Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Judul yang aneh, itu mungkin yang terbersit di sebagian besar pembaca. Tulisan ini sebenarnya muncul dari pertanyaan (pecinta bola; gibol) tentang tim Unggulan dan tim “Kuda Hitam”. Di ajang Piala Eropa disebut Euro dan bahkan Piala Dunia (World cup), sering terdengar sebutan tim Unggulan dan tim “Kuda Hitam” (dark horse). Kedua tim tersebut memiliki peluang yang sama meski yang satu lebih diunggulkan untuk merebut piala bergengsi Euro 2020 (diselenggarakan di tahun 2021 sebab covid 19).
Pemetaan kedua tim tersebut berpijak dari sebuah generasi yang pernah menorehkan sejarah dan memiliki kualitas dalam dunia sepak bola. Tim Unggulan biasa disemayatkan pada tim-tim yang telah beberapa kali meraih gelar raja eropa seperti Jerman (1972, 1980 dan 1996) Spanyol (1964, 2008 dan 2012), Prancis (1984 dan 2000), atau pernah meraihnya meski sekali saja seperti Itali (1968), Denmark (1992), Portugal (2016) dan lainnya. Sementara tim “Kuda Hitam” (kadang disebut juga dengan underdog) adalah tim yang kurang diunggulkan ketika ajang tersebut berlangsung dengan latar belakang tim-tim yang belum pernah meraih juara eropa, namun tetap dapat menyulitkan tim-tim Unggulan, bahkan tidak mustahil menjadi juara Eropa seperti fakta sejarah pada Yunani tahun 2004.
Ulasan sederhana di atas memperlihatkan perbedaan kedua tim tersebut dari aspek kualitas dan sejarah. Dua aspek inilah yang nampak sangat dominan dalam menentukan kedua tim tersebut, mana sebagai tim Unggulan dan mana sebagai tim “Kuda Hitam”.
Aspek kualitas yang dimiliki tim Unggulan yang ada akan dikaji melalui fakta sejarah dan hadis, baik sejarah yang terkait langsung dengan Piala Eropa maupun di luarnya namun masih dalam satu jenis olahraga; Piala Dunia. Proses sejarah naratif (‘ilmu bi al-waqa‘i atau al-tarikh al-naqliy) maupun kritis (al-tarikh al-’ilmiy) akan berbicara berdasar fakta yang ada dan juga teori dari fakta tersebut dalam sejarah kritis, meski sejarah spekulatif (falsafah al-Tarikh) akan berbicara tentang perubahan satu generasi atau masyarakat dari tahap satu ke tahap lainnya dengan kemungkinan-kemungkinan berdasarkan teori yang dianalisis (komparatifkan ketiga hal tersebut antara F.R. Ankersmit dengan Mutahhari dalam karya mereka) yang disebabkan beberapa alasan termasuk kualitas yang pernah ada meski bukan di ajang Piala Eropa, tapi Piala Dunia.
Kajian tentang kedua tim Unggulan dan tim “Kuda Hitam” dari aspek kualitas pemain, mengingatkan pada sebuah hadis Nabi suci Muhammad saw riwayat al-Bukhari dari sahabat yang ‘menyerupai’ malaikat; Imran bin al-Hushain ra (w. 51/52 H) (al-Bukhariy, II, 1994):
خير أمتى قرنى ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
Artinya: “sebaik-baik umatku adalah yang ada di zamanku kemudian generasi yang datang setelah mereka, dan generasi (orang-orang) yang datang setelah mereka”.
Menurut sahabat Imran ra, generasi terbaik diukur dari kualitas keimanan (al-Bukhari, II, 1995). Kualitas iman dan beberapa lainnya seperti pertemuan dengan Nabi suci saw, dan sebagai perintis yang membedakan antara generasi sahabat, tabi‘in dan atba‘ al-tâbi‘în dan generasi setelahnya.
Diskursus tentang berapa lama sebuah al-qarn ? kita abaikan dahulu. Sebab penilaian kualitas iman dari semua generasi tersebut yang menjadi acuan perbedaan-perbedaan itu, dengan statistik rata tentang kualitas keimanan sahabat lebih dari generasi setelahnya. Ibn Hajar (w. 852 h) menukil penjelasan Ibn Abd al-Barr al-Malikiy (w. 463 H) bahwa umat Islam belakangan dapat saja menyamai kualitas sahabat dari aspek keimanan, dengan catatan kondisinya sama; dalam ujian dan sebagainya. Argumentasinya dilengkapi dengan beberapa dalil dan fakta sejarah (Ibn Hajar, VII, 2000).
Hal menarik dari pendapat ulama hadis tentang generasi berkualitas ternyata bukan merpakan konsensus (ijma’) ulama dan umat. Bagi Ibn Abd al-Barr keutamaan generasi sahabat dan tabi’in berlaku secara komunitas, sementara mayoritas ulama melihat hal tersebut secara individu. Pendapat Ibn Abd al-Barr memberikan peluang dan berkonsekuensi bahwa sebagian tabi’in dan bahkan umat Islam masa kini dapat saja melebih sahabat tertentu (jadi tidak semua sahabat), sementara pendapat mayoritas melahirkan teori semua sahabat lebih baik dari siapapun selain Nabi suci saw, meski di antara sahabat juga bertingkat-tingkat (Ibn Hajar, VII, 2000).
Analisis Ibn Abd al-Barr terletak pada kualitas iman, mengantarkan penulis untuk melihat kualifikasi yang ditetapkan bagi sebuah generasi yang disebut generasi unggul adalah kualitas. Tentu kualitas iman berbeda dengan kualitas sebuah permainan, namun terdapat aspek kesamaan dalam arti sebuah kualitas dibangun dengan cara dan metode serta usaha yang tidak mudah sehingga kualitas tersebut dapat dicapai.
Bicara kualiatas, dalam Piala Eropa Tim Inggris misalnya yang pernah meraih Piala Dunia dan itu sudah lama sekali dengan mengalahkan Jerman di Final 1966 melalui gol yang cukup kontroversi, tetap disebut-sebut sebagai tim Unggulan, baik di ajang Piala Eropa maupun Piala Dunia. Padahal tak pernah sekalipun Inggris meraih juara Piala Eropa bahkan sampai saat ini. Pertanyaan kenapa Inggris dimasukkan sebagai tim Unggulan di ajang Piala Eropa saat ini, maupun sebelumnya, apakah pantas disebut tim Unggulan?
Analisis ini dapat dilihat dari dua aspek sejarah di atas; pertama, melalui sejarah kritis. Inggris dikelompokkan sebagai tim Unggulan di Piala Eropa lantaran pernah menjuarai Piala Dunia adalah kurang tepat, sebab generasi tim sepakbola Inggris sampai hari ini meski selalu disebut tim Unggulan di dua ajang bergengsi tersebut hanya berdasar kualitas yang pernah ada pada generasi sebelumnya, dan bukan pada kualitas generasi sepakbola sekarang. Pijakannya masih dari historis yang secara teoritis kemungkinan dapat berulang meski tak pernah berulang sampai saat ini. Bagian ini yaitu sejarah kritis juga tidak akan menyisakan pendapat Ibn Barr di atas, sebab sejarah kritis berpijak pada doktrin historis sementara di dalamnya sahabat adalah terbaik menurut mayoritas ulama, dan generasi sekarang tidak mungkin menyamai mereka. Dalam konteks sepakbola, tim Inggris dalam tinjauan sejarah kritis tidak mudah dan tidak seharusnya disebut sebagai tim Unggulan, tetapi sebagai tim “Kuda Hitam”.
Kedua, melalui sejarah spekulatif yang membicarakan perkembangan komunitas masyarakat, termasuk sebuah generasi sepakbola (bagian dari perkembangan peradaban; sepabbola telah menjadi bagian dari peradaban bangsa-bangsa modern). Tim Inggris dapat disebut sebagai tim Unggulan di Piala Eropa, meski tak pernah menjuarai piala ini, disebabkan telah terjadi tahapan-tahapan perkembangan dalam sepakbola mereka termasuk dalam liga Inggris yang begitu pesat perkembangannya dan mampu menggeser liga liga Spanyol di peringkat teratas versi UEFA sebagai liga terbaik di benua biru seperti dilansir superball (30 April 2021).
Perkembangan-perkembangan tersebut telah terjadi di Inggris meskipun untuk tim nasionalnya belum dapat meraih juara Eropa, bahkan terkesan sulit mengulangi sejarah kesuksesan generasi 1966. Akan tetapi berdasar perkembangan tersebut, terdapat peluang besar menjadi juara dan ini merupakan bagian dari sejarah spekulatif, termasuk mereka telah berhasil menang dari Jerman di perdelapan final Piala Eropa sekarang sejak tahun 1966 diajang resmi/mayor; Piala Eropa dan Piala Dunia (bukan pertandingan biasa atau persahabatan). Kemenangan tersebut menjadikan sejarah naratif dan psikologi sejarah bergerak ke arah sejarah spekulatif sepakbola Inggris. Dalam sejarah spekulatif, perkembangan ini pula nampaknya Denmark hampir tidak disebut tim Unggulan meski mereka pernah meraih juara Eropa tahun 1992, sebab persepakbolaan negara itu dinilai tidak mengalami perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu dengan barometer liga di negara tersebut.
ilustrasi : ivory tower, dialogilmu.com