Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Wakil Katib Syuriah PCNU & Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Ketegangan beberapa hari terakhir di Eropa Timur ikut menyeret negara paman Sam (USA) dan sekutunya; NATO ‘membantu’ Ukraina yang dikhawatirkan akan diinvasi oleh Rusia. Amerika Serikat mendatangkan Alutsista canggih bersama pasukan ke Ukraina untuk menyeimbangi peralatan militer negara Beruang Merah. Peralatan militer tersebut apakah menjadi beban hutang atau hibah bahkan mungkin sebagai hadiah ? obrolan ini termasuk salah satu yang ‘panas’ di grup media sosial. Bila hal tersebut adalah hadiah, seyogyanya Ukraina tidak akan dibebani di kemudian hari dengan ongkos pengganti dari alat-alat itu.
Secara mendasar hadiah adalah sebuah pemberian, dapat berupa kenang-kenangan, penghargaan dan atau penghormatan. Hadiah juga berarti ganjaran disebabkan memperoleh kemenangan dari suatu pertandingan (KBBI online). Dalam kajian Islam, Abu Hilal al-‘Askariy (w. 395 H) menyebutkan perbedaan antara hadiah dengan hibah. Menurutnya, hadiah adalah apa saja yang dengannya pemberi hadiah berusaha mendekat kepada yang diberi hadiah, sementara hibah tidak demikian. Hadiah terkadang diajukan untuk suatu kepentingan, meski hadiah termasuk bagian dari hibah, tetapi hadiah dihubungakan dengan adanya perasaan mengagungkan, menghormati kepada yang diberi hadiah (al-‘Askariy, 2000) sementara hibah tidak.
Dalam konteks modern, perbedaan hadiah dengan hibah juga terlihat jelas misalnya di dunia pendidikan. Penelitian yang dinamakan dengan dana hibah, tetap menuntut sesuatu dari hasil dana tersebut yaitu hasil penelitian, sehingga konteks ini semacam perjanjian kontrak dan bukan hibah sebagaimana asalnya yaitu pemberian secara sukarela (KBBI online).
Aspek lainnya, hadiah tidak mensyaratkan apa-apa, bahkan ijab-qabul dan sebagainya seperti dalam hibah yang dikenal dalam syarat-syarat fiqh seperti pendapat sebagian ulama yang dapat dinukil dalam ensiklopedia induk mazhab Islam. Selain itu, secara historis Nabi suci Muhammad saw menerima hadiah dari kaisar Romawi, Muqauqis Mesir dan lainnya (Ja’far Assagaf 2008) tanpa ada syarat-syarat fiqh tersebut, namun hanya sebagai penghormatan dan persahabatan.
Itu bukan berarti hadiah pun lepas dari unsur-unsur kepentingan. Hadiah ‘putih’ layaknya diberikan dengan beberapa tujuan mulia seperti silaturahmi, persahabatan dan menghilangkan permusuhan, disinilah hadis riwayat al-Turmudziy dimaksudkan:
تهادوا فإن الهدية تذهب وحر الصدر ولا تحقرن جارة لجارتها ولو شق فرسن شاة
Artinya: “saling berilah hadiah sesama kalian, sungguh hadiah itu akan menghilangkan kedengkian dan permusuhan, dan janganlah sekali-kali seorang tetangga meremehkan (hadiah) pemberian untuk tetangganya, walaupun pemberian itu hanya kuku kambing
Konteks hadis di atas diikuti dengan tidak perlu merasa malu walau sang pemberi hanya menghadiahkan sesuatu yang sedikit melalui ilustrasi فرسن شاة kuku kambing yang bercampur sedikit daging (majd al-Din Ibn al-Atsir), maka penerima hadiah tentu lebih pantas menghormati hadiah tersebut tanpa menggerutu apalagi mencela. Dari sinilah kemudian akan terbangun saling cinta antara pemberi dan penerima hadiah seperti dalam riwayat al-Baihaqiy (w. 458 H) dalan sunannya:
تهادوا تحابوا
Artinya: “saling berilah hadiah sesama kalian, (maka) kalian akan saling mencintai..
Cinta antara pemberi dan penerima hadiah disebabkan hadiah itu diberikan dengan sukarela. Terkadang dalam kehidupan, hadiah juga diberikan oleh pemberi kepada seseorang yang telah membantunya. Tentu bantuan tersebut bukan dalam konteks menyogok (risywah), tetapi diberikan sukarela pada saat pemberi hadiah telah selesai dengan suatu urusan -tanpa didahului dengan perjanjian- dan dia dengan sukarela memberikan hadiah kepada orang yang membantunya itu tanpa ada paksaan dan permintaan dari orang yang membantunya tadi. Walaupun dalam konteks tertentu sebuah hadiah ditolak dengan suatu alasan atau sebab, seperti dalam peristiwa hadiah kepada Nabi suci saw saat sedang berihram (al-Bukhariy, II, 1995).
Penolakan hadiah dapat pula terjadi dengan sebab lain menurut Ibn Hajar (w. 852 H/1449 M), misalnya disebabkan ada unsur keraguan dari penerima hadiah bahwa hadiah yang diberikan kepadanya sebenarnya adalah hutang (V, 2000) yang justeru harus dilunasi di kemudian hari. Dalam konteks inilah bantuan Amerika Serikat dan NATO kepada Ukraina tersebut dapat ditelusuri apakah itu adalah hadiah ‘putih’ ataukah sebagai sebuah hutang?
wa Alâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi: news.detik.com/AP Photo/Vadim Ghirda