Penulis : Murniyati Djufri
Alumni Madrasah Aliyah Alkhairaat Ternate
Perkembangan zaman ikut membawa perubahan besar dalam kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut berjalan beriringan antara nilai-nilai positif dan negatif. Positifnya, banyak temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan manusia dalam beraktivitas. Seperti, HP dengan segala fitur canggih di dalamnya yang membuat manusia bisa terhubung secara tatap muka meskipun terpisahkan oleh jarak dan waktu, hadirnya berbagai aplikasi online yang memudahkan manusia mencari barang, makanan, buku atau hal lain yang ia inginkan bahkan bisa mendapatkannya walaupun hanya duduk di dalam rumah, serta masih banyak lagi kemudahan-kemudahan hasil temuan IPTEK yang terasa dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, berbagai kecanggihan tersebut juga menyimpan sesuatu yang buruk di baliknya. Manusia semakin terbawa arus modernisme sampai hanyut di dalamnya. Bisa kita saksikan bersama, bagaimana sikap dan moral anak bangsa yang terjadi saat ini. Individu saling mempertontonkan dekadensi moral, hidup berfoya-foya, saling lempar ujaran kebencian, hingga kekerasan yang terjadi atas nama agama.
Semua itu bukanlah suatu kebetulan yang bisa tiba-tiba saja terjadi. Mental manusia modern saat ini sudah terbiasa menikmati sesuatu serba instan dan mengabaikan proses. Terbiasa memenuhi keinginan nafsunya tanpa ada pengendalian diri. Hal seperti ini berdampak besar terhadap sikap yang ditimbulkan. Maka tidak heran, jika manusia modern saat ini, tidak sedikit yang dengan bangganya mempertontonkan kejahilan demi kejahilan.
Menariknya lagi, hal tersebut bukan hanya terjadi pada generasi muda bangsa ini, justru orang-orang yang dituakan—yang dijadikan panutan, yang sering tampil di stasiun tv, yang menjabat, yang menjadi wakil rakyat, yang mengajar di sekolah maupun perguruan tinggi—hingga beberapa ada yang guru besar, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka menjadi bagian yang tidak jarang memberikan contoh atas perbuatan-perbuatan tersebut.
Dalam hal ini, apa yang ingin saya katakan adalah saat ini kita mengalami dekadensi moral dan kita juga kehilangan sosok—atau barangkali bisa dikatakan krisis sosok yang bisa dijadikan teladan. Melihat hal tersebut, rasanya, pendidikan adalah solusi yang diunggulkan. Melalui pendidikan, seorang guru bertugas untuk mendidik, membimbing, dan mengontrol sikap pelajar dari perilaku-perilaku amoral. Adapun pendidikan yang berperan penting dan memiliki tujuan utama untuk hal tersebut adalah pendidikan agama. Apalagi pendidikan agama yang menghidupkan spiritualitas. Sebab, spiritualitas akan mampu menjadi obat untuk penyakit manusia modern saat ini. Seperti sebuah ungkapan yang mengatakan, high tech society need high touch spiritually.
Pendidikan agama—berdasarkan Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan salah satu mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan formal di Indonesia. Pendidikan formal tersebut dimulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta Perguruan Tinggi. Pendidikan agama ini berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya dan/atau menjadi pribadi yang menguasai ilmu agama.
Jika kita lihat lebih jauh lagi, pendidikan agama khususnya agama islam, yang dilaksanakan di sekolah formal lebih condong ke fungsinya untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Sebab, untuk fungsi yang kedua, yakni untuk menguasai ilmu agama, bisa dicapai apabila seseorang menempuh pendidikan di pondok pesantren yang memang fokusnya adalah untuk mengkaji lebih dalam ilmu-ilmu agama. Selain itu, pelajar yang melanjutkan kuliah dengan konsentrasi jurusan ilmu agama juga berkemungkinan bisa mencapai fungsi yang kedua ini.
Dalam Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyah, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany mengungkapkan bahwa tujuan mutlak dari adanya pendidikan agama Islam itu didasarkan pada konsep ilahiyah serta kebenaran mutlak dan universal. Maksudnya yaitu, untuk menjadi hamba Allah Swt. yang bertakwa, yang dapat mengantar peserta didik menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi dengan menjalankan kehidupan sebaik-baiknya, untuk memakmurkan bumi dengan ilmu dan akhlak yang dimilikinya, hingga akhirnya mampu memberi manfaat untuk dirinya sendiri, untuk masyarakat, untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak.
Semua ini menunjukan bahwa pengajaran pendidikan agama islam yang diterapkan di sekolah, seharusnya bukan hanya sekedar mengajar untuk menuntaskan kewajiban atau hanya sekedar formalitas belaka. Guru semestinya tidak berhenti pada rutinitas ibadah dan pengajaran akhlak yang bersifat kognitif semata, tetapi didasarkan pada pemahaman batin yang dilandasi kebersihan hati yang tulus dalam mendidik serta akhlakul karimah yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan supaya peserta didik bisa terbiasa dan mampu memahami ajaran agama dengan baik, kemudian diaplikasikan dalam keseharian atas dasar kesadaran dirinya sendiri.
ilustrasi foto : By mpde