EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Pada 20 dan 21 Mei, bangsa Indonesia memiliki sejarah yang sangat spesial terkait dengan nasib bangsa tercinta ini, tentang Kebangkitan Nasional dan Reformasi. Di awal abad 20 Masehi, setelah sebelumnya bangsa Indonesia berjuang secara sendiri-sendiri dan terpisah-pisah antara daerah satu dengan daerah lainnya untuk melawan imprealisme yang telah berlangsung sekitar 4 abad lamanya. Lalu pada 20 Mei 1908 bangsa ini bangkit dan menyadari kalau perjuangan untuk mencapai kemerdekaan merupakan tanggung jawab bersama, maka didirikan organisasi Budi Utomo oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) sebagai tanda dimulainya Kebangkitan Nasional. Sementara pada 21 Mei 1998, bangsa tercinta kembali dipelopori mahasiswa untuk melengserkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun (1966-1998) dengan aneka praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Kebangkitan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dari kata bangkit berarti bangun kembali; timbul atau terbit, sementara kebangkitan berarti kebangunan yaitu menjadi sadar (KBBI online). Dalam hadis, kata yang sepadan dengan kebangkitan ditemukan kata نهض memiliki konteks bangkit setelah sebelumnya dianggap berputus asa karena Nabi suci saw diduga telah terbunuh di perang Uhud 3 H, ternyata masih hidup (al-Baihaqi, III, 1988), atau dalam konteks bangkit ke medan perang (Hunain 8 H) melawan musuh seperti hadis al-Nasa’iy (II, vol IV, 1999), atau bangkit untuk kedua kalinya (berulang kali) setelah sebelumnya gagal seperti dalam kisah perang Khaibar di bawah komando Umar bin Khattab ra (w. 23 H), lalu komando diestafetkan pada Ali kw (w. 40 H) dalam riwayat Ibn Hanbal (w. 241 H) (t.th, V).
Berpijak dari kata bangkit (نهض) di atas, memuat tentang sebuah kebangkitan harus dilakukan terus-menerus dan tidak pernah berhenti agar tercapai apa yang dilakukan, meski taruhannya harus dengan nyawa sekalipun. Konteks ini telah dilakukan oleh pejuang dan pendiri bangsa ini, dimulai dengan kesadaran akan nasib bangsa yang dijajah dan supaya keluar darinya dengan aneka model perjuangan, tetapi tetap satu yaitu berada dalam bingkai kebersaman. Dari sini, penulis menyadari bagaimana kata tersebut dipakai dan dipahami secara hakikat oleh tokoh-tokoh, mahasiswa saat itu dalam pergerakan Kebangkitan Nasional, dan ulama; khsususnya hadrah al-Syeikh Hasyim al-‘Asyari (w. 1947 M) dan rekan-rekannya saat menamakan organisasinya dengan Kebangkitan Ulama (Nahdhatul Ulama) yang pada faktanya memuat kiprah yang besar turut memerdekakan bangsa tercinta ini.
Sementara kata reformasi yang berarti perubahan yang terjadi secara drastis, untuk merubah beberapa aspek yaitu bidang sosial, politik, agama dan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara yang semuanya bertujuan untuk perbaikan (KBBI online) atau إصلاح sebagai arti yang diinginkan dari kata reformation atau reform (Hans Wehr, 1976). Dalam hadis ditemukan banyak peristiwa yang mengungkap kata tersebut baik di Hudaibiyyah 6 H, bersama tokoh Najran pada 9 H dan lainnya. Kata ini merujuk agar melakukan perbaikan bukan untuk melakukan kekacauan apalagi kerusuhan meski dalam tujuan mencapai perbaikan kadang harus mengorbankan hal-hal tertentu seperti reformasi 1998 di indonesia.
Di tanggal 20 dan 21 Mei, baik kebangkitan maupun reformasi memuat satu tujuan yang sama yaitu perbaikan ke arah yang lebih baik. Bukankah kebangkitan Nasional agar kita semua bangsa ini terbebas dari penjajahan dan berikutnya dapat menentukan nasib sendiri ? begitu pula reformasi bertujuan agar bangsa ini bebas dari aneka praktek yang tidak benar seperti korupsi, kolusi, nepotisme yang merugikan bangsa ini ? keduanya bertujuan agar terjadi perbaikan meski jalan yang ditempuh masing-masing berbeda disebabkan perbedaan konteks dan zaman serta cara untuk mencapai perbaikan tersebut.
Sebuah kebangkitan tentu tak pelak harus dimotori oleh seorang tokoh yang disegani dan diakui. Kejadian perang Uhud, yaitu Nabi suci saw diketahui masih hidup merupakan contoh kalau seorang pemimpin adalah ruh dan membangkitkan semangat pengikutnya meski kemenangan saat itu belum segera diraih, tetapi keberadaannya menjadi tolak ukur kebangkitan untuk merubah nasib melalui perjuangan. Di Indonesia, sekian banyak tokoh pejuang menjadi orang-orang yang membakar semangat kebangsaan sehingga penjajahan sirna dari Indonesia.
Sementara perjalanan reformasi bangsa ini masih terus mencari formatnya untuk menemukan perbaikan yang lebih baik dan sesuai dengan cita-cita gerakan reformasi 1998 yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab semua anak bangsa untuk mewujudkannya. Setiap elemen bangsa ini menyadari akan tugas masing-masing yang diembannya sehingga hasil Kebangkitan Nasional dapat diisi dengan cita-cita reformasi.
Kebangkitan Nasional yang akan diisi oleh cita cita reofrmasi tersebut dapat dimulai dengan pendidikan yang didukung oleh berbagai aspek, akan memainkan peran yang sangat penting dalam merealisasikan tujuan dan arah bangsa ini, sebab tanpa pendidikan; intelektual dan moral maka mengisi apalagi mewarnai cita-cita dimaskud rasanya akan masih jauh. Dalam konteks ini, tak heran pendiri Alkhairaat Guru Tua sayyid Idrus bin Salim al-Jufrie (w. 1969 M) menyatakan “apa arti merdeka jika kita tak dapat mendidik diri kita sendiri” sebab pendidikan bukan saja untuk menjadikan orang pintar dan cerdas, namun pendidikan dinilai berhasil bila dapat membentuk moral orang-orang yang telah telah cerdas itu menjadi panutan dan contoh dalam masyakarat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
wa Allahu a’lam bi al-shaâb …
foto ilustrasi: Kompas.com