EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Lebaran Idul Fitri 13 Mei 2021/ 1 Syawwal 1442 H tahun ini menyisakan kisah syahdu dan sedih karena masyarakat tidak bisa mudik ke kampung halaman masing-masing, sebuah tradisi yang baik dan telah berjalan selama ini di bumi pertiwi Indonesia tercinta. Pasalnya, pemerintah memberlakukan larangan masal terhitung sejak tanggal 6 sampai 17 di bulan Mei 2021 yang disebabkan pandemi covid 19 masih tetap menjadi penghalang utama sehingga keputusan tersebut meski kontroversial, namun ditinjau dari kemaslahatan umum (al-maslahah al-‘ammah) dapat dibenarkan, sebagai bentuk pencegahan agar pandemi tersebut tidak menjadi tsunami di Indonesia sebagaimana yang telah terjadi di India.
Dalam konteks ini, terkadang mafsadah (kerusakan) justeru memiliki penyebab yang maslahah (kebaikan), namun mempraktekkan penyebab-penyebab yang bersifat maslahah tersebut tetap terlarang lantaran penyebab itu walau mengandung maslahah (kebaikan) namun dapat menyebabkan mafsadah (kerusakan) seperti dinyatakan oleh ‘Izzuddin ‘Abd al-Salam w. 660 H. Mudik mengandung maslahah karena bertemu keluarga, silaturahmi dan atau silaturrahim, namun hal tersebut dapat menjadi timbulnya mafsadah yang lebih luas yaitu tersebarnya pandemi covid 19, maka mudik dilarang bukan karena mudik tersebut yang bernilai kebaikan yang dilarang, tetapi mudik dapat menjadi penyebab munculnya mafsadah maka mudik dilarang.
Memang terasa berat bagi sebagian masyarakat Indonesia yang telah terbiasa dengan tradisi mudik, namun hal tersebut menjadi baik buat semua dan menjadikan setiap dari kita kembali berfikir akan nilai sebuah fitrah yang akan dicapai ketika kita berhasil sampai di finish Ramadhan setelah sebulan lamanya berpuasa. Fitrah yang berasal dari kata فطر (fathara) secara bahasa menurut Raghib al-Isfihani (w. 503 H) adalah membelah, baik itu dalam arti positif seperti QS: al-Muzammil; 18 atau dalam arti negatif seperti QS: al-Mulk; 3. Dari kata fitrah inilah lahir pengertian mengadakan atau menciptakan sesuatu yang baru, yang terkait dengan iman dan mengenal pencipta yaitu Allah swt (QS: al-Rum;30).
Fitrah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta alam dan segala isinya kepada setiap manusia dapat menjadi semakin tajam bila diasah dengan aneka kebaikan dan menjadi redup melalui aneka kejahatan. Fitrah mengajak manusia untuk berbuat yang baik, dan kebaikan yang dilakukan tidak terukur dengan kapan dan dimana, meski di waktu dan tempat tertentu juga memiliki keistimewaan tersendiri seperti saat Ramadhan lebih baik dari bulan lainnya. Sebab itu, dalam Islam dikenal dengan shadaqah jarih yaitu amal perbuatan yang tetap menghasilkan pahala meski pelaku amal tersebut telah meninggal dunia (lihat HR Muslim) dan meski waktu telah berlalu, namun amalan dan hasil usaha tersebut masih tetap dirasakan dan dimanfaatkan oleh mereka yang mash hidup.
Moment lebaran idul Fitri di tengah pandemi, meski terasa kurang lantaran tidak bisa bertemu secara fisik untuk memeluk orang tua, anak dan saudara kandung, serta berjabat tangan dengan keluarga, tetangga, kerabat, dan teman kampung, tetap masih dapat menjadikan orang kembali ke fitrah tanpa harus bertemu orang-orang yang jauh di mata dekat di hati tersebut, sebab fitrah berpijak pada keimanan seseorang maka iman inilah yang akan menjadi pendorong untuk saling memaafkan meski tak dapat bertemu secara fisik. Hadis yang memuat kisah sahabat penghuni surga, karena tidak memiliki rasa dendam pada saudaranya seperti dalam riwayat Abd Razzaq (w. 211 H), al-Baihaqi (w. 458 H) dalam Syu’ab al-Iman, dan hal itu dilakukan sebelum sahabat tersebut tidur seperti dalam riwayat lainnya yang dinukil al-Haitsami (w. 807 H), menjadi pelajaran tersendiri tentang cara memaafkan jarak jauh meski tidak bertemu secara fisik.
Adapun terkait keinginan seseorang memberikan oleh-oleh, hadiah pada mereka yang berada di kampung halaman, tentu hal tersebut di masa kini tidaklah menjadi kendala untuk memberikan tali asih ikatan persaudaraan itu. Aneka fasilitas dari bank, pos dan lainnya dapat dijadikan media untuk maksud-maksud mulia tersebut. Bahkan di hari Idul Fitri, antara sesama masih bisa bertatap wajah walau fisik terpisah secara geografis, meski terasa kurang namun hal itu tidaklah melunturkan makna silaturahmi dan atau silaturrahim sebagai salah satu pintu menuju fitrah yang hakiki.
Dengan demikian, berarti orang tersebut telah memulai membuka pintu persaudaraan dan inilah yang diinginkan oleh Nabi suci Muhammad saw seperti dalam bunyi sebuah hadisnya:
ليس الواصل بالمكافئ ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها
Artinya: “tidaklah disebut al-wâshil (orang yang menyambung silaturrahmi dan atau silaturrahim) adalah mereka yang al-mukâfi (membalas kedatangan atau pemberian orang lain), namun yang al-wâshil adalah mereka yang menyambung apa yang telah diputuskan (HR. Bukhârî). Ini adalah tingkatan tertinggi bagi orang yang menyambung persaudaraan, bukan saja pada mereka yang memutuskan namun pada mereka yang terputus jaraknya dengan orang tersebut.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
1 Comment
SEPTI NUR WINDARTI
Masya Allah barakallah ilmu nya semoga bermanfaat, izin copas