Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Dosa diartikan perbuatan yang melanggar hukum tuhan dan agama (KBBI online) atau dapat pula disebutkan dengan perbuatan buruk (الفعلة القبيحة). Bila ditilik dari pembagian al-Qur’an, maka dosa dapat terjadi bagi siapapun yang tidak dapat mengendalikan al-nafs al-amarah dan bahkan al-nafs al-lawamahnya. Kedua bentuk nafsu tersebut mengiring manusia untuk berbuat dosa, bedanya kalau al-nafs al-amarah (النفس الأمارة) memang mengarahkan manusia untuk memperturutkan kemauannya berbuat dosa sementara al-nafs al-lawamah (النفس اللوامة) pada dasarnya pelaku dosa telah dapat mengetahui mana baik dan buruk, dan meski ia juga melakukan perbuatan baik namun ia pun kerap kali melakukan dosa, ringkasnya manusia yang memiliki nafsu ini dapat dinyatakan tidak stabil.
Obyek bila dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan apa saja yang dikenai pekerjaan atau memperoleh hasil dari perbuatan sementara obyek sebagai hal, perkara atau orang yang menjadi pokok pembicaraan atau benda, dapat pula berarti apapun yang dijadikan sebagai sasaran (KBBI online). Dalam konteks obyek dosa yaitu kepada siapa dosa tersebut dilakukan, atau sasaran yang dituju saat berbuat dosa.
Pada dasarnya dosa dapat dibagi menjadi dua bagian dilihat dari obyek kepada siapa dosa dilakukan. Pertama, dosa pada Allah swt dan kedua dosa pada manusia, namun dapat ditambahkan dosa pada makhluq lainnya. Tentang dosa pada Allah dan manusia, telah banyak dibahas oleh ulama dengan ketentuan bila dosa yang berkaitan dengan Allah swt (huquq Allah) misalnya meninggalkan shalat maka pelakunya wajib melakukan 3 hal yaitu: (1) bertaubat dengan menyesali perbuatannya serta memohon ampunan Allah swt; (2) berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan (3) bersungguh-sungguh untuk menghindari apa saja yang dapat menjerumuskannya kembali ke lembah dosa itu. Tiga hal ini dalam termnologi al-Qur’an disebut dengan taubah nasuha. Apabila dosa yang diperbuat seseorang terkait dengan orang lain (huquq al-adamiy) misalnya mencuri barang orang itu maka pelakunya tersebut selain melakukan tiga langkah di atas, ia juga wajib meminta keridhaan dari orang yang dizhaliminya. Imam al-Ghazaliy (w. 505 H) bahkan menyatakan pelaku tersebut patut menyebutkan kesalahan atau dosanya pada orang yang dizhalimi. Jadi tidak sekedar meminta maaf secara umum, melainkan perlu dijelaskan kesalahan pelaku kepada orang yang menjadi obyek dosanya
Terkait dosa kepada makhluq lain, agaknya belum banyak ulama memberikan penjelasan lebih detail seperti menyiksa binatang, apakah harus meminta maaf kepada binatang tersebut ? ataukah cukup hanya meminta ampunan kepada Allah swt. Secara logika, perasaan dan adanya nash, permintaan maaf kepada binatang sebagai obyek yang disiksa tentu harus dilakukan meskipun binatang tersebut tidak berakal. Alasan kenapa perlu meminta maaf kepada binatang itu sebab: Pertama, binatang juga merupakan makhluq Allah swt yang akan dibangiktkan bersama manusia di hari kiamat (QS: al-Takwir; 5). Kebangkitan mereka bukan saja untuk membalas perbuatan sesama mereka tetapi juga kepada manusia yang pernah menzhalimi mereka. Bukankah di antara binatang pun berlaku penghitungan (hisab) di hari kemudian berdasar hadis riwayat Muslim (w. 261 H), Turmudziy (w. 279 H), Ibn Hanbal (w. 241 H) dan al-Hakim (w. 405 H) yang bernilai shahih bahwa:
لتؤدن الحقوق إلى أهلها يوم القيامة حتى يقاد للشاة الجلحاء من الشاة القرناء
artinya: “sungguh akan ditunaikan hak-hak (di akhirat) kepada ahlinya sehingga (sampai-sampai) dituntun/diarahkan kambing yang tidak bertanduk untuk (membalas) kambing yang bertanduk”.
Kedua, binatang termasuk kelompok umat (QS: al-An’am; 28) yang memiliki insting dan perasaan yang karenanya ‘meminta’ maaf padanya merupakan suatu syarat agar penyiksa tadi memperoleh ampunan Allah swt.
wa Allâhu a’lam bi al-shawâb …
Ilustrasi : Vanafi