Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kenikmatan berarti kesenangan, keadaan yang nikmat. Kata nikmat memiliki beberapa arti, salah satunya adalah pemberian atau karunia dari Allah swt yang dapat berbentuk makanan maupun perasaan puas atau senang (KBBI online) semuanya berkaitan dengan keadaan yang baik, itulah nikmat menurut al-Asfihaniy (w. 503 H). Dalam terkait dengan perasaan, terdapat ungkapan al-hubur (الحبور) disebut sebagai nikmat yang baik sebab nampak di wajah orang yang memperolehnya, sementara al-surur (السرور) lebih kepada kelapangan hati (senang) lantaran memperoleh apa yang ia sukai/cintai. Dengan demikian, kata al-hubur adalah kesenangan yang lebih dari al-surur (al-‘Askariy).
Aneka kenikmatan yang ada dalam kehidupan manusia, secara mendasar mengarah pada kesehatan, ketersediaan makanan dan keselamatan orang yang dicintai dalam hal ini adalah keluarga. Al-Turmudziy dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abdullah (‘Ubaidillah) bin Mihshan (w. ?), Rasul suci saw bersabda:
من أصبح منكم آمنا فى سربه معافى فى جسده عنده قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا (لفظ الترمذي)
Artinya: “barang siapa dari kalian berpagi hari aman (selamat) keluarganya, ‘afiah pada tubuhnya, (dan) di sisinya terdapat makanan (untuk) harinya (itu) maka seolah-olah telah dikumpulkan (diberikan) untuknya dunia”.
Al-Mubarakfuriy (w. 1353 H/1934 M) menjelaskan maksud hadis di atas yaitu aman tanpa ada rasa takut dari musuh, sehat dari penyakit secara lahir batin dan memiliki makanan di hari itu (Tuhfah al-Ahwadziy). Penyebutan pagi di awal hadis tersebut merujuk pada awal hari, sebab pagi merupakan permulaan hari di mana manusia beraktifitas, sehingga yang dimaksud dengan penyebutan hari secara esensinya adalah keseluruhan hari itu.
Tiga hal dalam hadis di atas menjelaskan tentang tiga kebutuhan dharuriy; yang harus ada bagi manusia yaitu; (1) keamanan; (2) kesehatan dan (3) makanan. Keberadaan ketiganya merupakan bagian dari kenikmatan hidup. Tanpa keamanan yang ada di keluarga seseorang, maka orang tersebut tak mungkin bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, dia akan kesulitan sebab pikirannya terkuras untuk mencari cara agar keluarga dan dirinya aman dari apapun. Tentu aman dalam hal ini tidak hanya dari musuh dalam bentuk manusia, tapi aman dari penyakit, aman dari musim paceklik dan sebagainya. Keterangan al-Mubarakfuriy, aman yaitu tanpa rasa takut yang timbul dari musuh, sebab biasanya musuh itu untuk penyebutan yang telah jelas (riil) meski ada pula musuh yang tidak terlihat jelas. Interpretasi aman dari musuh terkesan berlatar belakang peperangan padahal al-Mubarakfuriy hidup di masa modern atau mungkin kondisi tempatnya saat itu (India) yang membuatnya menafsirkan demikian. Kata aminan dapat juga digandeng dengan amanahum min khauf (QS: Quraisy; 4) yaitu aman dari ketakutan akan kekurangan makanan, jadi tidak terbatas pada serbuan musuh saja (pasukan gajah dalam Tafsir Jalalain) bahkan aman dari apapun yang membahayakan nyawa sendiri dan keluarga.
Tanpa kesehatan lahir batin maka capaian hasil pekerjaan tidak akan maksimal, bahkan pekerja tersebut berpotensi tidak bekerja sama sekali. Kata ‘afiah tidak hanya terbatas pada kesehatan lahiriyah (jasmani) tapi juga tapi juga batin (rohani). Melalui kata ‘afiah, al-Mubakrakfuriy menekankan jalan/cara yang halal dalam memperoleh makanan. Dalam kaitan ini, M. Quraish Shihab memberikan ilustrasi kalau ‘afiah mata pada seseorang bukan saja sehat matanya (tidak minus dan lainnya) tapi juga difungsikan untuk kebaikan, bukan untuk keburukan.
Tanpa ada makanan maka dua hal sebelumnya yaitu keamanan dan kesehatan dapat terancam. Penyebutan pagi hari di hadis tersebut seolah-olah menjelaskan kalau perbekalan makanan yang ada pada hari tersebut tentu memiliki sedikit simpanan makanan di hari sebelumnya. Dalam konteks ini, peristiwa keamanan ekonomi telah dicontohkan melalui pola dan cara Nabi Yusuf asw (‘alaihi al-shalatu wa al-salam) mengelola hasil bumi di wilayahnya (QS: Yusuf; 47-49). Dalam keadaan pandemi, bakan dalam putaran ekonomi pangan masyarakat, pola tersebut dapat dipraktekkan dalam bentuk yang lebih modern, maju dan rapi.
Ketersediaan ketiga hal itu adalah kenikmatan hidup, terciptanya keamanan, terpeliharanya kesehatan dan ketersediaan makanan menjadikan keadaan manusia menjadi makmur dan tentram. Ungkapan hadis sangat jelas tentang siapapun yang memiliki ketiga hal itu ia telah memperoleh dunia, meski kepemilikan dunia itu dalam bentuk yang mendasar (pokok) bukan dalam bentuk yang mewah.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi : https://www.indiapicturebudget.com/