Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Piala Eropa/ EURO 2020 kali ini baru dapat diselenggarakan di tahun 2021 disebabkan covid 19 yang berlarut-larut. Bagi penggemar bola, ajang tersebut menjadi tontonan menarik di masa pandemi, setidaknya membantu untuk tetap diam di rumah. Pecinta atau tepatnya yang sudah naik kelas menjadi ‘GIBOL’ (gila bola) tidak akan berhenti sekedar nonton, alur pikir dan imajinasi akan mengingatkannya pada negara-negara yang pernah memiliki nama di ajang bergengsi tersebut, sayangnya di masa kini negara itu bahkan sudah tidak ada dalam atlas dunia.
Pada 25 Juni 1991 disebut-sebut sebagai awal disintegrasi negara Yugoslavia, sebab Kroasia dan Slovenia menyatakan kemerdekaan darinya. Pada 28 April 1992 negara Yugoslavia yang pernah menjadi rennur up piala Eropa 1960 dikalahkan Uni Soviet dengan skor tipis 1-2 akhirnya bubar. Padahal Yugoslavia masuk menjadi peserta piala Eropa untuk Juni-Juli 1992, tetapi Denmark menggantikannya dan bahkan menjadi Juara piala Eropa dengan mengalahkan der Panzer Jerman 2-0.
Dua fakta negara Eropa modern yang pernah memiliki prestasi dalam ajang piala eropa; Yugoslavia dan Uni Soviet hanyalah kenangan sejarah yang memberikan pembelajaran tentang pentingannya rasa kebangsaan dalam semua lini kehidupan anak bangsa Indonesia. Merujuk A Dictionary of Modern Written Arabic, kebangsaan adalah الجنسية bermakna nationality sementara untuk bangsa dipakai kata شعوب atau nation (Hans Wehr, 1976). Kebangsaan adalah ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, kebangsaan dapat juga berarti kesadaran diri sebagai warga dari suatu bangsa, dan bangsa adalah kelompok masyakarat yang bersamaan dalam beberapa hal seperti keturunan, adat, bahasa, sejarah dan pemerintahannya (KBBI online).
Dalam kajian Islam klasik, kata bangsa ditemukan dalam ayat populer yaitu QS: al-Hujurat;13 dengan kata شعوب yang oleh Ibn Abbas (w. 68 H) dimaknai suku-suku yang besar, dan suku-suku (القبائل) tersebut adalah inti (al-Bukhariy, III, 1994) asal dari bangsa-bangsa tadi. Menarik untuk diperhatikan, kata suku atau qabilah (قبيلة) berasal dari kata qabila (قبل) artinya menerima. Hal ini menunjukkan dalam hidup berbangsa dan bernegara tentu rasa kesadaran kebangsaan harus ada di dalam lubuk hati yang dalam dan praktek keseharian dari anak bangsa agar saling menerima perbedaan suku, ras, agama dan golongan. Untuk saling menerima pendapat yang berbeda, agar saling menerima kritikan dan usulan, agar saling menerima nasehat dan titah yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat umum.
Dalam keterimaan di atas tentu ada ‘protokol’ agar semua berjalan dengan baik dan aman. Protokol dimaksud adalah kesadaran berbangsa, kesadaran berkelompok, kesadaran bertetangga dan sebagainya. Kesadaran yang muncul dari individu-individu akan tercipta kesadaran sosial kolektif. Dalam konteks kesadaran di masa pandemi, misalnya orang yang ‘merasa’ sakit atau bahkan sakit tentu ia tidak bergabung dengan orang lain, bukan karena mengisolir diri tapi demi kepentingan orang banyak. Demikian pula dengan bekerja sama dalam lingkungan masing-masing, dapat tercipta bila ada kesadaran. Dalam skala nasional, kesadaran menuntut setiap anak bangsa untuk menaaati aturan yang ditetapkan yang sesungguhnya untuk kemaslahatan bersama, dan pihak yang menentukan aturan tentu sudah harus memperhitungkan bagaimana aturan-aturan tersebut akan dapat berjalan dengan baik.
Kesadaran kebangsaan dapat menjadi semakin kental, kuat dan menyatu bila dilandasi oleh: (1) Pembelajaran tentang perjuangan bangsa Indonesia, yang tak harus diartikan sebagai rentetan kronologis sejarah belaka, tapi lebih dari itu adalah implementasi perjuangan tersebut di masa kini. Gelora perjuangan pahlawan dahulu bila telah bercokol dalam hati, ide dan tindakan generasi milineal akan menimbulkan hal-hal positif untuk bangsa ini; (2) Perbedaan yang ada, termasuk perbedaan politik adalah sesuatu yang alami dan tidak harus disikapi dengan aneka provokasi maupun intimidasi. Pelajaran berharga dalam berbangsa dapat dikutip dari kata-kata pilu penulis Yugoslavia bahwa ia berasal (lahir) di negara yang sudah tidak ada (dilansir bbc news Indonesia, 2018); (3) event tertentu yang berskala global international seperti sepakbola. Olahraga ini banyak memberikan pelajaran tentang nasionalisme seperti terlihat di Piala Dunia dan Eropa, meski di sana banyak pula kisah sedih, fanatisme negatif selain ada pula euforia positif. Event ini mengajarkan kekompakkan sebuah tim, kerjasama, kepemimpinan, sportifitas, bahkan ‘ilmiah olahraga’ yang pada akhirnya mampu menjadi champion. Sepak bola dunia sesungguhnya telah ditunggu-ditunggu oleh anak bangsa Indonesia, demi melihat garuda berkibar perkasa di sana.
wa Allahu a’lam bi al-shawâb …