Penulis : Kaysan
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali dalam akun fb_kaysan, 30 Mei 2019
MUNGKIN, ini semata karena keMahaPemurahan Tuhan, sampai-sampai hal yang paling gampang dan tidak memerlukan usaha keras untuk mengerjakannya, malah diganjar dengan nilai ibadah: tidur di bulan Puasa.
Saya sedikit terusik, ada yang seolah bertolak belakang di situ. Sebab Nabi ﷺ senantiasa menganjurkan untuk mengurangi tiga hal agar terhindar dari penyakit keras hati: kurangi makan, kurangi tidur dan kurangi bicara. Ini anjuran yang sifatnya general, puasa ngga puasa ya sama aja, tetap harus dijalankan, kurangi yang tiga itu.
Untuk jenis puasa level advance, kita tidak lagi sekadar disuruh menahan makan minum, tetapi juga membatasi aktivitas indra-indra yang lain supaya bekerja seperlunya saja; mendengar seperlunya, berbicara seperlunya. Yang terakhir itu sangat sulit dilakukan, makanya untuk itu kita disuruh tidur. (Kasihan sih ya, kita seperti anak kecil, harus dengan iming-iming hadiah berupa pahala). Sebab jika tidur maka otomatis kita diam. Nah, sebenarnya yang mandatory itu adalah diamnya, bukan tidurnya. Tidur hanyalah selubung. Kupas cangkang, ambil mutiaranya. Jadi, terjaga dengan keadaan mulut (dan jari—camkan baik-baik ini wahai netizen) mingkem itu lebih baik, sebab dalam keterjagaan ada banyak hal berguna yang bisa kita kerjakan.
Sederhananya, ini perkara kendali atas (anggota) tubuh. Bulan Puasa adalah tempat latihan. Semacam sekolah. Diistilahkan sebagai madrasah ruhaniyah, sekolah bagi jiwa. Nanti, sebelas bulan ke depan adalah tempat bertarung dan menguji diri dari apa-apa yang sudah kita latih dan pelajari selama sekolah.
Keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan full-charge, kita siap berjalan menyusuri sebelas bulan berikut sebagai arena pertarungan. Niscaya, energi yang kita bawa sebagai bekal pada saat 1 Syawal akan terus terkuras hingga sampai di Ramadhan berikutnya. Untuk itu disiapkan stasiun-stasiun pengisian bahan bakar untuk menjaga tenaga agar tidak lobet. Powerbank-powerbank itu bernama Puasa Senin Kamis, atau Puasa Syawal, atau Puasa Asyura, atau Puasa Arafah. Yang baterainya rentan drop bisa memilih jalan Puasa Daud. Itu semua opsional, agar kemampuan kendali diri yang kita sudah latih tadi tidak mudah menguap.
***
DARI hasil studi Barilla Center for Food and Nutrition (data tahun 2016), Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara yang membuang makanan terbanyak. Entah karena kita, penduduk negara +62 ini mostly suka yang kearab-araban maka semua hal dari Saudi harus kita kiblati, lantas menjadi temuan yang lucu sebab peringkat pertama ditempati oleh Arab Saudi. Mereka membuang makanan sebanyak 427kg/tahun. Ini rata-rata per kepala. Kalau di kitanya, rata-rata setiap orang membuang makanan sebanyak 300kg/tahun. Jika kebutuhan makanan untuk 250 juta penduduk Indonesia sekitar 190 juta metrik ton, maka yang terbuang itu bisa digunakan untuk memberi makan hampir 11% penduduk Indonesia setiap tahunnya, yang mana setara dengan 28 juta jiwa, yang mana setara dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Benarlah adanya adagium dari Imam Ali, jika ada orang kaya di suatu tempat, maka pasti di situ ada orang lain yang terambil haknya.
Ini ironi, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Dan muslim itu pasti menjalankan perintah puasa, dan orang yang berpuasa itu sejatinya mampu mengendalikan dirinya. Dengan menemukan kenyataan seperti di atas, maka timbul pertanyaan, sebenarnya apa yang kita kekang?
So, mari kita jujur saja, bahwa kita-kita ini, tidak menjalani laku puasa dengan benar. Kita hanya menahan lapar dan haus, tepatnya, hanya mengubah jadwal makan. Bukan justru membendung hasrat-hasrat badani. Mudah saja untuk mengukurnya, pergi ke belakang, tengok tong sampahmu, ada berapa kantong yang kita produksi setiap hari selama puasa. Kalau mau lebih wakwaw, silakan buka Google dan ketik ‘sampah ramadhan’ enter. Kita akan menemukan bahwa ‘sampah’ itu mungkin adalah nama tengah kita yang tercecer.
Namun, sekali lagi, ini masalah sederhana nan rumit: kendali diri. Kenapa sederhana, sebab ya hanya satu itu akar masalahnya. Kenapa rumit, sebab susah untuk dilakoni, berat untuk dikerjakan. Saking beratnya, kita harus (dipaksa menjalani) latihan selama satu bulan, diberikan reward kalau sukses, dan tentu ada punishment bagi para pelanggar. Hukuman bagi mereka yang tidak mampu menarik tali kekang atas hasrat-hasrat hewani di dalam dirinya adalah—tak perlu terlalu jauh berbicara hal abstrak seperti api neraka, dia, pelan tapi pasti, akan menemukan ketidakseimbangan atas kerja-kerja organ tubuhnya. Fungsi ginjal yang rusak, saluran pencernaan yang infeksi, gula darah yang tak stabil, dan lain-lain. Semuanya berhulu pada satu kata, kendali. Kalau tak percaya, boleh tanya Suster Lena.
Yang namanya sekolah, kalau ngga serius belajar ya bakal tinggal kelas. Setiap tahun, kasta peribadatan kita hanya berkutat di level yang itu-itu saja. Saya kira, meski terlambat, tidak ada salahnya kita menaikkelaskan kualitas penghambaan. Paling tidak, bisa dimulai tahun ini, hari ini. Pelajaran pertamanya adalah, sana, buka kamus dan temukan makna dari kata ‘CUKUP’.
“Cukup, Rhoma!”
foto: derry