Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU & Wakil Ketua Bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Secara hitoris, maulid Nabi suci Muhammad saw baru diselenggarakan dengan perayaan besar-besaran oleh penguasa Irbil; salah satu wilayah di Mousul Irak, bernama Sultan Mudzaffaruddin Abu Said bin ‘Ali bin Baktakin bin Muhammad Kukuburiy (Kaukabriy) (w. 630 H). Sultan ini sangat dikenal dengan kebaikan-kebaikannya. Dalam riwayat, ia membangun tempat khusus untuk orang-orang cacat (disabilitas), tunanetra, para janda, anak yatim serta tempat yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan anak yang ditemukan (دار الملاقيط) lalu dipunggut untuk disusui oleh perempuan-perempuan yang telah disiapkan oleh sultan untuk tugas itu. Di masa tersebut, sultan dihadihakan al-Tanwir fi Maulid al-Siraj al-Munir adalah sebuah karya seorang ulama pelancong dari Andalusia bernama Ibn Dihyah (w. 633 H), yang tiba di Irbil pada 604 H. (Lihat Ibn Khallikan al-Syafi’iy w. 681 H dan al-Zhahabiy al-Hanbaliy w. 748 H).
Meski dikenal mengerti dan memahami secara mendalam tentang mazhab Maliki, ternyata penulis buku maulid tersebut bukanlah berasal dari mazhab populer, namun Ibn Dihyah bermazhab dengan mazhab yang mungkin telah punah di masa kini yaitu mazhab Zhahiri. Latar belakang sejarah lahirnya perayaan maulid ini telah mengilustrasikan bahwa kehadiran maulid telah ikut menyemarakkan keragaman dalam konteks pemahaman agama sekaligus lintas perayaannya di antara mazhab. Kata maulid (مولد) berarti kelahiran, maka maulid Nabi suci saw adalah kelahiran Nabi suci saw; the prophet’s brith day (Hans Wehr). Pada dasarnya lahirnya Nabi suci Muhammad saw sejak awal telah membangun spirit keragaman positif.
Kehadiran Nabi suci saw sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadikan ‘kasta’ di Mekkah melebur menjadi satu dalam ide kemanusiaan, di mana antara budak dengan aristokrat Quraisy; tidak ada perbedaan sebab keduanya manusia. Namun di aspek lainnya keragaman yang telah dikenal baik, tidak dihapus oleh kanjeng Nabi suci saw. Pengakuan akan tokoh-tokoh Qurasiy, eksistensi suku-suku yang ada tetap dipelihara untuk menjadi sebuah keragaman yang harmoni. Meski hal tersebut tidak mendapat sambutan hangat dari pemuka Qurasiy, sehingga mereka tetap melihat misi Nabi suci saw adalah hal yang membahayakan mereka.
Sementara konsep keragaman Nabi suci saw tetap dipelihara melalui banyak hal, misalnya penghormatan kepada ‘Adiy bin Hatim (w. 67/68 H) ketika datang ke Madinah sebelum memeluk Islam, sebab ‘Adiy adalah pemuka di kaumnya. Demikian pula dengan pelanggaran yang bani Quraizhah lakukan, diberikan kepada Sa’ad bin Muadz (w. 5 H) untuk memutuskan, sebab pemimpin suku ‘Aus ini adalah sekutu dari komunitas Yahudi tersebut. Dari sinilah konsep menghormati personil yang dimuliakan oleha kaumnya tertera jelas dalam muqaddimah Shahih Muslim, siti ‘Aisyah (w. 57 H) berkata:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننزل الناس منازلهم
Artinya: “Rasulullah suci saw memerintahkan kami untuk menempatkan manusia/orang sesuai dengan tempat mereka”.
Keragaman suku bahkan bangsa oleh nabi suci saw tetap dipelihara dengan memunculkan potensi atau hal-hal yang menjadi bagian kecirian dari suku. Saat Nabi suci saw bersabda tentang iman, hikmah dan kelembutan hati itu berada di Yaman, sementara ilmu berada di Persia (keduanya hadis riwayat al-Bukhariy). Menunjukkan keragaman kedua bangsa tersebut adalah sebuah keragaman positif yang dilatar belakangi dengan konteks kedua bangsa itu. Kondisi ini bila dilihat dari aspek potensi yang dimiliki oleh sebiuah bangsa.
Sementara melalui kedatangan Nabi suci di Madinah, keragaman dari aspek aqidah pergaulan sosial dijaga melalui perjanjian yang tercantum dalam Piagam Madinah. Aneka suku di kota Yatsrib tersebut disatukan dengan ikatan persaudaraan antara iman, namun tidak menjadikan mereka harus menjadi satu iman. Bahkan Nabi suci saw memberikan hak privilese kepada Yahudi Madinah agar menjalankan hukum berdasarkan dengan apa yang mereka yakini dalam kitab Taurat seperti dalam kasus asusila/zina di kalangan mereka (lihat al-Bukhariy). Spirit keragaman positif inilah yang patut dan senantiasa harus dijaga dan dipelihara oleh umat Islam Indonesia.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi foto : ar.alamal-news.com