Oleh: Dr. Ja ‘far Assagaf, MA.
Narasi berikutnya dari al-Janadi (1995, II, 463):
وكان له عم اسمه عبد الرحمن بن علي بن باعلوي. ومنهم علي بن باعلوي كان كثير العبادة عظيم القدر لا يكاد يفتر عن الصلاة ثم متى تشهد قال السلام عليك ايها النبي ويكرر ذلك فقيل له فقال لا ازال افعل حتى يرد النبي صلى الله عليه وسلم فكان كثيرا ما يكرر ذلك ولعلي ولد اسمه محمد ابن صلاح وله ابن عم اسمه علي بن باعلوي بعض تفاصيل ابا علوي احمد بن محمد كان فقيها فاضلا توفي سنة 724 تقريبا وعبد الله بن علوي باق الى الآن حسن التعبد وسلوك التصوف
“dan dia (Hasan) memiliki paman bernama Abd Rahman bin Ali ibn (keluarga) ba‘alwi. dan di antara mereka ada Ali ba‘alwi, dia banyak (ber) ibadah, hebat, hampir tidak luput dari shalat (sering shalat) lalu kapan (saja) dia bertasyahud, (saat) berkata keselamatan atasmu wahai Nabi, dia senantiasa mengulang-ulang hal itu. (sampai) ditanya padanya (mengapa mengulang-ulang), dia menjawab aku selalu (tidak berhenti) berbuat (berucap begitu) sampai Nabi suci saw menjawab (salamku). Dan (Ali ini) banyak mengulang-ulang itu. Dan Ali memiliki anak Namanya Muhammad (sebagai) anak shalih. dan dia (Ali) memiliki anak paman (sepupu) namanya Ali ibn (keluarga) ba‘alwi, (ini) sebagian rincian (keluarga) ayah Alwi. (ada juga) Ahmad bin Muhammad seorang faqih yang utama wafat kira-kira 724 H, dan Abdullah bin Alwi, masih hidup sampai sekarang, baik (dalam) beribadah dan (menapaki) jalan tasauf”.
- Penyebutan Beberapa Nama dalam Narasi al-Janadi
Setidaknya dalam narasi al-Janadi di atas, disebut tidak kurang dari enam nama (selain Hasan dan Abu Jadid). Beberapa orang di antaranya disebut langsung sebagai keluarga ba‘alwi (باعلوي), sementara secara umum disebut sebagai keluarga ayah Alwi (ال ابي علوي) sebab Abu Jadid telah disebut sebelumnya. Perlu dipahami nama-nama yang al-Janadi sebutkan hidup di masa sebelumnya dan yang sezaman dengannya.
Nama-nama itu perlu diklasifikasikan dengan sebuah pertanyaan apakah mereka adalah turunan bani Jadid dari Jadid bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir atau turunan Alwi bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir? Pertanyaan ini menjadikan kita membuat kategorisasi sebagai berikut:
Pertama, membuktikan beberapa nama di atas atau salah satunya adalah benar turunan Jadid bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir. Misalnya menyatakan Hasan bin Muhammad bin Ali adalah turunan Jadid atau bahkan turunan Abu Jadid; namanya Ali (w. 620 H). Maka dapatkah disebut bahwa Hasan adalah anak Abu Jadid? mengingat al-Janadi sempat menyebut bahwa Abu Jadid yang bernama Ali juga digelar Abu al-Hasan, dua kunyah/gelar (al-Janadi, II, 135). Namun agaknya tidak mungkin sebab al-Janadi menyebut Hasan tersebut bin Muhammad bin Ali sementara Abu Jadid yaitu Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid, jadi tidak ketemu. Atau menyatakan bahwa Hasan adalah saudara Abu Jadid? ini juga tidak mungkin. Sebab yang tertuang Abu Jadid punya saudara bernama Abdullah dan Abd Malik (Bamakhramah, 2008, V, 79, 81). Demikian pula Mahdi Raja’i menyebut dua saudara Abu Jadid yaitu Abdullah dan Abu al-Hasan, tanpa nama Abd Malik (1427 H, II, 432). Agaknya kunyah (gelar) Abu al-Hasan menurut Raja’i mengarah ke Abd Malik saudara Abu Jadid. Sampai disini tidak ada keterangan tentang bani Jadid selanjutnya. Terlebih (lihat Narasi al-Janadi bagian I) telah dijelaskan bahwa Hasan disebut dengan ba‘alwi (باعلوي) dari turunan Alwi, meski dia juga dalam rumpun keluarga Ayah/Abi Alwi (ال ابي علوي) yaitu ayah Alwi namanya Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir. Dengan demikian pendapat terkait khusus Hasan adalah turunan Jadid bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir tidak cocok dengan narasi al-Janadi.
Kedua, membuktikan beberapa nama di atas atau salah satunya adalah benar turunan Alwi bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir. Setidaknya ada 3 atau bahkan 4 nama menunjukkan mereka adalah turunan Alwi bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir.
a. Ahmad bin Muhammad wafat Estimasi 724 H
Narasi al-Janadi menunjukkan Ahmad tersebut hidup sezaman dengannya. Tahun wafat 724 H dalam hitungan kira-kira menjadi indikator kuat bahwa Ahmad bin Muhammad dimaksud adalah anak Muhammad bin Ali kemudian disebut al-faqih al-muqaddam wafat berumur sekitar 79 tahun (574-653 H). al-Faqih memiliki 5 anak, salah satunya bernama Ahmad. Tahun wafat al-Faqih dan Ahmad dapat menunjukkan hubungan anak dan bapak. Misalnya Ahmad lahir pada tahun 645 H atau bahkan 650 H. Menurut Raja’i, Ahmad anak al-Faqih al-Muqaddam wafat pada 706 H. Perlu diingat estimasi tahun wafat al-Janadi itu tidak pasti, jadi kalau Raja‘i menyebut 706 H (II, 432) dan al-Janadi menyebut 724 H dengan perkiraan itu dapat menunjukan hubungan anak dengan ayah yang secara logika dapat diterima. Sebab jarak 706 H-724 H berkisar 15-18 tahun itu hal yang sering terjadi perselisihan tentang tahun wafat seseorang.
Misalnya Ubay bin Ka‘ab tahun wafatnya disebutkan dari tahun 19 sampai 32 H (Ibn Abd al-Barr, 1992, I, 69) berarti sekitar 13 tahun. Maimunah binti al-Harits; salah satu isteri Nabi suci saw, tahun wafatnya disebut dari 51 H sampai 66 H, berarti sekitar 15 tahun. al-Harits bin al-Kaladah dokter terkenal di masa-masa awal Islam dan tuan dari ibunya Abu Bakrah (w. 51 H). Meski keislamannya diperselisihkan namun ia adalah dokter popular saat itu (Ibn Hajar, 1415 H, I, 687) disebutkan ia wafat pada estimasi waktu yang cukup panjang yaitu dari masa Abu Bakar 13 H sampai masa Mu‘awiyah (Ja’far Assagaf, 2022, 47-48 di catatan kaki no. 157. Lihat sumber aslinya dalam; Ibn Sa‘ad, III, 146, 198, V, 507; Ibn ‘Usaibi’ah, 161-162) kemungkinan dihitung pasca damai dengan Hasan bin Ali yaitu 41 H. Berarti tahun wafatnya sang dokter diperselisihkan 27-28 tahun.
Catatan Penting, Ubaiy, Maimunah dan al-Harits ketiganya adalah orang-orang yang sudah popular saat itu alias syuhrah namun mengapa tahun wafatnya masih diperselisihkan? Perlu diingat, mereka hidup di generasi masa Nabi suci saw dan sahabat. Apakah kalau diperselisihkan tahun wafatnya dengan jarak yang cukup jauh menjadikan orang tersebut tidak ada? Maka narasi al-Janadi tentang Ahmad bin Muhammad lebih logis tertuju pada Ahmad anak al-Faqih al-Muqaddam. Bila disini logika narasi al-Janadi diterima maka ba‘alwi Abu Jadid dan al-faqih al-muqaddam adalah sama sebab Ahmad (w. 724 H dalam al-Janadi) bernasab ke al-faqih al-muqaddam terus ke Alwi bin Abdullah (‘Ubaidillah), dan Alwi adalah saudara Jadid bin Abdullah (‘Ubaidillah) moyang dari Abu Jadid; Ali. Sekaligus menunjukkan nama Abdullah dalam narasi al-Janadi kepada Abu Jadid tidak lain kecuali ‘Ubaidillah bin Ahmad itu sendiri.
b. Abdullah bin Alwi yang semasa dengan al-Janadi
Al-Janadi memberikan kode utama bahwa: وعبد الله بن علوي باق الى الآن, bahwa Abdullah bin Alwi masih hidup sampai kini (di masa al-Janadi). al-Janadi sendiri wafat di 730-732 H. Ungkapan tersebut menurut penulis sangat jelas sekali bahwa nama dimaksud tidak lain adalah Abdullah bin Alwi bin Muhammad, cucu dari al-Faqih al-Muqaddam. Abdullah bin Alwi wafat 731, ia memiliki kakak namanya Ali (w. 709 H). Abdullah ini memiliki cucu bernama Muhammad Jamal al-Lail (w. 787 H), namun ini bukan yang menurunkan keluarga Jamal al-Lail. Sementara saudara Abdullah yang bernama Ali inilah menurunkan Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abd Rahman bin Muhammad bin Ali saudaranya Abdullah.
Dari Abdullah (w. 731 H) menurunkan Baraqbah dan Fad‘aq (Raja’i, II, 433-435, 448-450). Sementara keluarga Jamal al-Lail berasal dari cucu al-Faqih Mal-Muqaddam lainnya bernama Hasan al-Turabi (w. 721 H) bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Hasan inilah yang menurunkan Basyaiban (Raja’i, II, 455-457). Bila sampai disini logika narasi al-Janadi diterima maka ba‘alwi Abu Jadid dan al-Faqih al-Muqaddam adalah sama, sekaligus menunjukkan nama Abdullah dalam narasi al-Janadi kepada Abu Jadid tidak lain kecuali ‘Ubaidillah bin Ahmad itu sendiri.
c. Ali Ba‘alwi yang Banyak Beribadah dan anaknya Muhammad
Al-Janadi dan al-Khazraji (w. 812 H) (al-Janadi, 1995, II, 463; al-Kahzraji, 2009, II, 727) tidak menjelaskan siapakah Ali yang banyak beribadah itu? Maka dalam hal ini terdapat dua versi:
Versi Pertama: al-Khatib al-Tarimi dan diikuti oleh Bamakhramah menilai Ali yang banyak beribadah tersebut adalah Ali yang kemudian dikenal sebagai Khala‘ Qasam berarti wafat ± 529 H dengan anaknya yang shalih yaitu Muhammad yang kemudian dikenal dengan Shahib Mirbath (w. ± 556 H) (Bamakhramah, IV, 392-393). Perlu diingat lagi kitab Bamakhramah diambil dari 5 manuskrip dan diberi notasi oleh non Ba‘alwi yaitu بو/Bu Jum‘ah dan Khalid Zawari. Versi ini menunjukkan bahwa Ali yang banyak beribadah dan anaknya adalah datuk dan kakek dari Muhammad (disebut al-Faqih al-Muqaddam) bin Ali bin Muhammad (disebut Shahib al-Mirbath) bin Ali yang banyak beribadah (disebut Khala‘ Qasam) berarti ba‘alwi Abu Jadid dengan al-faqih al-muqaddam sama dan juga berarti Abdullah dan ‘Ubaidillah adalah satu tokoh dan bukan orang yang berbeda.
Versi Kedua: al-Syarji (812-893 H) menilai Ali tersebut wafat pada estimasi 720 H lebih (al-Janadi tidak menyebutkan tahun) tanpa memberikan angka satuan yang pasti (al-Syarji, 1321 H, 95). Versi kedua membuka peluang bahwa Ali yang banyak beribadah justeru cucu dari al-faqih al-muqaddam yaitu Ali bin Alwi bin Muhammad (al-faqih al-Muqaddam). Berarti Ali dimaksud adalah saudara dari Abdullah bin Alwi (w. 731 H) yang al-Janadi katakan hidup sampai sekarang (sezaman al-Janadi). Ali saudaranya Abdullah menurut Raja‘i wafat pada 709 H (Raja’i, I, 433). Hitungan tahun wafat al-Syarji dengan Raja‘i masih dalam hitungan normal. Ali saudara Abdullah juga memiliki anak bernama Muhammad (disebut Mauladawilah) (kisaran 706-765 H) (Raja‘i, I, 433-434).
Sampai di sini berarti ada dua versi. Namun poin penting bahwa Ali yang banyak beribadah; baik Ali Khala‘ Qasam (w. ± 529 H) maupun Ali (w. ± 709-720) saudara Abdullah (w. 731 H), keduanya turunan dari Alwi bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir dan itu juga berarti bertemu dengan moyang Abu Jadid yaitu Jadid bin Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir.
Berhenti sejenak untuk menanyakan kepada mereka yang membedakan moyang Muhammad (al-faqih al-muqaddam) dengan moyang Abu Jadid. Jika memang beda, maka siapakah Ahmad bin Muhmmad 724 H, Abdullah bin Alwi yang hidup sampai masa al-Janadi serta Ali yang banyak beribadah? Jika pun masih membedakan maka perhatikan data berikutnya.
Setelah menceriterakan biografi Ali yang banyak beribadah, al-Syarji menyatakan secara gamblang dan jelas (Lihat al-Syarji, 1321 H, 95):
… ومن متأخريهم الشيخ عمر بن عبد الرحمن كان فقيها صالحا… وكذالك ابوه كان من الصالحين… وكانت وفاة الفقيه عمر المذكور سنة ثلاث وثلاثين وثمانمائة
“… dan di antara (generasi) akhir mereka (ba‘alwi yang sezaman dengan al-Syarji) ada guru (namanya) Umar bin Abd Rahman, dia ahli fiqh dan shalih….Demikian pula ayahnya (Abd Rahman) dia termasuk orang-orang yang shalih…. dan (tahun) wafat faqih Umar tersebut pada 833”
Ungkapan ini sangat jelas untuk melihat kesinambungan/kontinuitas data ulama non ba‘alwi yaitu al-Janadi (w. 730/2 H), al-Khazraji (w. 818 H), al-Syarji (812-893 H) dan al-Sakhawi (830-902 H) bahwa ba‘alwi Muhammad (al-faqih al-muqaddam) adalah sama dengan Abu Jadid. Sebab disini terlihat bahwa al-Janadi dan al-Khazraji yang menyebut moyang Abu Jadid dengan nama Abdullah bin Ahmad bin Isa tidak dilanjutkan al-Syarji penyebutan Abdullahnya karena sudah masyhur sebagai moyang ba‘alwi saat itu. Tetapi al-Syarji justeru menelusuri narasi lain dari al-Janadi yang juga dinukil al-Khazraji menyebut bahwa Ali yang banyak beribadah adalah ba‘alawi (al-Janadi, 1995, II, 463; al-Kahzraji, II, 727). Al-Syarji bahkan memberikan estimasi tahun wafat Ali yang banyak beribadah tersebut.
Hal di atas menunjukkan al-Janadi, al-Khazraji dan al-Syarji sangat paham karena sudah dikenal saat itu bahwa Ali yang banyak beribadah nasabnya sampai pada Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Isa dan itu sama dengan nasab Abu Jadid yang berujung pada Jadid bin Abdullah yang disebut oleh al-Janadi maupun al-Khazraji. Maka Abdullah maupun ‘Ubaidillah adalah sama. Kontinuitas itu semakin nampak saat al-Sakhawi menjelaskan Abd Kabir (794-869 H, lihat Narasi al-Janadi bagian I) non ba‘alwi bertemu dengan beberapa ba‘alwi yaitu Abd Rahman, Umar, Abu Bakar dan Abu Hasan (al-Sakhawi, IV, 304-305). Abd Rahman kemudian disebut Assagaf (w. 819 H) kakek Ali al-Sakran, Abu Bakar kemudian disebut al-Sakran (w. 821 H) ayah dari Ali al-Sakran, Abu Hasan yaitu Abdullah (w. 857 H), dan Umar (Muhdar) keduanya paman Ali al-Sakran. Umar inilah yang disebut oleh al-Syarji wafat pada 833 H (al-Syarji, 95). Disinilai konektivitas sekaligus ketersambungan yang kontinu dari al-Sakhawi melalui Abd Kabir; non ba‘alwi ke beberapa tokoh ba‘alwi sebelum Ali al-Sakran yang beriringan dengan tulisan al-Syarji tentang Umar bin Abd Rahman satu keluarga dengan Ali yang banyak beribadah dalam narasi al-Janadi lalu diikuti oleh al-Khazraji. Sebenanrya sampai disini sudah jelas kecuali orang yang menutup mata dan akalnya.
Kalaupun masih juga mempertanyakan bukankah bisa bahwa Ali yang banyak beribadah itu berbeda dengan ba‘alwi al-faqih al-muqaddam? Maka penulis memberikan dua opsi dari ungkapan al-Syarji saat memahami narasi al-Janadi.
Opsi pertama, ungkapan al-Syarji ومن متأخريهم ‘dan dari sebagian mereka di masa akhir (masa al-Syarji)’ menunjukkan bahwa kata هم (mereka) berarti Umar yang wafat pada 833 H termasuk salah satu dari هم tersebut. Siapa هم itu? Tentu kembali ke ba‘alwi sebab Ali yang banyak beribadah dalam al-Syarji, al-Khazraji dan al-Janadi disebut dengan jelas sebagai ba‘alwi. Maka Umar adalah bagian dari keluarga ba‘alwi. Ini logika sederhana bahwa saat seseorang disebut bagian dari satu komunitas maka tentulah orang itu memiliki hubungan langsung dengan komunitas tersebut seperti Umar yang disebut oleh al-Syarji. Ali yang banyak beribadah disebut juga oleh al-Syarji, al-Khazraji yang mengikuti narasi al-Janadi. Maka jelas Umar dan Ali yang banyak beribadah adalah turunan dari Alwi bin Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja‘far al-Shadiq.
Opsi kedua bagian a, ungkapan al-Syarji ومن متأخريهم ‘dan dari sebagian mereka di masa akhir (masa al-Syarji) ada ‘Umar. Kalau Umar itu turunan Abu Jadid maka tidak tepat, sebab Umar disebut wafat pada 833 yang berarti anak Abd Rahman sesuai dengan data al-Sakhawi dari Abd Kabir. Maka Umar dimaksud pasti anak Abd Rahman (kemudian dikenal Assagaf) dan itu berarti dari al-faqih al-muqaddam sampai ke Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad bin Isa dan seterusnya sampai ke Ali bin Abi Thalib.
Opsi kedua bagian b, ungkapan al-Syarji ومن متأخريهم ‘dan dari sebagian mereka di masa akhir (masa al-Syarji) ada ‘Umar. Jika narasi al-Janadi yang menyebut Ali yang banyak beribadah adalah bani Jadid (kita anggap dari bani Jadid, meski rasanya tidak mungkin sebab sudah jelas ada Umar anak dari Abd Rahman, apalagi Ali yang banyak beribadah telah disebut باعلوي) maka mengapa al-Syarji menulis Umar disitu? Karena ada kata هم, berarti Ali yang banyak beribadah itu termasuk turunan Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa adalah keluarga ayah/Abi Alwi. Begitu pula Umar juga termasuk dalam keluarga ayah/Abi Alwi namun melalui Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Isa saudara Jadid. Jika ingin membedakan keduanya, satu dari bani Jadid dan satu dari bani Alwi, maka penghubungnya adalah makna kata هم baik untuk Ali yang banyak beribadah maupun Umar yang wafat 833 H, keduanya dalam rumpun keluarga ayah/Abi Alwi (أل ابي علوي) bernama Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad bin Isa sampai ke Ali bin Abi Thalib.
Kedua opsi di atas (pertama dan kedua a dan b) ternyata akan berujung pada konklusi yang sama bahwa moyang al-faqih al-muqaddam yaitu Abdullah bin Ahmad bin Isa sama dengan moyang Abu Jadid, sekaligus berarti Abdullah dan ‘Ubaidillah bukan orang yang berbeda.
Perlu diketahui bahwa karya al-Syarji yang penulis gunakan dari pengarang bernama Ahmad bin Ahmad bin Abd Lathif al-Syarji (812-893 H), judulnya Thabaqat al-Khawwash Ahl al-Shidq wa al-Ikhlash. Terbit di Mesir dan dibiayai oleh Haji Ubbadi Hasan al-Kutubi (non Ba‘alwi) (lihat halaman sampul). Naskah tersebut selesai ditulis pada tahun 867 H oleh al-Syarji. Dicetak di Matba’ah al-Maimaniyyah di Mesir pada tahun 1321 H/sekitar 1903 M (lihat al-Syarji, 1321 H, 196). Ini sekaligus menunjukkan bahwa naskah yang diberi kata pengantar (bukan ditahqiq) oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi terbit di Bairut, penerbit Dar al-Yamaniyah dan Dar al-Manahil tahun 1986 M pada biografi Ali yang banyak beribadah di halaman 223 isinya sama dengan naskah yang penulis gunakan yang terbit jauh lebih dahulu di tahun 1321 H/1903 M. Dengan demikian tidak mungkin Abdullah al-Habsyi tersebut merubah naskah al-Syarji 1321 H, sebab Abdullah sendiri saat itu belum ada (lahir sekitar 1949 M).
Mungkin ingin menyatakan bahwa al-Syarji menukil dari al-Ahdal non Ba’alwi (w. 855 H) dan karya al-Ahdal diberi notasi oleh Abdullah al-Habsyi? bisa diterima jika al-Syarji menukil dari al-Ahdal, namun secara pasti al-Syarji menukil pada saat itu di sekitar 820 H-855 hijriyah di masa al-Ahdal hidup, bukan di masa sekarang setelah al-Habsyi memberi tahqiq. Sebab: (1) Abdullah al-Habsyi mentahqiq (beri notasi) kitab al-Ahdal terbit pada tahun 2004 M (lihat Tuhfah al-Zamni fi Tarikh Sadat al-Yamni oleh al-Ahdal di halaman sampul depan, dan di dalamnya baik halaman depan maupun belakang, diterbitkan oleh UEA: Markaz Dirasat al-Buhuts al-Yamani); (2) kitab al-Syarji terbit pada 1321 H/1903 M, maka keberadaan kitab al-Syarji di publik jauh lebih dahulu sebelum al-Habsyi lahir (sekitar 1949 M). Atau ingin juga menyatakan bahwa al-Syarji menukil dari Ali al-Sakran (orang yang selalu diidentikan sebagai yang pertama memulai panggilan ‘Ubadilllah, ternyata tidak tepat), ini juga tidak benar. Sebab al-Syarji selesai menulis kitabnya pada 867 H sementara kitab al-Sakran berjudul al-Burqah al-Masyiqiyyah terlihat sampai tahun 888 H belum selesai, sebab ada surat menyurat antara al-Sakran dengan anaknya (al-Sakran, 1347 H / 1928-1929 M, 189)
Konklusi: terdapat kesinambungan pemahaman, riwayat dengan data/catatan ahli dari masa al-Sakhawi ke al-Syarji ke al-Khazraji sampai al-Janadi, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara Abdullah dan ‘Ubaidillah. Artinya Abu Jadid maupun al-faqih al-muqaddam dari satu rumpun yang sama yaitu keluarga Abi Alwi (أل ابي علوي) bernama Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad bin Isa. Sekaligus menunjukkan bahwa syuhrah saat itu untuk keluarga ayah Alwi sudah ada. Kalau tidak ada maka tidak mungkin ada kelanjutan dan kesinambungan pemahaman ulama-ulama di atas terhadap data-data yang ada tentang Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin al-‘Uraidhi bin Ja‘far al-Shadiq.