Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kerap kali muncul di film horor ataupun ceritera dari beberapa daerah di Indonesia yang cukup melegenda mengenai kebiasaan iblis sebagai makhluq yang suka memakan hati manusia. Bahkan manusia yang meminta bantuan iblis (belajar ilmu hitam) juga sering disimbolkan sebagai pemakan hati/jantung sesama mereka demi memperkuat dan melanggengkan ilmunya. Ilustrasi ini cukup beralasan sebab iblis sangat dendam dengan anak-anak Nabi Adam as sehingga dia akan melakukan cara apa saja dan mendatangi mereka dari berbagai arah (kecuali dari atas) untuk menjerumsukan mereka ke lembah kejahatan dan dosa (Renungkan misalnya QS: al-A‘raf: 15-17; Shad: 82-83).
Apa sesungguhnya keinginan iblis sehingga ia sangat bernafsu menggoda dan menyesatkan manusia? Dalam al-Qur’an secara eksplisit dapat ditemukan kalau iblis menggoda manusia lantaran ia dikeluarkan dari surga disebabkan ia enggan dan bersikap sombong terhadap perintah Allah swt untuk sujud; menghormati nabi Adam asw (QS: al-Baqarah: 34; al-A‘raf: 11-13). Akan tetapi pada ayat-ayat tersebut belum ditemukan latar belakang sebenarnya sampai ia bersikap demikian.
Sikap sombong iblis merupakan sebuah bentuk kamuflase untuk menutupi sesuatu yang tersimpan paling dalam di dirinya. Ketika ia menyatakan lebih baik dari nabi Adam as (QS: al-A‘raf: 12; al-Hijr; 33; Shad; 76) pada dasarnya kesombongan iblis dilandasi sifat iri dan dengki yang amat sangat terhadap nabi Adam asw. Konteks itu terlihat saat ia meremehkan nabi Adam hanyalah seonggok tanah hina sementara dia sendiri dari api. Konsep superioritas yang iblis tampilkan kembali bermula dari sifat iri dan dengki. Tanpa kedua sifat yang berbahaya tersebut iblis tidak mungkin menampilkan ‘keunggulan’nya di hadapan Allah swt; zat yang menciptakan dirinya bahkan alam semesta. Dalam riwayat disebutkan iblis yang konon bernama Azazil dalam bahasa Suryani; al-Harits dalam bahasa Ibrani, awalnya makhluq yang sangat tekun beribadah kepada Allah swt, bahkan lebih tekun dan lebih berilmu dari para malaikat (al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, 2010. I).
Penjelasan al-Qurthubi al-Maliki (w. 671 H) dalam tafsirnya di atas, merujuk pada dua hal yang menjadikan iblis iri yaitu ibadah dan ilmu. Dengan keduanya iblis merasa lebih pantas, lebih layak lalu timbul dalam dirinya ambisi untuk memiliki ‘tahta’ yang akan Allah limpahkan kepada salah satu makhluq-Nya. ‘Tahta’ tersebut tak lain adalah khalifah fi al-ardh; pemimpin di muka bumi untuk meneruskan ‘keinginan’ Allah swt. Hal ini jelas terlihat dalam alur fragmen percakapan Allah swt bersama malaikat akan adanya sang khalifah (QS: al-Baqarah; 30). Artinya iblis sebagai salah satu makhluq langit tentu telah mendengar planning (perencanaan) jangka panjang Allah swt untuk memakmurkan dunia dengan kemaslahatan. Percakapan tentang ‘tahta’ dalam ayat dilanjutkan dengan protes malaikat, pembekalan ilmu kepada nabi Adam sampai permintaan Allah kepada mereka bersama iblis untuk menghormati sang calon pemegang ‘tahta’.
Sayangnya keinginan iblis menjadi khalifah untuk memakmurkan dunia dengan aneka kemaslahatan berubah 360 derajat menjadi keburukan lantaran ‘tahta’ tersebut tidak dia dapatkan, lalu menjadi iri dan dengki terhadap apa yang telah Allah limpahkan kepada nabi Adam. Sifat yang buruk tersebut menyeret ia membandingkan dirinya dengan orang lain, merasa lebih pantas mendapatkan ‘tahta’ itu, dan yang lain tak pantas, bahkan menganggap ‘tahta’ itu sebenanrya tidak ada dan ingin agar supaya ‘tahta’ itu hilang. Berpijak dari iri dan dengki, berbagai cara ia lakukan untuk menutupinya, bahkan tidak mengakui keberadaan ‘tahta’ tersebut.
Keinginan iblis memperoleh ‘tahta’ itu telah membutakan hati dan segala dari dirinya. Padahal banyak rahasia yang ia tidak ketahui seperti penegasan Allah swt kepada malaikat (QS: al-Baqarah;33) dan lebih dari itu iblis seolah tidak mengakui Allah swt berkehendak atas segala sesuatu, termasuk memberikan‘tahta’ pada siapapun yang DIA kehendaki. Secara esensi ‘tahta’ itu sebenarnya amanat dari Allah yang harus dijalankan dengan serius dan berdasar ketentuan-Nya (QS:al-Ahzab; 72). Entah itu disebut ni‘mat atau justeru beban berat. Oleh sebab itu siapapun yang menginginkan ni‘mat yang ada pada orang lain berpindah kepadanya, bahkan ingin agar ni’mat tersebut hilang, maka dia dalam terminologi ulama adalah orang yang hasud bersifat iri; dengki di mana iblis adalah mentornya yang terlukiskan sebagai pemakan hati manusia, karena iri letaknya di hati dan direalisasikan melalui sikap dan tindakan.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb…