EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Bidang Pendidikan, Agama, dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia – Sukoharjo Jawa Tengah | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kata waspada dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah bethati-hati berjaga-jaga, bersiap siaga dan kewaspadaan adalah keadaan terkait dengan hal ini (kbbi online), atau disebut dengan يقظ (yaqidzha) sama dengan arti kata vigilant (Hans Wehr) yaitu kewaspadaan. Kata يقظ dalam riwayat selain disebutkan terkait dengan pengertian yang riil seperti bangun dari tidur, juga diartikan secara abstrak terkait dengan pengetahuan dan kecerdasan (Ibn al-Atsir, V). Kata waspada dikaitkan dengan terjaga lanataran orang yang tidur tidak akan mampu bersiap-siaga, sebab berada dalam mimpi tidurnya dan tidak sadarkan diri saat itu. Kata يقظ terkadang disebut dengan يقظان merujuk kepada kesiagaan menghadapi sesuatu secara sadar seperti komentar beberapa orang (sahabat) tentang tidurnya Nabi suci Muhammad saw; kedua matanya tertutup namun hatinya tetap waspada atau terjaga (riwayat al-Bukhâri dan Turmudziy). Dalam konteks tersebut kata kewaspadaan adalah kesadaran penuh dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Kewaspadaan dapat berbentuk mawas diri terhadap apa yang terjadi, berjaga-jaga dari musuh, bersiap siaga untuk melakukan aktivitas, semuanya membutuhkan kesadaran dan kesadaran inilah yang membawa pada kewaspadaan. Mustahil orang dapat bersikap waspada bila ia sendiri tidak dalam keadaan sadar; baik sadar dalam arti fisik dan panca inderanya maupun sadar dalam ide dan pikiran serta perbuatan. Secara fisik dan inderawi orang yang sadar akan menghindar dari lubang yang dia lihat di depannya, tanpa kewaspadaan orang tersebut akan terperosok ke dalam lubang tersebut, sementara kewaspadaan ide, pikiran dan perbuatan akan menjadikan orang tersebut dapat menjaga dirinya dari aneka kejahatan, kemungkaran dan keburukan-keburukan yang merugikan dirinya sendiri.
Dalam kondisi kewaspadaan diri, sebagian para wali Allah bersikap seolah-olah waspada dalam setiap langkahnya, sebab ketakutan mereka adalah saat mereka tidak awas; lalai dan lengah kewaspadaannya maka mereka akan masuk ke dalam keburukan yang tanpa mereka sadari. Kewaspadaan merupakan jalan agar orang berhati-hati dalam melangkah. Orang yang dinilai waspada dianggap sebagai orang cerdas, sementara orang yang tidak waspada adalah orang yang bodoh (al-Haddad, 1987). Kewaspadaan dibangun melalui kesadaran diri, Sidarta Gautama (w. ± 400 atau 411 SM ) yang oleh sebagian ahli tafsir dianggap salah satu pembawa agama Allah swt pada awalnya seperti nabi-nabi lainnya saat menafsirkan QS al-Tin ayat 1 (al-Qasimiy, IX, 2003), terlepas dari benar tidaknya interpretasi tersebut, sang Budha pernah menyatakan: “Appamādo amatapadaṃ pamādo maccuno padaṃ appamattā na mīyanti ye pamattā yathā matā (Dhamapada, 21). Artinya: “Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, Tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati”.
Dalam Islam bentuk kewaspadaan dapat dilihat dari tiga aspek: pertama¸waspada terhadap hal-hal yang membahayakan fisik, termasuk di dalamnya yaitu hewan buas, penyakit seperti covid 19 di masa kini, bencana-bencana alam dan semisal dengan hal itu. Dalam konteks waspada terhadap binatang buas, maka orang yang sedang shalat sekalipun dapat membunuh hewan berbisa seperti kalajengking dan sejenisnya seperti dalam hadis riwayat Ibn Majah (w. 273 H) dari ‘Aisyah ra (w. 57 H); kedua, waspada pada musuh, baik secara nyata maupun tersembunyi. Musuh yang tersembunyi dapat berupa orang munafik, bisikan dan dan rayuan syaithan serta hawa nafsu. Kewaspaadan dalam hal ini nampaknya menjadi perhatian besar pengkaji Islam, khususnya mereka yang dekat dengan Allah swt (al-muqarrabîn). Tidak sedikit ayat maupun hadis dalam masalah ini yang menyatakan senantiasa waspada supaya tidak terjerumus dan mengikutinya; ketiga, waspada terhadap sifat yang buruk seperti kikir, dengki, tipu muslihat, sombong, dan sejenisnya. Sifat-sifat tersebut sering disebut dengan al-akhlaq al-madzmumah yaitu perangai atau akhlaq yang tercela (al-Ghazali, 1995).
Perumpamaan Sang Budha di atas dapat dilihat mengenai arti kehidupan manusia. Orang kadang sudah mati, namun namanya tetap dikenang, kenapa? karena dalam kehidupannya ia selalu berbuat kebaikan/kebajikan. Selama hidupnya, orang itu waspada terhadap keburukan sehingga namanya menjadi kekal. Orang yang berilmu disebut sebagai orang yang tetap hidup meski tulang belulangnya remuk di bawah tanah:
أخو العلم حي خالد بعد موته # وأوصاله تحت التراب رميم
Artinya: “ orang berilmu hidup kekal, (meski) setelah ia mati # sementara tulang belulangnya di bawah tanah telah hancur”
Islam mengajarkan kewaspadaan yang mengantarkan orang tersebut ‘kekal’ meski sudah wafat. Dengan ilmu pengetahuan, berbuat kebaikan/kebajikan, menghindari aneka kejahatan merupakan hal-hal yang menjadikan seseorang tetap hidup meski sudah tiada.
wa Allahu a ‘lam bi al-shawâb…