EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya, Sukoharjo, Jawa Tengah
Mungkin tidak asing lagi bagi sebagian kita yang kerap mendengar sebuah hadis populer berbunyi:
“ إن لله تسعة وتسعين اسما مائة إلا واحدا من أحصاها دخل الجنة ”
Artinya: “Allah swt memiliki seratus nama kecuali satu (baca: 99 nama), siapa yang menghitung (ahshâha) atau menghafalnya (hafidzaha) ia akan masuk surga” (HR. al-Bukhariy dll).
Pertanyaan akan segera muncul benarkah mereka yang sekedar menghafal nama-nama Allah tersebut akan langsung masuk surga ?. Kalau demikian adanya, maka orang yang terbiasa menghafal rumus, kosa kata dan lainnya termasuk menghafal al-Qur’an dan hadis akan masuk surga lantaran dia mampu menghafal, sementara perbuatan mereka kepada sesama manusia belum termasuk kategori baik. Memang orang yang menghafal kedua sumber Islam adalah pekerjaan yang mulia meski tentu hafalan itu dibarengi dengan pengamalan bertahap merupakan kuncinya.
Menarik diperhatikan, lafadz yang digunakan untuk menghitung adalah ahshâ dan menghafal adalah hafidza untuk hadis tersebut. Lafadz ahshâ juga digunakan untuk makna hafidza (al-Mu‘jam al-Wasîth), berarti menghitung, yang kurang lebih sama dengan arti menghafal. Orang yang menghitung sesuatu biasanya menjaga agar hitungannya itu tidak melesat atau menyimpang, begitu pula orang yang menghafal, ia akan selalu berusaha menjaga agar tidak lupa dan keliru dalam mengulangi hafalannya. Kedua lafadz dimaksud; ahshâ maupun hafidza memiliki arti menjaga. Filosofis bahasa ini memberi sketsa pada kita bahwa hadis di atas merujuk tidak hanya menghitung atau menghafal secara harfiah nama-nama Allah swt (al-Asmâ al-Husnâ), namun nama-nama suci tersebut sebagai gambaran sifat-sifat Allah swt. juga dijewantahkan sesuai kemampuan manusia dalam kehidupannya sebagaimana pendapat sebagian ulama yang dinukil oleh al-Nawawiy (w. 676 H) dan al-Mubârakfûriy (w. 1353 H) (Tuhfah al-Ahwadziy).
Manusia ketika berpuasa belajar meneladani sifat Allah swt sesuai kemampuannya, di antara sifat-Nya adalah tidak makan dan minum serta tidak berhubungan intim (Syarh al-Nawawiy). Hal inilah yang menjadikan puasa seperti dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi sebagai amalan yang hanya untuk Allah dan pahala puasa nanti hanya dari-Nya semata (HR. Muslim). Majd al-Dîn Ibn al-Atsîr (w. 606 H) menyatakan meneladani sifat Allah swt misalnya Allah swt Maha Mendengar dan Maha Melihat, berarti manusia dituntut untuk tidak mempergunakan pendengaran dan penglihatannya pada sesuatu yang terlarang menurut agama (al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts) dan juga dapat ditambahkan menurut etika atau moral masyarakat. Di antara rahasia spiritual manusia berpuasa adalah menekan fungsi anggota panca indera dari kebutuhannya yang tak terkontrol, dimana makanan termasuk sumber utama yang dapat membangkitkan syahwat semua anggota panca indera dan menjadikannya liar. Bila perut telah kenyang, mata, telinga, tangan, kaki, mulut dan sebagainya akan bereaksi ke arah negative, sebaliknya, saat perut kosong dapat mendiamkan keliaran panca indera manusia, demikian menurut Imam al-Haddâd (w. 1132 H) dalam al-Nashâ’ih al-Dîniyyah.
Termasuk meneladani sifat Allah swt. dalam bentuk menahan emosi, baik ketika siang hari maupun malam hari. Dalam hadis riwayat al-Bukhariy di antaranya disebutkan jika orang yang sedang berpuasa dicela, diajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata kepada pencela tadi bahwa ia sedang berpuasa. Ini menunjukkan hikmah puasa untuk menahan emosi. Termasuk emosi atau keinginan yang berlebihan dalam mengkonsumsi makanan saat tiba waktunya berbuka puasa; azan Magrib.
Meneladani sifat Allah swt. mestinya terlihat pula dari aspek sosial bagi mereka yang tengah berpuasa, dengan memberi makanan berbuka pada orang yang berpuasa meski dia snediri juga berpuasa. Bahkan mereka yang mampu berpuasa namun ketika menjalankannya harus bersusah payah sebagaimana dipahami dari penggalan ayat wa ‘ala alladzîna yuthîqûnahu fidyatun…. (QS: al-Baqarah; 184) seperti orang tua renta, buruh kasar, wanita hamil atau menyusui dengan kualifikasi masing-masing, orang sakit menahun yang tidak dapat disembuhkan menurut dokter ahli dan terpercaya, semuanya dibolehkan berbuka namun mengganti dengan membayar fidyah (6-12 ons dalam mazhab Syaf’iy). Fidyah yang dibayar disesuaikan dengan makanan setempat dari mereka yang tidak berpuasa tadi, tentu makanannya lengkap dengan lauk-pauk seperti kebiasaan daerah itu dan sesuai apa yang dikonsumsi orang yang membayar fidyah tersebut. Hikmah membayar fidyah selain mengisyaratkan agar orang yang tidak mampu menjalankan puasa dapat berbagi kekenyangan dengan saudaranya yang lapar, juga menandaskan bila mereka tak mampu meneladani ‘perilaku’ Allah swt. Yang mustahil makan dan minum, bukan berarti mereka harus meninggalkan meneladani sifat al-Razzâq (Maha Pemberi Rezeki) Allah swt. Melalui sifat al-Razzâq-Nya, mereka yang membayar fidyah bahkan yang berpuasa sekalipun senantiasa dituntut menyisihkan sebagian rezekinya untuk orang yang membutuhkan uluran tangan.
wa Allahu a‘lam bi al-Shawâb …