Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA
email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Setelah Inkonsistensi ketiga sebulan yang lalu, tulisan ini adalah kelanjutannya yang baru sempat ditulis sekarang (29 Agustus 2023) lantaran berbagai kesibukan dan sebenarnya sudah malas sebab data-data dengan logika sejak awal diabaikan. Lanjutan dari bagian B Rancu sebagai berikut:
Kedua, Imad nulis dalam penetapan nasab ulama fikih berdasarkan adanya perkawinan, ikrar, dan saksi yang mencakup kesaksian dengan tasamu‘ syuhrah wal istifadloh, masyhur dan lainnya. Di buku yang sama (Terputusnya, h. 6) ia mencoba membedakan pengitsbatan ahli fiqih dengan ahli nasab hanya pada kitab. Menurutnya ahli nasab menetapkan nasab seseorang terutama itsbat nasab seseorang di masa lalu maka ahli nasab menggunakan metode konfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang paling dekat. Benarkah demikian?
Rancunya pernyataan di atas karena Imad tidak kemukakan referensi yang menyatakan bahwa ahli nasab menetapkan nasab seseorang berdasar kitab se zaman. Bagaimana penetapan nasab para sahabat Nabi suci saw, jangankan kitab nasab, kitab sejarah sezaman dengan kakek moyang mereka tidak ada. Bahkan kitab yang menceriterakan biografi sahabat saja baru hadir di abad 3 H-5H. Jika menyatakan itu adalahn syuhrah padahal telah ratusan tahun jarak antara sahabat ke nenek moyang mereka, maka apa keberatannya menerima nasab Ba‘alwi yang terkonfirmasi dengan jarak 160 tahun dari masa Abu Jadid (w. 620 H, estimasi lahirnya 550 H) ke Ubaidillah/Abdullah bin Ahmad bi Isa (w. 383 H)? disini lemahnya syuhrah dan istifadhah Imad yang akan diulas tersendiri.
Ketiga, rancu yang lucu saat Imad nyatakan Abna al-Imam fi Mishro Wa al-Syam adalah karya Husain karya Abu al-Muammar Yahya al-Tobatoba (w.478 H) (Buku Ilmu Nasab, h. 54) namun di buku kedua setelah menyatakan kitab Ibn thabathaba palsu, ia menyebutkan: karena kitab ini ditulis ulama yang wafat tahun 199 H (Terputusnya, h. 72) jadi maksudnya karya Ibrahim al-Thabthaba? yang tegas dong, kok jadi plin plan. Atau mau ikuti opsi seperti yang penulis kemukakan (Inkonsistensi kedua) bahwa kitab tersebut adalah karya 2 dua orang al-Thabathaba’i yaitu Ibrahim wafat 199 H dan Abu al-Mu‘ammar Yahya wafat 478 H. Itupun harus diteliti. Kalau tidak demikian maka dua tulisan yaitu buku ilmu nasab dan Terputusnya milik Imad? adalah ngawur dan rancu/tanaquth (bertentangan). Semua itu dia lakukan karena tak mau menerima bahwa Abdullah bin Ahmad bin Isa telah disebut oleh Abu Mu’ammar Yahya Ibn Thabathaba.
Keempat, menurut Imad, Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah, itu adalah palsu bukan tulisan Ibnu Tobatoba pengarang kitab Abnaul Imam (Terputusnya, h. 72). Selain rancu karena alasan point ketiga di atas, juga Imad menyebut bahwa seakan-akan seluruhnya karangan Ibnu Toba-toba, padahal, di dalamnya ditambahkan oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w. 1180), Abul Aon As-sifarini (1188 h.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w.1350 H) dan Yusuf jamalullail (Terputusnya, h. 71). Mengapa begitu malas mendeteksi isi kitabnya?
Letak kerancuan yaitu tidak mau menelisik isi kitab tersebut, padahal bisa kok. Ambil contoh: (1) sudah penulis sebutkan bahwa semua gambar/pohon nasab dalam kitab tersebut adalah karya Jamalullail (lahir 1938 M) (Konektivitas, h. 25). Jamalullail membuat pohon nasab dari nama-nama orang yang sesuai isi kitab Abna al-Imam dan itu tidak melebihi masa hidupnya Abu Mu‘ammar. Selain itu tidak ada yang ditambahkan oleh Jamalullail kecuali Imad punya bukti; (2) Ibn Thabathaba menyebut empat anak dari Isa bin Zaid al-syahid (w. 124/5 H) bin Ali Zainal Abidin (w. 94/96/97/98 H) 125 H) yaitu: Ahmad bin Isa, Zaid bin Isa bin Zaid, Muhammad bin Isa dan Husein bin Isa. Setelah itu disebutkan banu Yahya dan beberapa turunannya, moyang mereka semua yaitu Ahmad bin Isa bin Zaid. (h. 124-125) maka bagian ini jelas tulisan Ibn Thabathaba. Selanjutnya di halaman 126, Ibn ‘Inabah (w. 826 H) menyebutkan banu Husein di Mesir dan beberapa tokohnya, moyang mereka semua adalah Zaid bin Isa bin Zaid al-Syahid dalam konteks membicarakan turunan Isa bin zaid (w. 124/5 H). Tentu sebutan Ibn ‘Inabah di dalamnya jelas bukan dari Ibn Thabathaba namun Ibn Shadaqah al-Warraq (w. 1180 H) memasukkan dari Ibn ‘Inabah dan itu sudah dijelaskan oleh pentahqiq berikutnya Ibrahim al-Maqdisi (w. 1350 H) di catatan kaki. Maka jelas mana yang Ibn Shadaqah menukil dari Ibn ‘Inabah dan mana yang asli dari Ibn Thabathaba, jadi apa keberatan Imad? Sebab semua bisa dicek, kecuali malas atau memang niatnya framing; (3) kasus yang mirip dengan poin 2. Ibn Thabathaba menyebut 2 anak Ismail bin Ja’far al-Shadiq yaitu Muhammad dan Ali (h. 146). Lalu di halaman yang sama ada tulisan Ibn ‘Inabah bahwa Muhammad bin Ismail bin Ja‘far al-Shadiq menulis surat ke pamannya Musa al-Kadzim (w. 183/188 H). Tentu ceritera tersebut dari Ibn ‘Inabah dan sebutannya jelas dari siapa ceritera surat itu, namun nasab kedua anak Ismail (w. 147 H) bin Ja’far al-Shadiq (w. 148 h) jelas dari Ibn Thabathab’i Mu‘ammar, jadi apa alasannya keberatan ? kecuali di kitab Abna al-Imam tidak ditulis kutipan dan redaksinya dari mana.
Kelima, Imad menulis tidak jelas bahwa mereka berempat menambahkan didalamnya (kitab Abna al-Imam) sesuai nama-nama yang ada pada zamannya (Terputusnya, h. 71). Benarkah demikian? (1) halaman 147 kitab Abna al-Imam disebutkan Husein bin Ahmad bin Ismail al-tsani bin Muhammad bin Ismail bin Jafar al-Shadiq ini belum melewati zaman Ibn Thabthaba (w. 478 H); (2) di halaman 149-150 membicarakan Hasan al-Syuja bin Abbas bin Husein bin al-Hasan ibn Abi al-Jaun bin Abu al-Hasan Ali abi al-Jaun bin Muhammad al-Syair bin Ali bin Ismail bin Ja‘far al-Shadiq (w. 148 h). Setelah itu baru disebutkan dan di dalam Bahrul Ansab (tanpa menyebut karya Ibn ‘Inabah meski maksudnya itu sebab sebelumnya telah disebut di catatan kaki halaman 126 di kitab Abna al-Imam) majd al-daulah dan fakhr al-daulah keduanyua turunan Hasan al-Syuja bin al-Abbas tersebut. Tambahan ini pun telah dijelaskan oleh pentahqiqnya di catatan kaki halaman 150; (3) halaman 150 juga disebut Abu Qasim Ali bin Ibrahim bin al-Hasan al-Syuja bin al-Abbas sezaman dengan Ibn Thabthaba, meski Abu Qasim lebih muda karena kelahiran 424 H. Tulisan ini dari Ibn Thabathba’ Abu Mu‘ammar.
Jadi klaim Imad bahwa mereka berempat menambahkan nama-nama sesuai zamannya, itu di bagian mana? Padahal telah jelas rujukannya, apalagi nama-nama yang disebut dalam kitab Abna al-Imam tidak ada yang melebihi masa hidup Abu Mu‘ammar kecuali nukilan dari ‘Ibn ‘Inabah yang sudah dijelaskan. Mencurigai Jamalullail menambah nama Abdullah dan disebut ‘Ubaidillah dalam pohon nasab tidak beralasan, sebab halaman 167 kitab Abna Imam terdapat teks menyebut Abdullah bin Ahmad bin ‘Isa. Kalaupun teks ini pun dicurigai dari Jamalullail tentu harus ada pembuktian lebih lanjut, bukan asal ngomong itu palsu dan dibuat. Jamalullail orang yang hidup di masa kini, mudah untuk melacaknya, tidak sulit.
Sekedar info, kitab Abna al-Imam karya Abu Mu‘ammar Yahya ibn Thabathaba dimulai pada halaman 69 sampai 171 dengan ditambah pohon nasab dan keterangan tambahan yang telah disebutkan. Halaman 1-68 berasal dari pentahqiq, halaman 172-181 penutup dengan daftar isi.
Keenam, disebutkan menurut al-Turbani (hidup masa sekarang), nasab keluarga BaAlawi berubah-ubah. Dalam syajarah (pohon nasab) mereka yang lama, nasab mereka adalah: Isa bin Alawi bin Muhammad bin Himham bin Aun bin Muhammad al-Kadzim. Menurut al-Turbani, nasab itu sebagaimana disebut oleh al-Hajari dalam kitab Mu‘jam-nya. Disebut juga oleh al-Zabarah dan Ahmad Abdu al-Rido dalam kitab al-Ansab al-Munqati‘ah (Buku Ilmu Nasab, h. 43). Benarkah demikian? Pada bagian ini sebenarnya bukan rancu tapi lebih tepat framing atau justeru Imad berbohong. Hal tersebut dapat dilihat pada al-Turbani, meski tidak percaya nasab Ba‘alwi tetapi teks yang berbunyi “nasab tentang nasab Ba‘Alawi berubah-ubah dan seterusnya di atas adalah framing al-Turbani dan Imad mengikutinya tanpa deteksi. Imad mengutip di google (Buku Ilmu Nasab, h. 43 di catatan kaki no. 52-54) selain keliru sebab menyebut ‘Aun bin Muhammad al-Kadzim padahal bin Musa al-Kadzim, juga tanpa merujuk 3 karya yang al-Turbani sebutkan bahwa nasab Ba‘alwi terputus.
Kutipan yang Imad terjemahkan dari al-Turbani sebenarnya dalam konteks nasab al-Ahdal jadi bukan nasab Ba‘alwi. Sebab rujukan yang al-Turbani sebut adalah karya Abdu al-Ridha dengan al-Zabarah menunjukkan mereka tidak meragukan nasab Ba‘alwi (Ahmad Abdu al-Ridha, 1999, h. 274-275). Zabarah (w. 1381 H) justeru mensahkan nasab Ba‘alwi (Konketivitas, h. 18 lihat karya Zabarah terbit 1984). Jadi teks di atas memang sedang membicarakan nasab al-Ahdal (sayid non Ba‘alwi) terkait anak Musa al-Kadzim bernama ‘Aun, dan marga al-Ahdal dari ‘Aun ini. Sementara Sejahrawan dan Qadhi Muhammad al-Hajari al-Yamani (w. 1960 H) menyebut dengan jelas bahwa Ba‘alwi adalah syarif. Di jilid II h. 610 disebutkan (penulis terjemahkan) ‘dan keluarga Ba‘alwi adalah syarif di Hadramaut dari turunan Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq.
Kutipan berikutnya tak kalah seram yang ditashif (ubah) oleh al-Turbani, dan Imad mengiyakannya yaitu frasa فعمد الى الشرف sehingga mereka berdua artikan ba‘alwi sengaja menyantolkan nasab mereka sebagai syarif (Buku Ilmu Nasab, h. 42) padahal di kitab Tuhfah al-Zamni karya al-Ahdal disebutkan frasa فعمد أخوه وابن عمه الى الشرق maka saudaranya (yang menurunkan bani Qadimi) dan anak pamannya (yang menurunkan ba‘alwi) bersengaja menuju timur (al-Ahdal, 2004, II, h. 238). Jadi bukan syarf tapi syarq. Teks al-Ahdal ini sedang membicarakan moyang al-Ahdal, Qadimi dan Ba‘alwi mereka bertiga keluar dari Irak menuju Yaman. Apa Imad mau katakan bahwa kitab tersebut ditahqiq oleh Ba‘alwi yaitu Abdullah al-Habsyi (lahir 1948/9 M) maka tak bisa dipercaya? Lalu bersegera percaya opini al-Turbani? Silahkan lacak langsung manuskrip Tuhfah al-Zamni tanpa tahqiq yang memiliki tidak kurang dari 5 manuskrip. Secara logika juga tidak mungkin, jika al-Ahdal bicara bahwa saudaranya dan anak pamannya bersengaja mengakui diri mereka adalah syarif, maka al-Ahdal sendiri akan kena tuduhan yang sama. Ini semua terjadi karena Imad mengikuti framing al-Turbani. Masih ingatkah beberapa kitab dirubah oleh kelompok tertentu?
Dengan demikian apakah Imad diprank al-Turbani? Atau justeru memang Imad juga bersengaja ikuti tashif al-Turbani. Tulisan al-Turbani yang Imad kutip bukan penelitian tapi ungkapan lepas di dunia internet, 2-3 halaman saat mengkritik Kamal al-Hut. (Lihat: https://www.jordanzad.com/index.php?page=article&id=105608). Mestinya Imad lebih rajin mencari karya al-Turbani sebagai idolanya. Siapa al-Turbani? dia adalah orang yang nasabnya tidak diakui lalu menyerang balik. Salah satu murid al-Muqbili (masa kini yang juga tidak percaya nasab Ba‘alwi) bernama Abu Abd Rahman al-‘Uqaili menyebut Ahmad Sulaiman Sabah al-Turbani ini adalah المزور atau counterfeiter alias pemalsu https://arabelalekat.yoo7.com/t589-topic.
Ketujuh, rancunya saat memasukkan komentar M. Quraish Shihab seolah-olah menyetujui kalau nasab ba‘Alwi batal (Terputusnya, h. 92). Padahal ungkapan pakar tafsir tersebut bahwa orang yang memiliki turunan mulia tetap tidak mulia jika tanpa akhlaq, ilmu dan pengabdian. Imad lakukan itu menurut penulis bertujuan untuk menggiring opini agar timbul kesan di masyarakat bahwa M. Quraish Shihab pun tidak yakin dengan nasabnya, padahal tidaklah demikian. Yang sedang dibicarkan oleh pakar tafsir tersebut adalah seseorang dinilai bukan karena nasabnya tapi kiprahnya, dalam hal ini semua orang pasti sangat setuju sekali, dan bukan dalam konteks menafikan nasab apalagi nasabnya sendiri.
Sketch: 1001 Inventions