Pengurus KOMDA Alkhairaat Ternate, Bidang Pendidikan | Dosen UNKHAIR Ternate
Dalam dunia perdagangan setiap akhir tahun, para pedagang membuat neraca perhitungan laba-rugi, saham, dividen, utang-piutang dan sebagainya, yang kemudian dianalisis untuk menghadapi tahun berikutnya. Dalam satu tahun, Ramadan menjadi bulan kesembilan, dalam kalender hijriah. Dari total 12 bulan, Ramadan muncul setelah berselang 11 bulan sebelumnya. Kemudian, berputar lagi, hingga bertemu Ramadan tahun berikutnya. Begitu seterusnya. Kemudian fakta lainnya, diantara semua bulan itu, Ramadan dikhususkan dengan keutamaan yang agung dan keistimewaan yang banyak.
Fenomena tersebut cukup menarik perhatian. Membaca ritme bulan dalam setahun, Ramadan terasa seperti arena untuk bebenah diri, bekal berpetualang di 11 bulan setelahnya. Ibarat kata, Ramadan itu bagai charger bagi ponsel. Setelah baterai berkurang maka ponsel harus segera di-charge agar tidak mati. Begitupun, diri dan hati ini. Lelah dan letih bergumul dengan perkara dunia yang penuh liku selama sebelas bulan sehingga perlu di-charge dan direfresh agar senantiasa segar dan benar. Selama rentang ibadah di bulan Ramadan, sebenarnya berserak hikmah dan pelajaran hidup yang berguna untuk men-charge dan me-refresh diri.
Pertama, Ramadan mengajarkan tentang pentingnya disiplin dan pengendalian diri. Dalam melaksanakan ibadah puasa tentu ada aturan yang jelas. Ada yang boleh dilakukan, dan sebaliknya, ada yang tidak boleh. Bahkan, penggunaan waktu pun sangat tertib dan terjadwal. Misal, kapan waktu untuk makan sahur, berbuka puasa, shalat Tarawih dan ibadah lainnya. Bicara disiplin waktu, sebenarnya sudah lama Allah mengajarkan kita agar menghargai waktu. Dijelaskan dalam surah Al-‘Asr ayat 1-3, “Demi waktu, sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Sikap disiplin jangan hanya dilakukan selama satu bulan saja. Namun, dilanjutkan pada bulan-bulan lainnya. Terus istikamah selama 11 bulan pasca Ramadan sampai berjumpa lagi dengan Ramadan berikutnya. Dapat dibayangkan, bila disiplin dan kendali diri diterapkan di keluarga, sekolah, kantor, dan lingkungan lainnya, hidup akan aman dan damai. Tata tertib dan peraturan benar-benar dibuat untuk dipatuhi, bukan sebaliknya. Bahkan, bisa jadi, budaya “jam karet” yang sudah menjamur di mana-mana, bisa berangsur memudar.
Kedua, Ramadan melatih diri untuk bersabar. Untuk menjalani ibadah puasa sebulan penuh, sungguh tidak mudah. Berusaha menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan melemahnya fisik, tentu memerlukan kesabaran yang ekstra. Ditambah lagi, serangkaian perintah yang harus ditaati, dan larangan yang harus dijauhi, juga butuh sabar Bila kita mampu berlatih sabar di bulan Ramadan, mestinya mampu juga bersabar di bulan selanjutnya. Karena untuk menjalani rutinitas sehari-hari, sangat butuh perisai sabar. Misal, sabar dalam mentaati peraturan di semua lingkungan; sabar mengantre bila banyak orang dengan kepentingan yang sama; sabar dalam menuntut ilmu; sabar saat mengalami keterbatasan atau kekurangan; bahkan sabar menghadapi beratnya ujian dan musibah, dan contoh lainnya.
Ketiga, Ramadan mendidik kita agar dermawan dan berjiwa sosial. Perhatikan saja, setiap kali Ramadan, banyak sekali program dan kegiatan sosial, seperti penggalangan dana untuk berbuka puasa bersama, santunan untuk anak-anak yatim piatu, dan lain sebagainya.
Budaya berbagi yang ramai dilakukan di bulan Ramadan harus dipertahankan di bulan-bulan setelahnya. Walaupun, programnya tentu berbeda, sesuai dengan kebutuhan karena kondisi ekonomi setiap orang tidaklah sama. Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, perlu mendapat perhatian dari mereka yang di atasnya. Maka, jangan berpangku tangan, dan diam seribu bahasa, melihat kesulitan orang lain.
Mudahan-mudahan Ramadan kali ini membawa energi positif bagi kita semua.
ilustrasi: okezoe