. yang beredar di abad empat masehi, diduga manuskrip itu berasal dari riwayat Biblius (ببليوس لنتيولس) teman dari Pilatus; hakim di kerajaan Romawi saat itu. Biblius memaparkan di antara gambaran Nabi ‘Isa asw secara fisik yaitu: perawakannya sedang; tidak tinggi dan tidak pendek, rambutnya seperti warna anggur, rata/rapi tidak dipoles, meski di sisi telinganya agak keriting dan berkilau, dahinya lebar, kedua matanya biru bersinar, di wajahnya tidak terdapat kekurangan, dari hidung dan mulutnya tidak terdapat cacat bahkan tampak segar berseri-seri, kedua tangannya indah dan lurus. Sementara perangainya terlihat dari gerakannya tenang, cerdas, wajahnya memancarkan kasih sayang sekaligus berwibawa, orang yang melihatnya akan mencintainya namun juga sungkan/segan, akhlaqnya adalah kebenaran dan kasih sayang, menakutkan jika menegur/mengkritik dan mengecam namun menyenangkan jika mengajak dan mengajar, tidak ada yang melihatnya tertawa bahkan banyak yang melihatnya menangis, ucapannya seimbang, tidak bertele-tele. Meski riwayat ini masih polemik, namun menurut ‘Abbas, gambaran tentang Nabi ‘Isa asw tentu tidaklah buruk dan jelek sebagaimana tradisi untuk nabi-nabi bani Israil (Abqariyyah al-Masih, 100).
Dalam hadis, saat Nabi suci Muhammad saw melakukan Isra-Mi‘raj bertemu dengan Nabi ‘Isa asw., dalam al-Bukhari disebutkan putera siti Maryam as itu perawakannya sedang seperti manuskrip di atas. Selain itu, disebutkan al-masih ‘Isa asw., berdada bidang (lebar, menarik), wajahnya segar seperti baru saja dari tempat pemandian, rambutnya hampir menyentuh kedua pundaknya, seolah rambutnya meneteskan air (padahal tidak ada air; ilustrasi rapi berkilau), kulitnya putih kemerah-merahan; tipis kecokelatan (II, 289-290), kemiripan fisiknya dalam riwayat Muslim (I, 96-97) diserupakan dengan sahabat ‘Urwah bin Mas‘ud ra yang wafat terbunuh di masa Nabi suci saw (sekitar 10 H).
Nabi ‘Isa asw. digelar dengan al-masih, banyak versi yang menerangkan tentang kata ini, namun dari semua itu yang menarik tentang gelar al-masih, hanya diperuntukkan pada dua individu yaitu al-masih Nabi ‘Isa asw., dan lawannya al-masih Dajjal. Secara bahasa kata al-masih artinya menghapus, meminyaki dan atau meratakan. Logika bahasa dapat menerima kata al-masih disemayatkan pada Nabi ‘Isa asw., dan lawannya yaitu al-masih Dajjal, karena Nabi ‘Isa asw sering berjalan kemana saja ibarat meratakan dan menyapu tempat yang dilewatinya. Nabi Isa asw., tidak memiliki tempat yang tetap, hidupnya berkelana untuk menyebarkan agama Allah kepada umatnya, menjadikan langit adalah atapnya dan bintang serta bulan ibarat lampunya, tempat tidurnya adalah bumi dengan hamparan yang luas. Sementara al-masih Dajjal berkelana ke semua wilayah (kecuali Mekkah dan Madinah tak bisa disinggahi) namun memiliki tempat tersembnyi, untuk memberikan pengaruh jahat kepada manusia.
Melalui kata al-masih, seolah-olah ingin ditegaskan kalau Nabi ‘Isa asw., singgah ke tempat mana saja untuk menghapus (dari kata masaha/مسح) semua keburukan dan kejahatan yang didapati lalu diganti dengan kebenaran, kebaikan dan kedamaian, sedangkan al-masih Dajjal sebaliknya, semua tempat yang disinggahinya akan ia hapus kebenaran dan menebarkan aneka kebohongan, kejahatan dan kekacauan. Hal ini menjadikan sebagian ulama seperti Ibrahim al-Nakha’iy (w. 96 H) menyebut Nabi ‘Isa asw dengan al-masih al-shiddiq (penebar kebenaran) dalam shahih al-Bukhari sebagai lawan dari al-masih Dajjal (penebar kebohongan), sebab inilah maka tugas unuk menghentikan Dajjal ada di tangan Nabi ‘Isa asw. Tentu, melalui gelar al-masih untuk putera siti Maryam as terdapat pesan kepada kita umat Muslim dan saudara-saudara umat Kristiani untuk senantiasa menebar kebenaran dan kebaikan untuk kedamaian bersama, serta menghilangkan segala kebohongan dan hoax yang merupakan misi dan simbol Dajjal.
Nabi ‘Isa asw., yang datang dengan kasih sayang memiliki banyak pesan moral. Dalam kitab hadis, pesan tersebut yang menjadi perhatiannya di antaranya yaitu: pertama, metode menuntut ilmu dan cara menyebarkannya. Dalam Sunan al-Darimiy disebutkan riwayat:
…أن عيسى ابن مريم كان يقول : لا تمنع العلم من أهله فتأثم ، ولا تنشره عند غير أهله فتجهل ، وكن طبيبا رفيقا يضع دواءه حيث يعلم أنه ينفع
Artinya: Nabi ‘Isa asw. berkata: “jangan engkau menghalangi ilmu dari ahlinya, maka engkau akan berdosa, dan jangan pula engkau menyebarkannya kepada yang bukan ahlinya maka akan membodohkan (menjerumuskan ke kebodohan), dan jadilah dokter yang bersahabat yaitu meletakkan obatnya saat ia tahu bahwa obat itu akan bermanfaat”.
Pesan moralnya yaitu tempatkan ahli ilmu sesuai keilmuan mereka, dan jangan memberikan ilmu kepada orang yang belum sampai di tingktannya. Ibarat memberikan kuliah kepada anak SD, tentu anak-anak itu tidak akan bertambah pintar bahkan semakin bodoh karena tidak paham. Ilustrasi berikut diumpamakan dengan dokter yang baik yang dapat memberikan obat kepada pasien bila dokter tersebut benar-benar ahli, akan tahu tentang penyakit pasien sehingga ia dapat menanganinya dengan baik melalui obat yang diberikan pada pasien.
Kedua, metode memelihara hati dan introspeksi diri. Dalam Kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik (w. 179 H), Nabi ‘Isa asw. berpesan jangan banyak berbicara tanpa dzikir pada Allah swt, karena (banyak bicara) menyebabkan hati menjadi keras, dan hal itu akan jauh dari Allah swt, (disamping itu) jangan mengetahui (mencari-cari) dosa-dosa orang lain seolah-olah kalian seperti tuhan, (akan tetapi) lihatlah dosa-dosa kalian, (karena) kalian adalah hamba. Bahwasanya manusia itu ada yang diuji dan dimaaafkan, kasihilah orang-orang yang tengah diuji dan bersykurlah pada Allah atas (nikmat) keafiyatan.”
Pesan moralnya banyak berzikir, kurangi bicara yang tidak penting, jangan menilai orang lain namun introspkesi diri sendiri. Manusia itu ada yang diuji dengan sakit, kemiskinan, berbuat dosa, namun kita diminta oleh Nabi ‘Isa asw agar mengasihi mereka yang diuji, dan bersyukur atas keadaan kita yang lebih baik dari mereka.
Ketiga, metode hidup sederhana dan bersyukur. Imam Malik juga meriwayatkan wasiat Nabi ‘Isa asw. pada umatnya agar minum air yang jernih (air putih bersih, tidak bercampur dengan yang lain), sayur yang alami (bukan milik siapapun, yang hidup di alam bebas) dan roti gandum (yang kering), dan hendaklah menjauhi roti gandum (yang padat berisi) karena kalian tak dapat mensyukurinya.
Pesan moralnya sejalan dengan syari’at Islam agar senantiasa hidup sederhana, meskipun sebenarnya tidak terlarang untuk menikmati sedikit dari makanan yang lezat. Tapi kadang kita sering lalai bila telah mengkonsumi makanan yang lezat, akan lupa penderitaan orang-orang di sekitar kita, dan karenanya dinilai tidak mampu untuk bersyukur. Pesan moral ini tepat dan relevan untuk sekarang di masa pandemi covid, agar kita senantiasa peduli pada saudara-saudara lain yang kekurangan, sebagai penguat dari salah satu pesannya dalam QS: Maryam; 31-32, agar berzakat juga berfungsi untuk kepentigan sosial, selain itu terdapat pula wasiat al-masih putera siti Maryam as untuk tetap shalat dan berbakti pada orang tua.
wa Allahu a‘lam bi al-shawaab …