Inkonsistensi, Rancu, dan Lemahnya Nalar tentang Syuhrah dan Istifadhah di tulisan Menakar dan Terputus (Bagian Kesatu)

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA 

email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

Sebenarnya saya (penulis) malas untuk menuliskan esai ini. Mengapa? Sebab Imad tidak menjawab point per point secara ilmiah e-book penulis berjudul Konektivitas Rijal Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab, lalu ia mengeluarkan tulisan kedua (versi Indonesia maupun Arab) yang diposting Mei 2023 berjudul Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad saw. Di dalamnya ia memberi tanggapan di tulisan kedua (h. 77-80) yang bermula dari esainya (https://www.nahdlatululum.com/tanggapan-terhadap-buku-dr-jafar-assegaf-ma-berjudul-konekttifitas-rijal-al-hadits-dengan-sejarah-dalam-menelusuri-nasab/) terhadap buku penulis (Konektivitas) hanya sebanyak 3,5 halaman pada 30 Mei 2023, maka penulis memberi tanggapan balik pada 31 Mei 2023 (webs). Awalnya penulis langsung memberi tanggapan di kolom komentar website tersebut, tetapi dihapus oleh admin mereka). Tanggapan Imad terhadap penulis tidak lagi memperlihatkan daya argumentasi yang kokoh dengan data-data empiris, melainkan mulai bermain dengan logika-logika.

Bila Imad mengklaim seperti bunyi anak judulnya di tulisan pertama sebagai penelitian Ilmiah tentu harus menjawab secara ilmiah pula. Termasuk ilmiah adalah menerima data yang disampaikan, atau membantah dengan ilmiah berdata dan logika dan bukan bersikeras dengan pendapatnya lalu bertahan sehingga menimbulkan inkonsitensi dalam dua tulisan bahkan tulisan ketiga tentang Ilmu Nasab. Tulisan ketiga dia juga sertakan inti dari tulisan pertama dan kedua yaitu membatalkan nasab Ba‘alwi. Penulis melihat tidak ada sesuatu yang benar-benar baru dari tulisan kedua dan ketiganya. Khususnya tulisan kedua (Terputusnya) adalah sedikit revisi lalu ditambahkan dengan memuat berbagai tanggapannnya terhadap Mahdi Raja’i, Hanif dan lainnya yang semuanya sebenarnya sudah ada di website pondoknya lalu ia masukkan keseluruhan di tulisan kedua. 

Oleh sebab itu, maka perlu menunjukkan inkonsistensi, rancu dan lemahnya nalar Imad di dua tulisan tersebut juga tulisan ketiga.

  1. Inkonsistensi

Pertama, Imad menulis Abi alwi itu adalah nisbat kepada Abu Alwi yaitu Abu Alwi bin Abul Jadid (Menakar, 15) dan di tulisan kedua, tertulis “Banu Abu Alawi adalah Abu Alawi bin Abul Jadid (Terputusnya, 22). Lucunya ia juga menyatakan bahwa “Ini pencangkokan pertama nasab Nabi Muhammad Saw. dari jalur Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib, yaitu yang dilakukan oleh keluarga Ba Alawi Banil Jadid (Terputusnya, 20). Perhatikan ada inkonsistensi sebab di tulisan pertama menyatakan Abu Alwi adalah nama, dan di tulisan kedua Abu Alwi mengarah bahwa dia memiliki turunan yaitu banu Alwi namun di tulisan kedua pula (h. 20) ia menyebut Ba‘alwi bani Jadid yang mencangkok nasab. Pertanyaannya nasab siapa yang dicangkok Ba‘alwi Bani Jadid?

Hanya ada dua kemungkinan menurut Imad: (1) Bani Alwi (juga adalah?) Bani Jadid. Jika ini yang dimaksud maka terjadi istytibah artinya dia seolah menyatakan Ba‘alwi bani Jadidlah yang melakukan pencangkonkan sebab ia sendiri membedakan Ba‘alwi turunan Alwi bin Ubaidillah dengan Ba‘alwi turunan Jadid (Terputusnya, 20); (2) atau sebaliknya ia mengakui bahwa Abu Alwi yaitu Abdullah/Ubaidillah memiliki turunan yang tidak terbatas pada bani Jadid saja, kemudian semuanya disebut dengan Al Abi Alwi / keluarga ayah Alwi (al-Janadi, 136, 463). Turunannya melalui Bashri, Alwi dan Jadid (Konektivitas, 43-48, 51, Narasi al-Janadi I-II)

Kedua, Imad menulis sampai abad 10 H tidak ada nama Ubaidillah dalam Dalam kitab Tuhfatutholib Bima’rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996 H) (Menakar, 13, 15). Namun sangat aneh (inkonsistensi) ia menyatakan bahwa “Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari Habib Ali al-Sakran tersebut. Diantara kitab-kitab itu seperti…. kitab Tuhfat al-Tholib karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996 H) (Terputusnya, 23-24). Lalu Kembali ia inkonsistensi saat menulis Samarqandi menyebut Abdullah bukan Ubaidillah masih di tulisan kedua (lucu rasanya) juga dengan mengulang isi buku pertama (Terputusnya, 34). Ini terjadi karena Imad sebenarnya secara tidak langsung telah mengakui (atau sudah paham namun untuk framing karena punya tendensi lain?) bahwa Abdullah dengan Ubaidillah adalah sama.

Dengan menyatakan Samarqandi menyebut Ubaidillah karena mengikuti al-Sakran itu sebenarnya Imad sudah salah sebab Samarqandi tak pernah menyebut nama Ubaidillah tapi Abdullah (Samarqandi, 1998, 76-77), mengapa Imad menyamakan karena logikanya menerima bahwa Samarqandi tidak membedakan keduanya. Sebab Samarqandi telah menyebut Alwi sebagai anak Abdullah bin Ahmad bin Isa, dan dan Alwi punya anak namanya Muhammad. Inilah sebenarnya yang ‘menyadarkan’ dan mendorong Imad untuk mengakui tanpa sadar bahwa Abdullah dan ‘Ubaidillah adalah sama dengan menyatakan bahwa Samarqandi mengikuti al-Sakran menyebut Ubaidillah. Padahal di buku pertama ia bersikukuh bahkan di buku kedua masih menjadikan Samarqandi sebagai sandaran bahwa tidak ada nama Ubaidillah sampai abad 10 H (Menakar, 13, 1; Terputusnya, 34) mengapa kok sangat ceroboh? Kalau mengatakan itu karena Samarqandi mengikuti al-Sakran maka perlu bukti lebih spesifik bukan logika. Sebab al-Sakhawi (830-902 H) juga menyebut ‘Ubaidillah dan itu bukan ia dapati dari al-Sakran (lihat Terdeteksi al-Sakran dan Narasi al-Janadi I). Hal ini juga berarti nama ‘Ubaidllah untuk Abdullah sudah digunakan sebelum al-Sakran lahir.

Ketiga, Penggunaan kitab nasab Ba‘alwi. Kelucuan amat sangat Imad bersikukuh dalam esai tanggapannya (lihat di website pondoknya https://www.nahdlatululum.com/) dan video youtube (bisa dilacak sendiri), untuk menghindari karya Ba‘alwi, bahkan kolega Ba‘alwi. Eh ternyata ia menggunakan Syams al-Zahirah karya Abd Rahman al-Masyhur (w. 1320 H) di buku pertama dan kedua, dan Burqah karya al-Sakran (818-893 H) di tulisan kedua tetapi untuk memojokkan Ba‘alwi. Letak inkonsistennya yaitu saat menyatakan Ubaidillah baru hadir di abad 14 H (Menakar, 16; Terputusnya, 36) padahal al-Khirid (w. 960 H) seorang Ba ‘alwi telah menyebut Ubaidillah dalam buku nasasbnya al-Baha al-Dhau’i (148, 153,164-165).

Jika tidak mau menggunakan kitab nasab Ba‘alwi mengapa menggunakan kitab al-Masyhur seorang? Jika telah mau menggunakan kitab nasab Ba‘alwi (faktanya Imad pakai kitab al-Masyhur) yang menyebut Ubaidillah mengapa tidak mau mengakui bahwa kitab al-Khirid telah menyebut dengan jelas nama Ubaidillah (berarti bukan baru muncul abad 14 H dong) yang jauh lebih awal hadir dari kitab al-Masyhur, sehingga konklusi keliru bahwa Ubaidillah resmi hadir di abad 14 H harusnya sudah dihapus di tulisan kedua. Kebenaran yang telah jelas seperti ini saja tidak mau Imad terima. Bukankah penulis telah menunjukkan rujukannya di tulisan Konektivitas? mengapa masih memasukkan di tulisan kedua?

Keempat, Inkonsistensi juga terlihat yaitu menyebut bahwa karya al-Janadi adalah kitab Sejarah. Seolah kitab sejarah tidak tak pantas dipakai sebagai rujukan nasab. Padahal penulis telah memberikan contoh di Konektivitas tentang Sam’ani (w. 562 h) dalam kitab al-Anshab menukil dari Tarikh al-Thabari karya al-Thabari (w. 310 H) (penulis akan tambahkan di bagian Rancu terkait ini), meski Imad akhirnya menggunakan kitab al-Janadi (Terputusnya, 20). Eh ternyata ia menggunakan kitab al-Sakran yang jelas-jelas bukan kitab nasab dan bukan kitab sejarah atau bahkan Rijal melainkan kitab Tasawuf.

Jika tidak mau menggunkana kitab selain kitab nasab, mengapa menggunakan kitab Tasawuf? jika beralasan bahwa kitab al-Sakran memuat nasab Ba‘alwi (untuk mengkambing hitamkan al-Sakran) mengapa awalnya harus beralasan karya al-Janadi bukan kitab nasab? Lha dia sendiri gunakan kitab Tasawuf tanpa alasan apapun dan dari kitab tasawuf dia batalkan nasab Ba ‘alwi karena al-Sakran baginya sebagai common link. Namun ia mau menukil al-Janadi dengan embel-embel ini bukan kitab nasab, kan lucu. Lagian kitab al-Janadi itu bentuknya lebih spesifik yaitu Thabaqah seperti yang akan dijelaskan

Kelima, saat memuat tanggapan bahwa tidak bisa menyamakan antara syajarah nasab ke atas dengan isnad. Lucunya dia juga menyatakan bahwa Malik (w. 179 H), Nafi’ (w. 117 H) dan Ibn Umar (w. 73 H) terdapat di kitab rijal (Terputusnya, 78-79).  Apalagi ia menambakan kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil bahkan Ishabah mengcover nama-nama itu (lihat https://youtu.be/DQu8jc73WL0). Lha bukannya kedua kitab itu tidak sezaman dengan tiga perawi tersebut? Jadi dimana konsistensinya?

Pertanyaan yang harus dia jawab yaitu dari mana ketiga nama tersebut diperoleh, jawababnya pasti dari kitab-kitab rijal yang datang belakangan, tidak sezaman dengan ketiga perawi tersebut (lebih lanjut baca esai penulis Tanggapan dari Tanggapan 31 Mei 2023). Bukankah kitab yang disebut itu baru hadir di awal abad 4 H (al-Jarh wa al-Ta‘dil karya Ibn Abi Hatim w. 327 H) dan abad 8-9 H (al-Ishabah oleh Ibn Hajar w. 852 H). Kalau masih mau bertahan dengan logika aneh Imad, maka kitab tersebut apalagi al-Ishabah (khusus biografi sahabat atau yang diduga sahabat) itu tidak bisa mengkonfirmasi sahabat sebab Ibn Hajar hadir di abad 8-9 H.

Kalau menyatakan sudah dikonfirmasi ulama sebelumnya lalu Ibn Hajar ikuti lalu dimasukkkin dalam kitabnya, maka mengapa keberatan dengan konfirmasi belasan ulama (6-9 H) tentang nasab Ba‘alwi? Apalagi penulis telah memberikan contoh yang sangat jelas bahwa ada sahabat bernama Abdullah disebut Ibn Abd al-Barr (w. 463 H) dan Ibn al-Atsir (w. 630 H) ternyata ditambah nama Ubaidillah oleh Ibn Hajar setelah rentang waktu yang lama. Apa Ibn Hajar juga mencangkok nama itu? Jadi dari mana Ibn Hajar dapatkan kalau bukan dari berbagai riwayat, termasuk catatan tentu yang terkonfirmasi para ahli. Maka mengapa mengingkari nasab Ba‘alwi meski misalnya hanya karena menyebut Abdullah (bukan ‘Ubaidillah) di abad 6-8 H? apalagi sudah ditemukan manuskrip pada abad 6 H (kisaran 585-591 H) oleh Hasan bin Rasyid al-Hadrami yang berisi tentang Abu Jadid (w. 620 H) dan Abdullah yang diduga kuat w. 592 H dan sebagai anak Muhammad Shahib al-Mirbath (w. 556 H).

Sketch: 1001 Inventions

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com