Pendapat Tentang Shalat 5 Waktu dan Otoritas Hadis

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta  | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | email:  jafar.assagaf@uin-suka.ac.i


Beberapa hari lalu terdapat pernyataan Ade Armando; salah satu dosen Universitas Indonesia bidang Komunikasi tentang shalat lima waktu secara eksplisit (sharih/tegas) tidak terdapat dalam al-Qur’an. Sebenarnya pernyataan tersebut bagi pengkaji Islam khususnya Tafsir-Hadis bukanlah hal baru tetapi masalah klasik dan bahkan mungkin sudah usang untuk dibahas kembali. Hanya saja pernyataan tersebut telah viral di media sosial dan menuai kontroversi di tengah masyarakat awam, maka perlu diberi tanggapan.

Coretan ini dibuat untuk mencermati dan memberikan pandangan terkait klarifikasi bung Ade yang dilaksanakan oleh tv One https://youtu.be/YWyrL2cVcNw   (jadi tidak ikut nimbrung perdebatan bung Ade Armando dengan pak Samsi Ali, sebab klarifikasi bung Ade setelah itu).  Dalam klarifikasi tersebut bung Ade memang menyatakan bahwa ia tidak pernah menyatakan kalau shalat itu tidak wajib tetapi ia menyatakan kalau kewajiban lima shalat (dalam) lima waktu di al-Qur’an itu tidak ada dan itu bukan tafsiran ( menit 3.41-3.48).

Klarifikasi tersebut sekilas dapat diterima, namun penulis manganalisa ada hidden idea seolah ‘membungkam’ otoritas hadis bahkan hadis mutawatir sebagai sumber Islam bersama al-Qur’an, walaupun bung Ade mengakui kalau penjelasan shalat lima waktu itu ada dalam hadis (menit 4.21-4.24). Analisis tersebut disebabkan dua bahkan mungkin tiga pernyataan bung Ade saat memberikan klarifikasinya.

 Pertama, bung Ade menyatakan kalau ia sedang tidak menafsirkan (menit 3.39-3.41). Tentu yang dimaksud adalah tidak menafsirkan ayat al-Qur’an dan memberikan data empiris terkait tidak ada ungkapan secara tegas tentang lima waktu dalam al-Qur’an. Hal ini benar kalau ungkapan secara tegas tentang 5 waktu dalam al-Qur’an tidak ada secara tegas ada lafadznya. Namun di satu sisi ia mengakui bahwa shalat itu kewajiban. Terkait kewajiban shalat, maka tiga pertanyaan perlu diajukan padanya; (1) apakah yang dimaskud dengan kata eksplisit terkait tidak ada kewajiban 5 waktu ? untuk analogi dengan kata eksplisit tentang kewajiban shalat dalam al-Qur’an, (2) adakah ayat yang menyatakan secara tegas, sama tegasnya dengan ungkapan lima waktu, kalau shalat itu wajib, harus dengan kata Wajib? agaknya bung Ade mengiginkan ini bahwa harus ada kata Wajib bagi 5 waktu shalat, (3) lalu dari mana ia mengetahui kalau shalat itu wajib ? apakah melalui hadis dan konsensus ulama berdasar pemahaman kosa kata ayat ? sebab bila kita mengikuti logika dan pola pikir bung Ade yaitu tidak menafsirkan tetapi mendatangkan data empiris terkait ungkapan tegas shalat lima waktu, maka dalam al-Qur’an pun ‘rasanya’ tidak ada ayat secara ‘tegas menyatakan’ kata Wajib untuk shalat, tetapi pemahaman ulama tentang perintah dalam kata أقم الصلاة dalam QS: Hud; 114; al-Isra; 78 dan beberapa ayat lainnya berisi kata perintah mendirikan shalat lalu disimpulkan bahwa perintah tersebut adalah wajib dan bahkan asal kata perintah adalah wajib kecuali ada dalil yang menyatakan itu tidak wajib (al-ashlu fi al-amr li al-wujub illa ma dalla dalilu ‘ala khilafihi) bukankah ini adalah penafsiran ulama berdasar bunyi perintah ayat ?.

Berikutnya kata كتابا موقوتا, dalam kedua kosa kata ini memang ulama nampaknya tidak bertentangan bahwa yang dimaksud adalah kewajiban dan itu memiliki waktu tersendiri (موقوتا), kesemuanya ini adalah tafsiran muffassir dan ulama Islam lainnya berdasar kosa kata tersebut. Meski tafsiran, segera dinyatakan bahwa itu adalah konsesus tentang kewajiban shalat (ini belum melihat kepada hadisnya). Maka dari mana bung Ade memperoleh kewajiban shalat secara tegas dalam al-Qur’an ? kalau bukan dalam tafsiran ulama. Jadi, bung Ade di satu sisi telah mengutip atau mengikuti tafsiran ulama tentang kewajiban shalat tetapi di sisi lain seolah ‘mengabaikan’ praktek Rasulullah suci saw tentang shalat lima waktu. Sebenarnya melalui kata كتابا telah dapat dipahami bahwa itu adalah wajib, namun bila yang diinginkan ketegaskan dengan kata Wajib -mengikuti kata bung Ade tentang ungkapan eksplisit- tentu hal tersebut tidak ada.

Kedua, bung Ade menyatakan percaya al-Qur’an sebagai ayat Allah swt (5.19-5.21). Jika demikian tentu bung Ade juga percaya otoritas hadis menjabarkan al-Qur’an (misalnya QS: al-Nahl; 44; al-Hasyr;7) termasuk waktu-waktu shalat yang telah dilakukan oleh Nabi suci saw secara kontinyu. Hadis riwayat al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits (w. 74 H) yang populer dengan ungkapan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat, bernilai shahih meski ahad tetapi ungkapan dan perintah Nabi suci saw ditujukan kepada semua yang hadir di situ dan kaumnya Malik, dan tentu hal itu berkesinambungan kepada siapapun dari umat Islam. Bahkan misalnya hadis dari sahabat Malik tersebut tidak ada, maka praktek Nabi suci saw selama hidup justeru bernilai mutawatir ‘amaliy yaitu secara banyak, sahabat melihat praktek Nabi suci shalat lima waktu, lalu generasi sahabat melakukannya dan dilihat dan diikuti oleh tabi’in dan begitu seterusnya ke generasi-generasi setelahnya sampai pada kita. Agaknya bung Ade perlu melihat terkait semua perintah Allah swt itu termanifestasikan dalam hadis melalui perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi suci saw.

Bila ditinjau secara kronologis historis, kedua surah di atas baik surah Hud maupun surah al-Isra turun di Mekkah (Makkiyyah) sementara ayat 103 dari surah al-Nisa turun di Madinah (Madaniyyah). Padahal secara spesifik ayat 114 surah Hud menjelaskan sebab turunnya terkait dengan kejadian di salah satu pojok kota Madinah seperti salah satu riwayat yang dimuat oleh al-Wahidiy (w. 468 H) dan al-Suyuthiy (w. 911 H). Untuk menyelesaikan ini dapat ditempuh 2 langkah: (1) surah Hud secara umum turun di Mekkah, kecuali ayat 114 tersebut (dan mngkin ayat lainnya ?) turun di Madinah bila kita menerima riwayat sabab nuzul tersebut; (2) meski ayat tersebut turun di Madinah, kejadian yang menyebabkan turunnya ayat 114 itu terjadi sebelum turunnya surah al-Nisa;103. Harus dipahami ayat-ayat tersebut di ketiga surat itu tidak dalam posisi nasikh dan mansukh, tetapi ayat 103 al-Nisa dikuatkan oleh Nabi suci saw melalui praktek kontinyu tentang shalat lima waktu di waktunya masing-masing sepanjang hidupnya kecuali di waktu tertentu yang akan dijelaskan.

Ketiga, pernyataan bahwa banyak yang bilang ke bung Ade bahwa mereka baru tahu kalau dalam al-Qur’an itu tidak ada kewajiban lima kali ( menit 5.45-5.51). Klarifikasi bung Ade ini jelas keliru. Mungkin ia salah berkata, tetapi jelas terdapat perbedaan antara tidak ada kewajiban lima kali dengan tidak ada kewajiban lima waktu. Kalau terkait kewajiban lima kali agaknya ulama dalam hal ini tidak berbeda pendapat, kecuali ada ungkapan al-Razi al-Syafi’iy (w. 606 H) mufassir dan failosof dalam Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir menukil tulisan al-Baqilaniy (w. 403 H) -teolog handal bermazhab Malikiy- memuat kalau kaum Khawarij (salah satu sektenya) menetapkan kewajiban shalat itu hanya 2 kali yaitu Subuh dan Isya. Pendapat ini mungkin yang menginspirasi Salman al-Ghanimi dalam Mafahim al-Qur’an ? atau justeru bung Ade juga mengikuti pendapat tersebut ? agaknya tidak demikian, sebab bila dilihat dari klarifikasinya, bung Ade lebih menonjolkan tentang tidak ada kewajiban di lima waktu (meski shalat wajib) sembari menyebutkan ada umat Islam yang tidak 5 kali (shalatnya, tapi 3 kali ? atau 3 waktu dengan 5 kali shalat ?).

Adapun pelaksanaan lima kali shalat di waktunya masing-masing, ulama memang beda pendapat yang bisa dilihat dalam kitab tafsir, syarah hadis dan kitab fiqh dan ushulnya spesifik saat membahas ayat dari surah Hud dan al-Isra tersebut. Perlu dijelaskan meski mayoritas umat Islam melaksanakan kewajiban shalat di lima waktu secara sendiri-sendiri, tetapi sebagian dari mereka mengerjakan dalam 3 waktu saja seperti Syi’ah. Ulama Sunni seperti Abu Hanifah (w. 150 H) dan al-Auza’iy (w. 157/8 H) menilai waktu Zuhur itu panjang sampai memasuki waktu tenggelam (matahari, maka waktu Ashar dipastikan menyatu dengan waktu Zuhur). Walaupun dalam praktikknya kedua imam tersebut berbeda dengan komunitas Syi’ah. Bagi komunitas ini, melaksanakan kewajiban tersebut 5 kali tetapi dalam 3 waktu. Tetapi dalam fiqh mereka seperti karya al-Khomeiniy (w. 1989 M) justeru dianjurkan untuk dikerjakan 5 kali shalat dalam lima waktu. Terkait mengerjakan shalat 5 kali dalam 3 waktu; Zuhur dan Ashar digabung, Magrib dan Isya digabung dan Subuh secara sendiri juga dipraktekkan dalam Sunni berdasar riwayat shahih namun hal tersebut tidak dapat dijadikan kebiasaan. Alasannya, selama hidup Nabi suci saw melaksanakan shalat lima kali di waktunya masing-masing secara kontinyu, dan pernah menggabung shalat di waktu dan keadaan tertentu meski tidak berlayar maupun sakit, jadi kondisi menggabung shalat tidak dikerjakan oleh Nabi suci saw terus-menerus, hanya di waktu tertentu saja dan ini praktek yang dipakai oleh mayoritas umat Islam sampai sekarang.[]

Foto: nu online.jatim (NOJ/lsm)

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com