Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Sering kali kita mendengar tentang doa baik dalam aktifitas rutin sehari-hari seperti shalat -meski shalatpun adalah doa, setidaknya dalam perspektif bahasa- maupun dalam aktifitas kolektif misalnya rapat, pernikahan, ulang tahun dan semisal dengannya. Doa merupakan permohonan agar apa yang diinginkan tercapai, diterima (al-‘ad’iyyah al-mustajâbah) sehingga mereka yang didoakan dapat bahagia, selamat, sukses atau bahkan sebaliknya doa yang buruk bagi pelaku kedzaliman.
Hadis Rasulullah suci saw menginformasikan doa-doa yang diterima oleh Allah swt, dapat dilihat dari dua aspek: (1) diterima lantaran kondisi atau sifat dari individu tertentu; (2) diterima lantaran waktu atau tempat tertentu yang diberi kemuliaan. Tulisan ini akan menguraikan secara khusus doa yang diterima terkait dengan individu tersebut. Al-Turmudziy meriwayatkan dari Abu Hurairah (V, 2003) :
ثلاثة لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل ودعوة المظلوم يرفعها الله فوق الغمام ويفتح لها أبواب السماء ويقول الرب وعزتى لأنصرنك ولو بعد حين
Artinya: “tiga doa yang tidak ditolak yaitu doa orang berpuasa sampai ia berbuka, doa pemimpin yang adil dan doa orang yang dizhalimi, Allah akan mengangkatnya di atas awan dan dibuka baginya pintu-pintu langit. Lalu Allah berfirman: ‘demi kemuliaan-Ku, Aku akan menolong mu (orang yang dizhalimi) walaupun sesaat lagi (setelah ini).”
Hadis ini dinilai hasan oleh al-Turmudziy atau bahkan shahih oleh al-Arnawuth (w. 2016 M) dengan berbagai jalannya (notasi dalam Musnad Ahmad, II, t.th) memuat tiga bentuk doa melalui realisasi hubungan sosial, dan realisasi inilah menjadi penyebab doa-doa tersebut diterima. Doa orang yang berpuasa diterima sebab ia ikut merasakan kelaparan orang miskin. Rasa lapar dari orang yang berpuasa akan menghentak hatinya bahkan akan menjadi penyebab ia melakukan tindakan filantropi. Doa orang yang dizhalimi diterima sebab orang tersebut dirampas hak-haknya sementara ia berada dalam posisi lemah atau dilemahkan pihak lain. Doa orang yang berpuasa diterima melalui realisasi kebaikan diri sendiri, sementara doa orang yang dizhalimi diterima akibat dari realisasi keburukan pihak lain.
Bagi seorang pemimpin yang adil doanya ‘teristimewa’ dari dua doa di atas, meski banyak ulama dalam konteks hadis ini lebih mengulas doa orang yang dizhalimi (da‘wah al-madzlûm) seperti al-Mubarakfuriy (w. 1353 H) dalam Tuhfah al-Ahwadziy (VII,). Doa pemimpin yang adil ‘teristimewa’ karena mencakup dua aspek sosial sekaligus yang telah direalisasikan, melakukan kebaikan dan menghindari kezhaliman maka ia disifati dengan adil. Dua hal ini yang tidak dimiliki oleh dua doa yang diterima lainnya yaitu doa orang yang berpuasa dan doa orang yang dizhalimi.
Selain tiga doa tersebut, ada juga doa-doa lain yang diterima; doa orang tua (pada anaknya); doa orang musafir (HR Abu Daud, I, 2003); doa seseorang kepada orang lain secara diam-diam (HR Muslim, II, 1993) memiliki aspek realisasi sosial. Hubungan antara orang tua dan anak, kondisi yang ditemui musafir dalam perjalanan maupun hubungan antara sesama menjadi titik tolak doa diterima. Abd ‘Adzhim al-Abadiy (w. 1329 H) dalam ‘Aun al-Ma’bud (IV, 1415 H) menilai kalau doa orang tua dan doa musafir lebih kuat diterima dari pada doa pemimpin yang adil dan doa orang yang berpuasa, dengan alasan kalau doa mereka bersumber dari kesungguhan atau ketulusan dalam meminta, kelembutan atau sensitifitas dan hancurnya hati.
Pendapat al-Abadiy tersebut bila dilihat dari aspek kekhusyuan maka dapat diterima, tetapi bukankah hal ini dapat dipenuhi oleh pemimpin yang adil ketika berdoa dengan sungguh-sungguh dan khusyuk ?. Selain aspek ini dapat dilakukan dan dipenuhi, penulis berpendapat doa pemimpin yang adil tetap ‘teristimewa’ sebab ketika berdoa dengan khusyuk maka secara otomatis ia melepas semua egonya dan lantunan doa yang keluar dari mulutnya hanya diperuntukkan bagi rakyatnya yang tak memiliki hubungan apapun dengannya secara genetika sebagaimana doa ibu pada anaknya yang memiliki pertalian darah. Kondisi yang membuat rumit pemimpin saat mengurus rakyatnya namun ia tetap tulus berdoa menunjukan kelasnya sekaligus perbedaan dengan doa orang musafir saat memperoleh kesulitan dalam perjalanan.
Doa orang tua pada anaknya maupun doa orang musafir meski merupakan realisasi hubungan sosial yang berada dalam skala kecil dan bentuknya lebih bersifat pribadi, tetapi doa keduanya lebih terkait dengan ‘keuntungan’ individu atau ‘kepuasan’ personil, sementara doa pemimpin yang adil merupakan realisasi dari amanah sosial untuk kepentingan dan kemaslahatan umum secara kolektif .
wa Allahu a‘lam bi al-shawâb …