Oleh: Dr. Ja ‘far Assagaf, MA.
Tulisan berjudul Terdeteksi, Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran tokoh yang Pertama Sebut Ubaidillah sebagai Anak Ahmad oleh Imad (diakses pada 25 April 2023). Inti tulisannya mempertanyakan mengapa Ubaid menjadi Ubaidillah dan Abdullah sebagai anak Ahmad. Imad setelah membaca tulisan Konektivitas nampaknya mengabaikan semua data yang ada. Padahal di sana sudah disebutkan contoh tokoh yang memiliki beberapa nama dan panggilan Abdullah, Ubaid dan ‘Ubaidillah dalam data ulama rijal hadis, sejahrawan, dan nasab. Semua itu diabaikan lalu membuka ranah lain yang tidak menunjukkan obyektifitasnya sebagai penulis yaitu mengakui adanya data kebiasaan ulama-ulama tersebut.
Mengapa? sebab dalam buku Menakar tertulis Abdullah Resmi Menjadi Ubaidillah pada Abad 14 H (Menakar, 16). Artinya tulisannya yang terbaru 25 April 2023 memunculkan ‘Ubaidillah disebut oleh Ali al-Sakran di abad 9 H (mengakui tulisan konektivitas?). Berarti ia sendiri meruntuhkan argumentasinya kalau Ubaidillah baru hadir di abad 14 H. Sampai disini sebenanrya tidak perlu didiskusikan lagi. Sebab ia mengabaikannya lalu berusaha membangun dua hal baru (model framing) yaitu mengapa Ubaid menjadi Ubadillah dan Abdullah sebagai anak Ahmad.
Perlu dipahami penggunaan kata habib sesuai postingan Imad bahwa kata itu untuk orang Yahudi (https://www.youtube.com/watch?v=3yGOJHIm_CE diakses pada 22 Agustus 2022) berarti ungkapan Habib bagi Ali al-Sakran dengan maskud yang sama.
Kata ‘Ubaid telah ada sebelum Ali al-Sakran (818-895 H) yaitu dalam ungkapan al-Khatib al-Hadrami (w. 850/5 H) yang dikutip oleh Bamakhramah (Bamakhrmah, 2008, V, 18, 56. Di catatan kaki kitab ini merujuk ke al-Khatib al-Hadrami, manuskrip I, 58). Al-Hadrami ini lebih tua dari al-Sakran. Karya al-Hadrami terkonfirmasi manuskripnya (al-Bagdadi, I, 526; Kahhalah, V, 178) dan Muhammad Yuslim Abd al-Nur telah menelitinya dengan judul Manhaj al-Khatib al-Tarimiy wa Maddatuhu al-Tarikhiyyah fi Kitabihi al-Jauhar al-Syafaf (2014, 1-240). Berarti penyebutan ‘Ubaid bukan dari al-Sakran tetapi sudah dikenal sebelumnya. Ini sekaligus menunjukkan panggilan ‘Ubaid sudah popular dinisbahkan kepada Abdullah bin Ahmad bin ‘Isa sebelum al-Sakran, sebab al-Khatib al-Hadarmi menyebutnya.
Al-Khatib al-Hadrami berkata: وممن صحح علوّ شرفهم وصحة نسبهم “dan di antara orang (ulama) yang mensahihkan (menyatakan) tinggi kemuliaan mereka, dan sah nasab mereka” yaitu: Ibn Abi al-Hub (w. 611 H), al-Yafi’iy (w. 768 H), Muhammad bin Abu Bakar ‘Abbad (712-± 801 H), Fadhal bin Abdullah bin Fadhal (805 H), Ibn Hassan (750-818 H) (Bamakhramah, II, 619 dengan merujuk ke karya al-Khatib, 164-167). Maka nama ‘Abdullah, Ubaid maupun Ubaidillah tidak menjadi persoalan sebab di masa itu ada kesinambungan dari tahun 600-800 Hijriah terdapat ulama yang mengkui nasab mereka. Seandainya Abdullah, ‘Ubaid, dan ‘Ubaidillah itu berbeda tentu ulama-ulama yang mengakui sah nasab mereka akan menyatakan keberatannya. Artinya mereka yang ada di zaman sebelum al-Sakran tahu dengan pasti siapa itu Abdullah dan sinonim namanya. Jadi apa yang dipersoalkan Imad?
Al-Sakran menyebut ungkapan ulama tentang nasab Ba‘alwi ke Ali ‘Uraidhi (w. 210 H) dengan menyebutkan turunan dari Muhammad bin Ali ‘Uraidhi, Isa bin Muhammad dan Ahmad bin Isa (al-Sakran, 1347 H, 128-134) artinya sudah ditulis kesinambungan nasab Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin ‘Uraidhi oleh al-Sakran sembari memberikan keterangan penamaan ‘Ubaid. Ini berarti ungkapan Imad yang tertulis berkesinambungan hanya sampai pada Isa dengan merujuk al-Sakran di halaman 150 adalah tidak tepat, karena al-Sakran sudah menyebut lengkap sebelumnya. Disini letak ketidak jujuran Imad.
Ungkapan وهكذا هو هنا عبيد المعروف عند أهل حضرموت والمسطر في كتبهم والمتداول في سلسلة نسبهم (al-Sakran, 150) dalam konteks mengomentari syair dari Muhammad bin Ahmad al-Hadrami. Jadi al-Sakran mengomentari nama Ubaid bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin ‘Uraidhi (al-Sakran, 128-134, 148-150) sesuai kemasyhurannya di Hadramaut. Syair tersebut berisi rentetan nama dari beberapa tokoh Ba‘alwi sampai nasab mereka ke Ubaid (‘Ubaidillah), bahkan sampai ke Husein anak Fatimah al-Zahra (al-Sakran 148-150). Artinya saat al-Sakran menghubungkan syair itu yang menyebut ‘Ubaid sampai ke Husein as (w. 61 h) dengan narasi al-Janadi berisi nasab Abu Jadid (w. 620 H) sampai ke Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin ‘Uraidhi bin al-Shadqi bin al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Husein menujukkan bahwa Muhammad bin Ahmad al-Hadrami menyebut kata ‘Ubaid untuk Abdullah dalam al-Janadi.
Menyatakan al-Sakran yang pertama menyebut ‘Ubaidillah juga tidak tepat. Sebab ilustrasi al-Sakran dalam karyanya jelas menujukkan nama ‘Ubaid untuk Abdullah. Al-Sakran tidak menyebut ‘Ubaidillah secara eksplisit. Namun tidak keliru menyatakan bahwa maksud al-Sakran menyebut ‘Ubaid adalah ‘Ubaidillah yang bernama asli Abdullah. Karena penggunaan nama ‘Ubaidillah untuk Abdullah tersebut sudah ada sebelum al-Sakran.
Hal ini dibuktikan dengan penukilan nasab Abdullah bin Muhammad bin Ali (w. 886 H) sampai ‘Ubaidillah bin Ahmad bin ‘Isa bin Muhammad bin Ali ‘Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq oleh al-Sakhawi dalam karyanya (V, 59). Lha kok bisa, bukankah al-Sakran lebih dahulu dari al-Sakhawi? Karena al-Sakran lahir 818 dan wafat 895 H sementara al-Sakhawi lahir 830/1 dan wafat 902? Kalau lihat dari sini nampak info nama ‘Ubaidilllah seolah al-Sakhawi menukil dari al-Sakran seperti asumsi Imad.
Abdullah bin Muhammad bin Ali (w. 886 H) salah satu tokoh Ba‘alwi yang disebut nasabnya sampai ‘Ubaidillah dan seterusnya sampai ke Ali bin Abi Thalib oleh al-Sakhawi dengan metode musyajjar adalah orang yang ketemu langsung dengan al-Sakhawi. Abdullah bin Muhammad tersebut berhaji tahun 821 H (saat al-Sakran baru berumur 2-3 tahun). Dan tinggal di Mekkah lalu ziarah ke Madinah dan kembali ke Mekkah. Ziarah lagi ke makam Rasulullah suci saw di 846 H (saat al-Sakran berumur 27-28 tahun). Kembali ke Mekkah dan tinggal di kota ini sampai wafat (al-Sakhawi, V, 59). Abdullah bin Muhammad ini awalnya dari Hadramaut dan berdomisili di Mekkah diperkirakan pada tahun 821 H saat dia selesai berhaji sesuai keterangan al-Sakhawi.
Biografi Abdullah bin Muhammad di atas menunjukkan: pertama, ia tidak lagi tinggal di Hadramaut saat al-Sakran berumur 2-3 tahun; kedua, al-Sakhawi bertemu langsung dengannya; ketiga, paling penting al-Sakhawi talaqqi dengan Abdullah tersebut dan di antaranya mendengar dan menukil langsung nasabnya sampai ‘Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sampai ke Husein bin Ali. Model dating kronologis ini berarti al-Sakhawi tidak menukil dari al-Sakran, sekaligus menunjukkan nama ‘Ubaidillah sudah dikenal sebelum al-Sakran lahir karena Abdullah bin Muhammad tersebut sudah pindah ke Mekkah pada kisaran 821-822 H dan dia yang menginfokan nama ‘Ubaidillah kepada al-Sakhawi saat mereka berdua bertemu (talaqqi)
Ungkapan lain Imad dalam tulisan berjudul Terdeteksi (25-04-2023) juga membingungkan pembaca. Mengapa? Sebab ia menyatakan Samarqandi termasuk ulama yang mengikuti al-Sakran menyebut ‘Ubaidillah. Padahal Samarqandi menyebut Abdullah dalam Tuhfah (1998, 77) dan tidak menyebut ‘Ubaidillah. Bahkan karya Samarqandi inilah yang Imad sekuat tenaga berhujah bahwa tidak ada nama ‘Ubaidillah dalam tulisannya (Menakar, 13-15). Artinya tulisan Terdeteksi dan tulisan Menakar saling bertentangan padahal penulisnya satu. Hal ini terjadi kemungkinan karena ingin diframing? sampai lupa kalau sebelumnya Imad menyatakan hal yang berbeda.
Model pengalihan data juga terdapat saat Imad menukil tentang al-Janadi yang menulis nama Abdullah bin Ahmad. Padahal ia lupa? Kalau al-Janadi menyebut beberapa Ba‘alwi termasuk Muhammad bin Ali, kemudian hari disebut Shahib al-Mirbath (w. 566 H), berarti juga ayahnya Ali (529 H) yang disebut Khala’ Qasam. al-Janadi setelah menyatakan Abu Alwi (dari keluarga Alwi) bernama Ahmad bin Muhammad wafat 724 H, ia meneruskan bahwa:
وعبد الله بن علوي باق الى الآن حسن التعبد وسلوك التصوف (al-Janadi, 1995, II, 463)
“dan (ada juga keluarga Alwi bernama) Abdullah bin Alwi, masih hidup sampai sekarang, baik (dalam) beribadah dan jalan tasauf”.
Abdullah bin Alwi di atas adalah cucu dari Faqih Muqaddam (w. 653 H) bin Ali bin Muhammad shahib Mirbath bin Ali Khala Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah/Abdullah bin Ahmad al-Muhajir. Ini berarti mau nama Abdullah maupun ‘Ubaidillah tidak menjadi masalah sebab al-Janadi telah menulis orang-orang yang sezaman dengannya yang berasal dari turunan Abdullah/’Ubaidillah. Artinya al-Janadi mengakui nasab mereka di tahun itu sampai ke ‘Ubaidillah dan nasab al-Sakran juga sampai ke Faqih Muqaddam melalui Ali bin Alwi saudara dari Abdullah bin Alwi yang al-Janadi sebut.
Hal tersebut berarti ungkapan al-Janadi yang wafat 730/2 H, al-Khatib al-Hadrami w. 850 H dan al-Sakhawi talaqqi pada Abdullah bin Muhammad bin Ali (w. 886 H) menujukkan Abdullah/‘Ubaidilllah dengan panggilan ‘Ubaid adalah sama. Kalau tidak sama maka tidak mungkin al-Janadi menukil orang yang sezaman dengannya yaitu seorang Ba‘alwi bernama Abdullah bin Alwi w. 731 H yang kemudian menurunkan Muhammad Jamal al-Lail (w. 787 H) dan turunanya juga menggunakan nama Ubaidillah/Abdullah di nasab mereka.
Terakhir, mungkin selama ini Imad menggunakan metode mabsuth (dari kakek ke ayah ke anak) sehingga menuntut adanya kitab yang mengungkapnya. Padahal semua ahli nasab dan pemerhatinya juga tahu bahwa selain mabsuth, juga ada metode musyajjar (dari anak ke ayah ke kakek, meski metode ini lebih sulit seperti pengakuan al-Razi w. 606 H dalam Konektivitas, h. 58) yang dapat mengungkap nasab siapapun melalui catatan; keluarga maupun lainnya yang terkonfirmasi oleh ahli; nasab, sejahrawan dan ahli hadis (khususnya rijal) seperti pada Abu Jadid (w. 620 H) salah satu Ba‘alwi.
ilustrasi foto: laventanainteriorblog.wordpress.com
2 Comments
anonym
saya ingin bertanya tentang perdebatan antara klan baalawi dengan ulama dan kyai nusantara:
1. Kenapa dalam kitab yg dibahas kyai imad tidak menyebutkan nama ubaidillah dan itu baru tersebut dalam kitab karang ali as sakron? terlepas siapapun beliau pengarangnya harus merujuk kepada kitab sebelumnya bukan?
2. Jika memang nama ubaidillah ini nama karena tawadhu yang seharusnya abdullah, logika saya ada panggilan dudung, kinoy etc tapi tetap saja di kartu keluarga tetap harus nama asli apalagi dalam kitab yang seharusnya mencantumkan nama asli?
3. Kenapa susah bagi klan baalawi untuk mendapatkan pentashihan dari ansab internasional atas klan mereka kemudian mempostingnya sebagai legitimasi keturunan nabi, dan juga kenapa tidak melakukan tes DNA seperti yang diharapkan? selalu berhujah ini dan itu, kuwalat, neraka dst. Bukankah lebih baik melawan data vs. data agar lebih valid? jika terus seperti ini saling sahut menyahut artinya i’tikad untuk maslahah ummat dipertanyakan menurut saya
Wassn
Apak kabar Ja’far, kamu sehatkah hati ini?