Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU & Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Masyarakat Indonesia cukup dikagetkan dengan adanya pernyataan BNPT tentang 198 pondok pesantren terafiliasi jaringan teroris, walaupun Badan tersebut telah mengklarifikasi kalau itu adalah jumlah yang kecil; 0,007% dari pondok pesantern yang ada seperti dilansir tempo.co (01-02-2022). Pada dasarnya, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama telah berusaha cukup keras untuk menjadi contoh dalam membumikan pola beragama yang santun, pemahaman yang moderat dan toleran untuk penganut semua agama melalui aneka programnya, termasuk untuk pondok pesantren.
Belakangan pondok pesantren menjadi perhatian, salah satu penyebabnya yaitu terdapat istilah yang kerap kali digunakan justeru telah dipakai sebagai identitas dan jargon komunitas yang terindikasi dengan jaringan teroris. Istilah salafiy misalnya, dipakai oleh komunitas tersebut untuk menegaskan satu-satunya jalan bagi umat Islam agar dapat kembali kepada ajaran yang murni sembari ‘meng a historiskan’ sejarah awal Islam.
Sebelum melihat penggunaan kata salafiy yang a historis di atas, perlu dipahami kalau kata salafiy (سلفيّ) awalnya berasal dari سلف (baca salafa) berarti telah berlalu, sudah lewat. Siapapun yang telah berlalu seperti orang tua yang telah wafat, guru dan leluhur dapat disebut dengan سلف (baca salaf) bahkan anak kecil yang wafat duluan dari orang tuanya seperti dalam doa saat menshalatkan anak itu seperti diriwayatkan oleh al-Bukhari secara ta‘liq:
اللهم اجعله لنا فرطا وسلفا وأجرا
Dalam konteks sejarah Islam dan hadis, kata salaf secara umum diperuntukkan bagi generasi yang hidup di abad pertama; sahabat ra dan tabi’in serta generasi abad kedua dan ketiga hijriyah atau bahkan abad ke empat hijriyah. Adapun mereka yang hidup setelah abad dimaksud disebut dengan khalaf; yang belakangan. Kedua istilah tersebut sudah sangat populer di kalangan ulama Islam, yang dalam kajian hadis dapat disebut mutaqaddimin untuk salaf dan muta’akhirin untuk khalaf.
Sementara kata salafiy merupakan penambahan dari kata salaf dengan huruf ي nisbah menunjukkan kalau orang tersebut bersifat, berkarakter dan berpandangan seperti ulama salaf dahulu. Di sini secara istilah akan muncul pertanyaan siapa yang mengikuti ulama dahulu/ salaf ? jawaban sederhana yaitu siapapun yang mengikuti ulama yang hidup di abad I-III atau mungkin IV Hijriyah dan bahkan ulama setelah abad tersebut yang tetap mengikuti salah satu ulama salaf. Oleh sebab itu, dalam mengistilahkan salafiy dapat dilihat dari dua kategori: pertama, istilah yang digunakan bagi mereka yang mengikuti mazhab tertentu yang telah ada di masa salaf sambil tetap ‘menghargai’ mazhab lain yang ada. Seperti Ibn al-Hauraniy (w. 551 H) disebut oleh al-Zirikliy (w. 1976 M):
كان عالما عاملا، إماما في اللغة، شافعي المذهب، سلفي العقيدة
“ dia (Ibn Hauraniy) orang yang alim dan mengamalkan (ilmunya), imam (pakar) dalam bahasa (Arab), syafi‘iy mazhab (nya), salafiy aqidah…”
Lebih lanjut disebut bahwa Ibn Hauraniy adalah seorang sufi. Hal senada terlihat saat Husain al-Dzahabiy (w. 1977 M) mengomentari riwayat al-Alusiy (w. 1270 H/1854 M):
عالماً باختلاف المذاهب،…. ، سَلَفى الاعتقاد،….
“… (al-Alusiy) orang yang pandai tentang perselisihan mazhab,… salafiy i‘tikad (aqidahnya)…”.
Pernyataan al-Dzahabiy dilanjutkan kalau al-Alusiy seorang yang bermazhab Syafi‘iy, tetapi dalam banyak hal bertaqlid pada Imam Abu Hanifah (w. 150 H) (al-Tafsir wa al-Mufassirun). Kedua, istilah salafiy dipakai oleh sekelompok orang yang mengembalikan hukum kepada al-Qur’an dan Sunnah, sembari dibuang;disia-siakan apa yang bukan berasal dari keduanya menurut Ibrahim Anis (1972).
Dari dua pemetaan tersebut nampak jelas kalau kategori istilah salafiy yang pertama bagi siapa saja yang mengikuti mazhab yang ada bahkan sambil bertaqlid sekalipun. Sementara salafiy yang kedua tidak ‘care’ dengan pendapat ulama yang menurut mereka tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadis. Atau justeru menilai tafsiran ulama dari kelompok lain terhadap kedua sumber tersebut tidak berdasar, dan bahkan mengklaim kelompok merekalah yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain.
Titik temu istilah salafiy yang kedua tersebut dengan ideologi yang radikal bahkan terindikasi teroris sangat jelas, terlebih kelompok salafiy kedua ini meniadakan sejarah awal umat Islam. Bagaimana bisa ? di masa awal Islam, demikian banyak ulama yang memiliki mazhab sendiri selain empat mazhab yang terkenal, di antaranya mazhab al-Tsauriy (w. 161 H), mazhab Abu Tsaur (w. 240 H), mazhab Ibn Mubarak (w. 181 H), mazhab Ibn ‘Uyaiynah (w. 198 H), mazhab Zahiri oleh Daud al-Zahiri (w. 270 H), mazhab Jaririyyah oleh al-Thabariy (w. 310 H), mazhab Zaidiyyah dari Zaid bin Ali (w. 123/4 H) mazhab Imam Ja’far al-Shadiq (w. 148 H) dan banyak lainnya. Bila kelompok salafiy kedua ini menyatakan mengikuti ulama salaf secara konsisten -meski sebenarnya merekapun mengikuti mazhab tertentu dan bertaqlid pada tokoh tertentu pula- setidaknya mereka tidak mengklaim bahwa merekalah yang paling benar. Sebab dengan begitu, maka secara tidak langsung mereka menafikan sejarah Islam yang berada di masa salaf, dimana saat itu terdapat sekian banyak pendapat ulama hebat dan wara’.
Agaknya dari konteks inilah maka pemerintah Republik Indonesia melihat perlunya merekonstruksi peristilahan salafiy tersebut, agar segera dipakai terminologi ini sehingga menjadi pesantren salafiyyah (المعاهد السلفيّة) seperti yang ada di kategori salafiy Ibn Hauraniy dan banyak ulama lainnya. Dalam UU no. 18 tahun 2019 tentang Pesantren, pasal 5 (1) a dan penjelasannya disebutkan bahwa di antara pesantren yaitu yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengkajian Kitab Kuning, dapat dinamakan sebagai pesantren salafiah (salafiyyah). Dari sini dapat dipahami, bahwa apa yang dinyatakan oleh BNPT tentang pesantren di atas bukanlah dalam kategori salafiy yang pertama.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
foto : republika.co.id