Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA
email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kesembilan, Menyatakan semua ulama yang menulis dan mengistbat nasab ba ‘Alwi seperti al-Sakhawi (830-902 H), Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan lainnya mengikuti al-Sakran (818-895 H). Pada bagian ini penulis telah sebutkan data induktif bahwa al-Sakhawi tidak mengikuti al-Sakran. Sayangnya itu juga Imad abaikan, seolah ia lupa (niatnya memang framing ya?) konsep al-’Ali dan al-Nazil tidak hanya terkait umur tapi terkait pertemuan kedua individu (al-liqa) saat terjadi transmisi riwayat nama orang jika dalam hal nasab (kalau dalam hadis mencakup matan, metode dan sanad/rijal). Apalagi dalam contoh yang lebih awal penulis telah menukil bahwa al-Syarji (812-893 H) menyebut Umar (Umar Muhdar anak dari Abd Rahman Assagaf) dalam kitabnya yang rampung pada 867 H lebih awal dari karya al-Sakran yang sampai tahun 888 H belum selesai (Narasi al-Janadi I dan II). Sementara ulama seperti Murtadha al-Zabidi (w. 1205/6 H), al-Nabhani (w.1350 H), Mar’asyi (w. 1990 M) yang mengakui nasab ba’ Alwi bagi Imad tidak bisa dipakai karena mereka pernah berguru atau kolega ba‘Alwi (Terputusnya, 49, 65-67). Adakah aturan ilmiah yang menyatakan tidak boleh, menggunakan kitab satu komunitas tertentu atau kolega komunitas tersebut? Disini letak kecurangan Imad, sebab semua ulama non ba‘Alwi yang mengakui nasab ba‘Alwi ia sebut sebagai kolega, padahal ia juga menggunakan kitab ba‘Alwi tapi untuk memojokkan.
Inkonsistensinya karena ia juga menyatakan: Tidak berarti orang yang berguru kepada Ba Alawi, disebut mengitsbat nasab BaAlawi. Konteks ini karena bagi dia Hadratusyeikh Hasyim al-Asy’ari (w. 1947 M) tidak mengitsbat nasab ba‘Alwi (Terputusnya, 77) dalam kitab tertentu, namun hanya sebagai hubungan kolega saja atau berguru. Ia berani katakan itu, sebab pendiri NU tersebut tidak memiliki kitab terkait itsbat secara khusus tentang hal itu. Seandainya pun kitabnya ada, tentu dia akan mengalihkan (memang modelnya berputar-putar kok) bahwa itu karena mengambil dari ba‘Alwi. Sampai disini pembaca sebenarnya sudah paham pola dan metode Imad tidak jelas, berpindah, berganti dan yang pasti inkonsistensi.
Maka yang harus Imad jawab adalah: (1), mengapa hadratusyeikh Hasyim al-Asy‘arie menyebut Abdullah bin Thahir (w. 1272 H) pengarang Sullam al-Taufiq sebagai sayyid begitu juga dengan Ahmad bin Abdullah Assagaf (w. 1369 H) penulis Khidmah al-‘Asyirah seperti tulisan Nanal Ainal Fauz. Bukankah itu sudah lebih dari cukup bahwa hadrahtussyeikh mengakui nasab ba‘Alwi?: (2) mengapa KH Abd Rahman Wahid/Gus Dur (1940-2009 M) bukan saja mengakui nasab ba‘Alwi bahkan membela mereka? tentu bapak bangsa tersebut memperoleh pendidikan awal dari kakeknya melalui penyampaian lisan misalnya saat ngaji. Apakah ini akan diingkari oleh Imad juga karena tidak ada kitab dan karena umur Gus Dur masih kecil? Perhatikan, Gus Dur di saat itu berumur 6-7 tahun sudah dapat menerima dan menampung informasi (tahammul) termasuk tentang info ba‘Alwi sebab sudah mumayyiz. (konteks inilah yang seharusnya ia lihat saat di masa ‘Ubaidillah hidup, dengan menggunakan teori dan metode tertentu) Ini dapat terjadi dengan pola penyampaian dari kakek ke cucu. Atau Gus Dur menerima dari ayahnya KH Wahid Hasyim (w. 1953 M) sebagai riwayah al-abna ‘an al-aba. Apakah mau diingkari juga? Berarti Hadrahtussyeikh tidak memiliki buku secara khusus mengitsbat nasab ba‘Alwi bukan berarti tidak mengakui nasab mereka, sebab beliau menyebut dalam contoh dua tokoh ba‘Alwi dengan sayyid. Tentu dalam konteks bukan memuji atau untuk kebanggaan terhadap mereka yang disebut demikian.
B. Rancu
Kesatu, di buku kedua saat bedakan kitab nasab dengan kitab sejarah, Imad bersikeras menyatakan yang demikian itu berbeda dengan kitab sejarah, penulis sejarah meriwayatkan dalam kitabnya nasab tokoh yang ditulis sesuai pengakuannya. Ia tidak terlalu menuntut kesahihannya (Terputusnya, 20-21). Benarkah demikian? Kalau dia maksud terkait dengan kategori dan standar antara penerimaan hadis dengan penerimaan info sejarah jelas memang berbeda dalam ketat tidaknya. Namun dalam nasab justeru banyak mengutip kitab sejarah berciri khusus bahkan umum. Perhatikan ungkapan al-Janadi: لولاه لجهلت الأنساب واندرست الأحساب (al-Janadi, I, 59) “seandainya kalau bukan karenanya (ilmu sejarah) maka (akan) tidak tahu (bodoh) tentang nasab dan hilang leluhur” rancu terjadi sebab Imad memang tidak bisa mendeteksi karya al-Janadi masuk dalam jenis kitab sejarah yang mana. Yang pasti bukan kitab Tarikh (sejarah secara umum yang dikenal, ia mengarahkan ke sini), melainkan jenis kitab Thabaqat sesuai judulnya beririsan dengan kitab Sirah dari wilayah tertentu yaitu Yaman. Untuk lebih memahami jenis kitab Tarikh, Sirah, Thabaqah, lihat Jurnal Subtantia vol 24, no. 1, 2022 (Historiografi Hadis)
Rancu, juga lucu terjadi sebab Imad dengan senang hati menulis: Ilmu nasab masuk dalam cabang Ilmu Sejarah. Ilmu nasab mempunyai hubungan yang kuat dengan ilmu-ilmu yang merupakan cabang ilmu tarikh (sejarah) lainnya. Lebih tragis ia menyatakan: Namun hubungan ilmu nasab dengan ilmu sirah lebih kuat (Buku Ilmu Nasab, 7-8). Bukannya sejak awal seolah mau konsisten dengan kitab nasab doang tanpa kitab sejarah? Ini terjadi sebab Imad seperti penjelasan di atas dan point keempat (Inkonsistensi 1) walau akhirnya ia menggunakan secara terpaksa kitab al-Janadi (Terputusnya 20), eh ternyata ia mengakategotrikan kitab al-Janadi sebagai kitab nasab abad 8 (buku Ilmu Nasab, 55). Mencengangkan apanya ya ????? dan rancu dan memang mau diframing kok, silahkan pembaca menilai. Sama halnya ia menjadikan kitab al-Dzahabi (w. 748 H) sebagai kitab nasab (Buku Ilmu Nasab, 39) padahal kitab Siyar A’lam al-Nubala berjenis Thabaqah (35 Thabaqah) dan Sirah bukan kitab nasab. Lupa ya kalau al-Janadi adalah sejarah jenis thabaqah dan sirah berdekatan dengan kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’ad (w. 230 H). Lagian kitab nasab tidak banyak mengeksplor info pribadi seseorang, tetapi memuat nasab seseorang yang kadang dimuat dimana lahir dan wafatnya, tapi lebih fokus menyebut nasab dan hubungan dengan tokoh lain sebagai saudara, keluarga atau kerabatnya.
Menyatakan kitab sirah memiliki hubungan kuat dengan ilmu sejarah adalah benar, dan justeru itu maka kitab sejarah berjenis Sirah, thabaqah juga adalah sumber dalam menulis nasab, bahkan kitab Tarikh umum sebagian juga sumber seperti penulis sebutkan tentang Sam’ani (w. 562 H) mengutip Tarikh karya al-Thabari (w. 310 H). Sangat lucu lagi, ia menjadikan karya al-Sakran al-Burqah sebagai kitab nasab (Buku Ilmu Nasab, 55) padahal itu jelas-jelas kitab Tasauf yang kebetulan juga memuat sebagian nasab ba‘Alwi. Bandingkanlah kitab nasab karya Samarqandi (w. 996 H) dengan karya al-Sakran, maka pelajar pemula saja bisa membedakan mana ciri kitab nasab dan mana ciri kitab tasauf. Terus bagaimana dengan orang yang katanya sudah meneliti nasab bahkan seolah ahli nasab? Padahal juga ngutip dan framing. Semua itu dia lakukan hanya karena ingin mengkambing hitamkan al-Sakran sebagai common link, padahal telah gugur argumentasinya (lihat tulisan Terdeteksi al-Sakran dan Narasi al-Janadi II). Di sisi lain, Imad sangat alergi memasukkan karya al-Sakhawi (830-902 H) sebagai bagian dari kitab berjenis sirah, yang pasti itu bukan kitab Tarikh, renungkanlah dengan ilmu dan hati terbuka.
Sketch: 1001 Inventions