EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya, Sukoharjo, Jawa Tengah
——————————————————–
Sya’ban adalah bulan ke 8 dari penanggalan tahun umat Islam, bulan yang menjadi pengantar bagi bulan Ramadhan. Sya’ban berasal dari kata sya’aba (شعب) artinya berkumpul dan berpencar, dapat diibaratkan kata sya’ban seperti pohon yang asalnya satu;berkumpul lalu berpencar dengan keluarnya dahan dan ranting dari pohon itu meski batang pohonnya satu. Penyebab dinamakan Sya’ban juga diilustrasikan sebagai bulan dimana orang-oran yang berada di gua-gua pergi berpencar mencari air (Lisan al-‘Arab). Arti kata tersebut memberikan pemahaman kalau Sya’ban mengandung kebaikan yang dapat dipancarkan dari bulan tersebut dan orang-orang yang benar-benar ingin mencari kemuliannnya akan berpencar mencari sumber kebaikan laksana air sebagai sumber kehidupan, namun ternyata banyak orang yang lalai (HR al-Nasa’i) menjadikannya sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Bulan Sya’ban dalam tradisi sebelum datanngnya Islam disebut dengan عادل sebagai pengimbang di antara bulan Rajab dan Ramadhan (al-Mufasshal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam).
Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Malikiy (w. 1425 H/2004 M) menyebutkan beberapa hal tentang keutamaan bulan Sya’ban dalam karyanya Madza fi Sya’ban ? (apa yang ada di bulan Sya’ban). Di antara keutamaan tersebut yaitu:
1. Perubahan Arah Kiblat
Sebelum Ka’bah dijadikan Kiblat kaum Muslimin, umat Islam kala itu shalat menghadap Bait al-Maqdis; masjid Aqsha. Sekitar 17 bulan lebih setelah hijrah Rasulullah suci saw bersama sahabat shalat menghadap masjid tersebut yang berada di Palestina sekarang, lalu turun QS: al-Baqarah;144 tentang perubahan kiblat tersebut menjadi menghadap ke Ka’bah di Mekkah. Peristiwa ini disinyalir terjadi di pertengahan bulan Sya’ban. Agaknya Sya’ban ketika itu benar-benar menjadi perantara perubahan rohani kaum Muslim yang telah memperoleh kebebasan menjalankan ibadahnya di Madinah.
2. Amalan Tahunan Diangkat dan Nisfu Sya’ban
Dalam riwayat al-Nasa’i dari sahabat Usamah bin Zaid (w. 54 H), Rasul suci saw bersabda:
…وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Artinya: “dan dia (Sya’ban) adalah bulan yang diangkat di dalamnya amal perbuatan ke hadapan Tuhan alam semesta, maka aku suka bila amalku diangkat sementara aku dalam keadaan puasa”.
Terkait dengan diangkatnya amalan tahunan ini, ulama juga membahas tentang Nisfu Sya’ban yang marak dipraktekkan kaum Muslimin di Indonesia dengan berdoa secara beramai-ramai, dan doa yang biasa dipanjatkan ولا يمنّ…) اللهم يا ذا منّ) bersumber dari sahabat Abdullah bin Mas‘ud (w. 32 H) yang dilestarikan oleh Imam al-Haddad (w. 1132 H), meski doa tersebut tidak dikhususkan di malam itu saja. Hadis-hadis tentang pertengahan bulan Sya’ban ini cukup banyak perawinya, berisi ampunan Allah swt terhadap setiap orang di bulan ini, kecuali mereka yang atheis dan bermusuhan; memutus silaturahmi (HR. Thabarani). Dapat dinyatakan kalau hadis riwayat al-Nasa’i menerangkan tentang diangkatnya amalan di bulan Sya’ban dirinci oleh hadis Thabarani tentang pengampunan Allah swt di malam Nisfu Sya’ban, sebab sebuah pengampunan diberikan beserta diangkatnya laporan amal tahunan. Di antara amalan itu mungkin ada yang tidak baik bahkan tertolak, namun oleh Allah diampuni, dimaafkan selama orang tersebut beriman dan tidak memutus silaturahmi.
Sebagian ulama menilai malam Nisfu Sya’ban sebagai malam Lailatul Qadri seperti dinukil oleh Ibn Hajar (w. 852 H/1449 M) dalam Fath al-Bariy. Meski pendapat ini jelas lemah, karena Lailutl Qadri di bulan Ramadhan, namun dapat dijelaskan bahwa malam Nisfu Sya’ban adalah malam diangkat amalan tahunan umat manusia sekaligus malam penetapan aneka urusan tahun berikutnya, sementara malam Lailatul Qadri adalah malam pengesahan atas ketetapan tersebut. Tentu pengesahan itu terkait dengan kesungguhan seorang hamba saat memasuki Ramadhan, maka apa yang sudah ditetapkan belum langsung disahkan, tetapi menunggu hamba yang berharap perubahan nasib, melalui ampunan dan rahmat Allah swt di bulan Ramadhan saat Lailatul Qadri.
3. Sya’ban Bulan Shalawat
Shalawat kepada Nabi suci Muhammad saw merupakan perintah Allah swt dalam QS: al-Ahzab;56, dan karena itu seorang Muslim dapat bershalawat kepada Nabi suci saw kapan saja, tidak dibatasi waktu dan jumlahnya. Namun tahukah kita ? sebagian ulama menyatakan kalau perintah dalam al-Qur’an tentang shalawat turun di bulan tersebut, sebab itu maka Sya’ban juga dinamakan bulan shalawat. Shalawat yang paling baik menurut semua ulama adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi suci saw yang biasa disebut shalawat ibrahimiyyah yang dibaca oleh siapapun saat shalat, meski tidak terlarang shalawat dalam bentuk redaksi lain seperti dalam beberapa atsar sahabat dan tabi’in.
Selain itu, di belahan dunia lain, yaitu Hadramaut di negara Yaman, terjadi tradisi turun temurun. Bila tiba bulan Sya’ban (antara tanggal 2-9 Sya’ban), masyarakat di sana bersama ulama menziarahi makam Nabi Hud as,. lalu di masa Syech Abi Bakar bin Salim Shahib’Inat (w. 992 H) ziarah tersebut diatur agar tertib dan sesuai dengan adab berziarah seperti ditulis oleh imam al-Haddad dalam Tasbit al-Fuad, (jilid II). Di masa kini ziarah tersebut juga diikuti oleh mereka yang berasal dari berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Tentu ziarah tersebut selain sebagai peringatan akan kematian, juga sebagai persiapan untuk memasuki bulan Ramadhan.
Sementara di Indonesia di akhir Sya’ban juga dikenal dengan tradisi nyandran dari kata sandran yang bermakna ruwah (Sya’ban) untuk berziarah dan mendoakan keluarga yang sudah wafat dengan bacaan qur’an dan tahlil sekaligus untuk menjemput Ramadhan. Semuanya itu tidak lain hanya bermkasud agar manusia semakian dekat dengan Allah swt terutama saat memasuki bulan suci Ramadhan.
wa Allahu a’lam bi al-shawaab…