Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU & Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kesulitan memperoleh minyak goreng terjadi beberapa waktu lalu sampai sekarang masih dirasakan di berbagai daerah di Indonesia. Aneka media massa memberitakan emak-emak harus antri berjam-jam untuk memperoleh salah satu kebutuhan pokok rumah tangga tersebut meski dengan harga yang tidak normal alias lebih mahal dari harga biasanya.
Peristiwa naiknya kebutuhan pokok dilihat dalam konteks perputaran uang, ketersediaan serta permintaan akan barang tersebut, maka hal demikian sebenarnya telah terjadi di masa-masa sebelum ini. Dalam hadis bernilai hasan (majma al-zawaid) riwayat Ibn Majah (w. 273 H) dari sahabat Ibn ‘Umar (w. 74 H) menceriterakan kondisi pasar, yaitu mahalnya harga hewan yang gemuk (daging salah satu makanan pokok masyarakat di sana) kepada ayahnya selaku pimpinan/khalifah saat itu. Dalam konteks ini perlu dilihat kalau harga kebutuhan pokok dapat turun-naik adalah sebuah kewajaran jika tidak berlangsung lama dan terus menerus. Hal inilah dipahami ‘Umar ra (w. 23 H) sebagai kepala negara maka ia tidak mengomentari kasuistik anaknya tadi.
Konteks kelangkaan minyak goreng tentu tidak hanya dapat dilihat dari satu aspek, namun hal tersebut dapat terjadi disebabkan beberapa hal. Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Dr. Hempri Suyatna menyebutkan 3 hal yang melambungkan harga minyak goreng, yaitu: (1) meningkatnya harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar international; (2) gangguan distribusi; dan (3) penimbunan minyak goreng (detikEdu. 16-03-2022). Dari ketiga hal tersebut, yang terkait langsung dan nampak berhubungan adalah point 2 dan 3.
Minyak goreng adalah bahan pokok yang dipakai sebagai kebutuhan rumah tangga, maka kelangkaan tersebut sangat membuat panik, terutama ibu rumah tangga dan pedagang makanan. Dalam konteks distribusi maupun penimbunan tentu saling terkait erat. Sebab distirubsi minyak goreng dan bahan pokok lainnya akan berjalan dengan baik jika distributor maupun juragan minyak goreng sama-sama memahami dan melaksanakan tugas dan fungsinya dengan benar. Salah satu saja yang melakukan penimbunan dengan cara menahan barang tersebut dalam waktu yang cukup lama, tentu akan sangat menyusahkan rakyat yang membutuhkannya, apalagi jika keduanya ‘bermain mata’ tentu akan lebih fatal akibatnya seperti yang terlihat akhir-akhir ini tentang kenaikan harga minyak goreng yang melambung tinggi.
Dalam kajian Islam, Nabi suci Muhammad saw telah menyatakan dalam sabdanya:
من احتكر فهو خاطئ
Artinya: “siapa yang menimbun, maka ia berdosa”
Imam al-Nawawiy (w. 676 H) mengulas, hadis ini menunjukkan dengan jelas haramnya menimbun barang, yaitu kebutuhan pokok. Menimbun dalam ilustarisnya, seseorang membeli makanan/kebutuhan pokok di saat harga mahal dan ia tidak menjualnya segera mungkin bahkan menimbun agar semakin mahal. Hikmah dari larangan menimbun bahan pokok untuk menolak mudharat/bahaya, kesulitan dan (bahkan kelaparan) dari masyarakat sosial. Saking pentingnya bahan pokok didistribusikan, ulama telah berkonsensus (‘ijma’ ?) kalau seandainya ada makanan pada orang tertentu, sementara masyarakat kesulitan memperoleh makanan itu dan tidak memperoleh kecuali pada orang tadi, maka orang tersebut harus dipaksa untuk menjual; termasuk mendsitribusikan, dan memberikan pelayanan dengan menjual barangnya agar menolak bahaya yang dapat terjadi pada masyarakat umum.
Dalam konteks kelangkaan minyak goreng tersebut, usulan dari peneliti UGM di atas selain operasi pasar, memotong jalur distributor dan tak kalah penting yaitu mencegah konsumen jangan sampai ikut menimbun. Konteks inilah yang relevan dengan penjelasan al-Nawawiy di atas. Potensi menimbun tidak hanya terjadi di pihak penjual barang/ pengusaha namun dapat pula terjadi pada pembeli.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
Foto : sonora.id