Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Sebuah hadis yang cukup populer di masyarakat Muslim Indonesia dan pernah menjadi ajang perdebatan antara kaum tradisonalis dengan modernis di masa pra dan masa awal kemerdekaan, bahkan polemik tersebut telah terjadi jauh di masa sebelumnya di antara ulama tentang hadis yang menyebutkan 3 amalan yang akan selalu mengalirkan pahala meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah (w. 58/9 H):
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya: “bila telah wafat manusia (seseorang), terputus darinya amalannya kecuali tiga, yaitu: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya”.
Tiga penyebutan bentuk amalan shaleh tersebut ikut memantik argumentasi Ibn Hajar al-Asqalaniy al-Syafi’iy (w. 852 H) kepada Mughalthaiy al-Hanafiy (w. 762 H ), bukan pada aspek sampai atau tidaknya pahala, tetapi pada aspek pembuktian sejarah terkait wafatnya Utsman bin Mazh’un ra (w. 3 H) dan amalannya yang tetap mengalir kepadanya. Sebab Utsman memiliki anak yang shaleh, dan kemungkinan terdapat shadaqah jariyahnya (Fath al-Bariy) melalui mimpi Ummu al-‘Ala bintu al-Harits yang melihat air mengalir milik Utsman (Shahih al-Buhariy).
Hadis di atas secara substansi membicarakan amalan yang akan diperoleh bagi siapapun meski mereka telah wafat. Dari aspek sampai atau tidaknya pahala kepada si mayyit selain dari 3 hal tersebut menjadi bagian dari masalah ijtihadiyyah, meski ulama sepakat kalau tiga bentuk amalan dalam hadis di atas akan sampai pahalanya pada mereka yang telah meninggal dunia. Tiga bentuk amalan dalam hadis tersebut sesungguhnya secara substansi memberikan pemahaman kalau semua perbuatan baik (demikian sebaliknya; perbuatan jahat) memiliki benda, tempat, alat dan hasil.
Shadaqah jariyah disebut demikian sebab amalan kebaikan menyisakan bentuk materi yang tetap dimanfaatkan oleh orang yang masih hidup meskipun yang memberikannya sudah berpindah ke alam kubur. Bentuk shadaqah jariyah di antaranya masjid, sekolah, pantai asuhan, jalan, mushaf al-Qur’an, buku, marmer, semen, batu dan pasir yang dipakai untuk membangun sesuatu yang bermanfaat. Mencermati bentuk shadaqah jariyah maka tidak keliru jika dinyatakan kalau bentuk shadaqah ini berasal dari materi dan secara umum akan berujung pada tempat yang digunakan oleh banyak orang seperti masjid dan sekolah tadi. Meski terdapat pula bentuknya berupa alat untuk mencapai perbuatan baik (amal shaleh) seperti buku adalah alat untuk memberikan manfaat. Dalam konteks ini, mushaf al-Qur’an, buku yang diwakafkan dapat menjadi bagian dari benda shadaqah jariyah dilihat dari aspek pemakaiannya oleh orang lain, sementara dilihat dari aspek kegunaannya untuk orang lain dapat digolongkan bagian dari ilmu yang bermanfaat. Ilmu akan bermanfaat salah satu caranya dengan karya tulis yang akan dibaca oleh orang lain.
Ilmu yang bermanfaat merupakan hasil dari pembelajaran mereka yang sudah wafat namun tetap membekas pada orang yang masih hidup. Bekas tersebut tidak hanya dalam bentuk karya tulis yang dibaca; buku, tetapi memberikan kemanfaatan dalam bentuk nyata. Bila buku yang ditinggalkan saja, seperti penjelasan sebelumnya, masuk dalam kategori shadaqah jariyah namun bila telah ‘dipakai’ oleh pembaca barulah menjadi bermanfaat (yuntafa’ bihi). Dalam hal ini, ilmu akan menjadi alat untuk mencapai sebuah kebaikan, mereka yang berkiprah di dunia tekhnik sipil misalnya saat membangun jalan, jembatan, gedung sekolah dapat memperoleh dua bagian pahala. Pertama, shadaqah jariyah sebab bentuknya benda yang dipakai oleh banyak orang; kedua, tukang insinyur memanfaatkan ilmunya sebagai alat untuk membangun tempat-tempat tersebut, sebab tanpa ilmunya tentu bangunan itu tak akan bisa dibangun, dan ilmu mereka adalah alat maka manfaatnya terasa melalui hasil yang diperoleh dari alat itu.
Anak yang Shaleh menjadi bagian amalan yang terus menyalurkan pahala pada orang tuanya yang sudah wafat, sebab selain anak itu berasal dari orang tuanya juga merupakan hasil dari kerja keras mereka berdua sehingga menjadikan anaknya sebagai anak yang shaleh. Saat seorang anak telah memberikan doa yang rutin pada orang tuanya yang sudah wafat, merupakan salah satu indikator kalau orang tua telah dapat mendidiknya menjadi shaleh. Anak shaleh adalah hasil dari perbuatan baik orang tua.
Mencermati ketiga hal yang menjadikan amalan seseorang tidak terputus meski ia telah wafat, tentu secara substansi tidak hanya terbatas pada tiga itu. Agaknya semua amalan kebaikan yang memiliki salah satu dari bentuk benda, tempat, alat dan hasil dari perbuatan yang baik akan dapat menjadi bagian dari pahala yang tidak terputus.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …