Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila melalui keputusan presiden nomor 153/1967. Latar belakang keputusan tersebut disebabkan dini hari 1 Oktober di tahun 1965 terjadi peculikan dan pembunuhan 7 perwira militer di Jakarta dan 2 perwira lainnya di Yogyarakta pada sore hari di tanggal yang sama. Kejadian tersebut lebih dikenal dengan gerakan 30 September atau G 30 S/PKI sebab tindakan keji yang telah lama direncanakan itu dimulai pada malam ke 30 di bulan September. Perwira yang menjadi korban gerakan tersebut dianugerahi sebagai pahlawan melalui kepres no. 111, 114, 118/KOTI/1965 tentang penetapan Pahlwan Revolusi.
Terlepas dari polemik sejarah yang datang belakangan tentang siapa dalang dari pembunuhan para perwira tersebut, yang pasti PKI itu ada dan beberapa tindakan kejahatan seperti peristiwa Kanigoro dan lainnya bahkan kejadian 1948 ikut menyeret dan menjadikan partai politik ini terlarang di Indonesia.
Penetapan hari kesaktian pancasila dilatar belakangi oleh konteks di atas, secara mendasar menunjukkan kalau Pancasila memiliki ‘Kesaktian’, berasal dari kata sakti yaitu keramat atau bersifat ghaib (KBBI online). Konteks ini sejalan dengan makna karamah (الكرامة) yaitu kemuliaan atau keajaiban (Hans Wehr). Dalam kajian Qur’an Hadis, konteks karamah baik secara tersurat maupun tersirat terdapat dalam peristiwa luar biasa pada diri nabi (disebut mu‘jizat) seperti membelah laut merah oleh Nabi Musa asw, menghidupkan orang mati oleh Nabi Isa asw dan Isra Mi‘raj bagi Nabi suci Muhammad saw. Kata karamah selain berarti keajaiban juga berarti kemuliaan, menunjukkan orang yang diberi keajaiban biasanya memiliki kemulian atau kedudukan khusus di sisi Allah swt. Meski dalam kebiasaan wali Allah, mereka ingin menggapai kemuliaan tersebut tanpa berharap adanya keajaiban yang kemudian dikenal ungkapan al-istiqamah khairun min alfi karamah yaitu bersikap konsisten lebih baik dari seribu keajaiban/kesaktian.
Kesaktian Pancasila menunjukkan nilai-nilai Pancasila memiliki esensi yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia, khususnya fitrah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila dinilai sakti sebab dalam perjalanan sejarah berkali-kali dirongrong namun tak dapat diubah oleh ideologi manapun. Hal ini menurut penulis disebabkan tiga hal: pertama, nilai-nilai dalam Pancasila menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang telah berakar kuat dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Nilai-nilai tersebut bukan saja di masa perjuangan kemerdekaan, namun jauh sebelum itu telah dianut dan dipraktekkan oleh masyarakat di nusantara ini. Kedua, nilai-nilai Pancasila diformulasikan oleh ulama yang istiqamah, diambil dari esensi Islam. Nilai ‘kesaktian’ Pancasila dapat muncul di saat terdesak, genting dan bahaya karena rahmat Allah swt pada bangsa ini melalui ketulusan dan keihlasan para pejuang, ulama. Ketiga, nilai-nilai Pancasila telah menjadi milik bersama yang diperjuangkan oleh rakyat, perwira dan elemen lainnya sehingga gerakan yang ingin merubahnya apalagi dengan ideologi yang tidak berketuhanan tentu akan mendapat tantangan yang keras dari segenap bangsa ini.
Pancasila memilki kesaktian sebab berlandaskan keyakinan adanya Tuhan yang Maha Esa. Sebuah kepercayaan yang sangat melekat dengan jiwa bangsa ini dan hal ini sangat bertentangan dengan siapapun yang berpaham ateis; bagian dari ajaran komunis bahkan mungkin ini adalah asal muasalnya komunis. Meski dalam ideologi komunis juga terdapat ajaran sosial dan ada juga tokohnya yang tidak mempropagandakan ateis. Dalam Islam, ateis diperuntukkan pada siapapun yang meragukan bahkan tidak percaya pada Pencipta, Kenabian, dan Hari Akhir. Tiga pokok ini dikritisi oleh Ibn Rawandi (w. 298 H) sehingga ulama menilainya sebagai ateis pertama dalam Islam. Kata al-Dzahabiy (w. 748 H): ‘Allah melaknat orang cerdas tanpa Iman, dan meridhai orang bodoh (namun) bersama taqwa”.
Pengorbanan pahlawan revolusi menjadi tolak ukur sejarah lahirnya hari kesaktian Pancasila. Kata-kata yang tertulis di lubang Buaya secara simbolis mungkin menunjukkan mereka ingin hidup kembali untuk membuktikan keyakinan mereka disebabkan kesyahidan yang telah dirasakan seperti ungkapan hadis riwayat Muslim dari Anas (w. 93 H):
ما من أحد يدخل الجنة يحب أن يرجع إلى الدنيا وأن له ما على الأرض من شىء غير الشهيد فإنه يتمنى أن يرجع فيقتل عشر مرات لما يرى من الكرامة
Artinya: “tidak ada orang (seorang pun) yang masuk surga, lalu ia ingin kembali ke dunia, dan sungguh (padahal) baginya segala sesuatu di dunia, kecuali orang yang mati syahid. Maka sungguh ia berkeinginan agar (dapat ) kembali lalu dibunuh 10 kali lantaran ia melihat ada besarnya karamah (kemuliaan mati syahid)”
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi foto: img.okezone.com