Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Menjelang hari raya Idul Adha, kaum Muslim yang memiliki kemampuan sangat dianjurkan untuk berkurban dengan menyembelih salah satu dari binatang ternak tertentu yang dikategorikan sebagai al-an‘am seperti sapi, kambing, dan unta demikian pula jenis dari tiga hewan itu. Dalam berkurban, terdapat ketentuan yang telah dinformasikan secara eksplisit dalam hadis Nabi suci Muhammad saw, misalnya hewan yang dikurbankan harus hewan yang yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) tidak buta, yang jelas butanya; (2); tidak pincang, yang jelas pincangnya (3) tidak sakit, yang jelas sakitnya; (3) dan hewan yang tidak kurus kering sehingga seperti tidak bersum-sum (HR al-Nasa’iy dan lainnya). Empat kriteria ini menurut imam al-Syiraziy (w. 476 H) menunjukkan setiap yang mengurangi daging hewan kurban maka tidak boleh dikurbankan (al-muhadzzab)
Penjelasan tentang hewan yang dikurbankan juga diuraikan berdasarkan qur’an dan hadis oleh para fuqaha dalam kitab-kitab fiqh seperti mengenai waktu berkurban, umur, jenis kelamin, dan kondisi yang memperkuat kesehatan dan tampilan hewan kurban misalnya, kurang disukai (makruh) bila hewan tersebut tidak memiliki tanduk (al-muhadzzab).
Sejarah al-Qur’an telah mengungkap dua kejadian yaitu peristiwa pengurbanan kedua anak Nabi Adam as (QS: al-Maidah; 27) dan pengurbanan ayah dan anak; Nabi Ibrahim dan Ismail alaihima al-shalatu wa al-salam (QS: al-Shaffat; 102-111). Kedua model pengurbanan ini secara syar’i menjadi contoh bagi umat Islam dalam berkurban. Aspek historis menunjukkan jejak pengurbanan Habil yang mempersembahkan domba (tafsir al-Jalalain) telah menjadi sebab ketetapan Allah swt pada umat Islam tentang jenis hewan yang dikurbankan dan bukan selainnya, demikian pula rencana dan aksi penyembelihan Nabi Isma’il as yang tidak terjadi dan digantikan dengan domba memperkuat pokok kejadian tentang pengurbanan dalam agama Islam.
Ketentuan tentang jenis apa yang dikurbankan dalam Islam di hari raya kurban pada dasarnya disebabkan terdapat nilai keikhlasan dari tokoh-tokoh di atas, sehingga Allah swt mengabadikanya untuk menjadi suri teladan dalam berkurban. Oleh sebab itu ditemukan dalam al-Qur’an penegasan tentang arti berkurban bukan terletak pada daging dan darah hewan yang dikurbankan meski hewan itu secara syar’iy telah memenuhi syarat untuk dikurbakan, tetapi nilai pengurbanan itulah yaitu taqwa yang didasari keihlasan yang menjadi patokan utama Allah swt menilai kurbannya seseorang. Allah swt berfirman:
لن ينال الله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم كذلك سخرها لكم لتكبروا الله على ما هداكم وبشر المحسنين
Artinya: “daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (ridha) Allah swt, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah menundukannya (hewan itu) untuk kalian agar kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian, dan berilah kabar gembira pada orang-orang yang berbuat baik.”
Nilai dalam berkurban yang menjadi patokan, maka secara substansi sesungguhnya bentuk pengurbanan meski secara syar’iy telah ditetapkan namun hal tersebut tidaklah terlarang bagi siapapun untuk berkurban dengan cara-cara yang lain yang berada dalam koridor ridha Allah swt, seperti shalat dinilai sebagai salah satu bentuk kurban (Ibn Hanbal, III, t.th).
Berkurban dalam arti yang luas dapat melalui ide, pikiran, harta, tenaga, keahlian dan lainnya tetap akan dapat meraih pahala ‘seimbang’ dengan berkurban secara syar’iy dan hal tersebut akan menjadi sarana keabadian bagi seseorang di akhirat kelak bila dilandasi keikhlasan. Tentu, bagi mereka yang mampu tetap ditekankan terlebih dahulu agar berkurban secara syari’iy di waktunya; Idul Adha, sebagai bukti ketaatan pada Allah swt meski pengurbanan tidak dibatasi oleh waktu tertentu saja.
Di masa-masa sulit pandemi, telah banyak disaksikan mereka yang rela berkurban, teristimewa tenaga kesehatan; dokter, perawat, dan siapapun yang terlibat di dalam tugas mulia tersebut, rela menyerahkan nyawa mereka demi ‘menghidupkan’ orang lain. Ini adalah salah satu contoh yang menegaskan berkurban merupakan jalan menuju keabadian di kehidupan yang kekal nanti.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …