Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU & Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia disuguhkan tontonan ‘menarik’ di media sosial. Pasalnya, beberapa komentar dari Arteria Dahlan, Edi Mulyadi bahkan fenomena Habib Kribo menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Ucapan politisi dari PDIP tersebut dinilai arogansi dan merendahkan bahasa Sunda, sementara ciutan mantan caleg PKS dinilai menyinggung perasaan orang Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur. Adapun Zein Assegaf dinilai berperan melebihi kapasitasnya sebagai seorang akuntan, yang sebelumnya Kribo tersebut tidak dikenal sebagai aktivis, maupun politisi apalagi pemuka agama.
Terlepas dari apa motivasi dan tendensi mereka, nampaknya muatan politik cukup kuat dalam ‘menggoreng’ apa yang diucapkan dan terpersepsi melalui tiga orang tersebut. Polemik dan sikap yang diambil oleh sebagian masyarakat bermunculan, penyebabnya yaitu: pertama, mudahnya orang mengakses berita secara cepat di berbagai media sosial; kedua, latar belakang politik dan ideologi yang agaknya masih sulit ditepis, meski oleh sementara masyarakat telah dianggap selesai pasca terpilihnya Jokowi-KH Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil presiden Republik Indonesia; ketiga, kemungkinan kesulitan ekonomi selama masa pandemi hampir mencapai dua tahun sejak Maret 2020.
Dicermati dari hal-hal tersebut, agaknya rasa sensitif bangsa Indonesia akhir-akhir ini sangat peka, bahkan rentan memunculkan konflik. Sensitif antara lain diartikan dengan mudah membangkitkan emosi, peka (KBBI Online). Dalam kamus A Dictionary of Modern Written Arabic disebutkan kata sensitive (حساس) terkait dengan sensasions (حسيات/إحساس) yaitu merangsang emosi atau menggemparkan. Konteks kedua kata tersebut saling terkait sebab sesuatu yang peka di perasaan manusia seperti suku, agama, ras dan antar golongan akan menimbulkan kegemparan yang menghebohkan di antara mereka.
Sebagai umat beragama dalam menyikapi kondisi tersebut, supaya tidak terlibat jauh ke dalam kepekaan yang dibumbuhi itu, maka pemahaman, pengertian maupun upaya menjauhi perilaku tajassus dan tahassus patut diperhatikan agar terhindar dari ‘goreng-menggoreng’ berita ataupun persepsi dan ajakan pihak lain.
Tajassus maupun tahassus oleh sebagian ulama membedakan arti kedua kata ini, meski keduanya sama-sama disebut dalam konteks negatif seperti penggalan riwayat al-Bukhariy:
…ولا تجسسوا ، ولا تحسسوا …
Artinya: “… dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan..”
Menarik untuk diperhatikan bahwa kata tajassus yaitu seseorang mencari kesalahan orang lain untuk kepentingan pihak ketiga, sedangkan tahassus seseorang mencari kesalahan orang lain dimana pencari kesalahan tersebut melakukan sendiri, demikian menurut Ibn al-Atsir (w. 606 H). al-Qurthubiy (w. 671 H) menambahkan kalau tajasus itu mencari kesalahan sementara tahssus seseorang memperoleh melalui panca inderanya. Jadi kata yang pertama ada upaya di dalamnya untuk mencari kesalahan yang tersembunyi atau disembunyikan, sementara kata kedua dengan mendengar ucapan dan melihat tontonan di media sosial lalu menilai itu semua adalah kesalahan.
Panca indera setiap orang mungkin dapat berbeda dalam menanggapi sesuatu yang dilihat, didengar, dirasa dan diraba. Akan tetapi hasil persepsi darinya mudah digiring oleh mereka yang memang kerjanya bertajassus untuk kepentingan pihak lain yang diuntungkan. Persepsi bahkan dapat dibangun dengan bisikan yang berasal dalam diri (nafsu, syaithan dan sebagainya) dan dirasakan setiap orang. Oleh sebab itu Rasulullah suci saw memberikan petunjuk kepada sahabat ‘Utsman bin Abi al-‘Ash (w. 51 H) untuk berlindung dari bisikan itu.
Sensitif di antaranya dapat dihasilkan dari persepsi yang diterima indera lebih ke tahassus), sementara opini dengan alur logika untuk menunjukkan suatu kesalahan dari pemberitan lebih ke tajassus. Tentunya pengucap dan penyampai opini di media sosial agar tidak terlihat arogan, melecehkan bahkan serampangan harus lebih berhati-hati dan beretika saat menyampaikan. Sebab kalau tidak maka gabungan tersebut dapat berpotensi menjadi ‘kiamat’ media sosial dan mungkin inilah di antara yang dimaksud dalam hadis hasan riwayat Imam Ahmad dari sahabat Ibn Mas‘ud:
ان بين يدي الساعة تسليم الخاصة …وظهور القلم
Artinya: “ sungguh di antara (tanda-tanda kecil) menjelang kiamat (di antaranya) mengucapkan (menyampaikan) salam kepada orang (kelompok) tertentu (saja)…. dan munculnya qalam (pena; media seperti di zaman ini).
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi : gird.id