Indahnya “Mondok” di Pontren Alkhairaat Palu

Beberapa santri bersama pengasuh berpose di tempat yang kini berdiri Kantor Pusat PB Alkhairaat di Palu (1976).

Dari kiri ke kanan: Ust. Kamaluddin, Heri Rahman, Daeng Pasau, Ridwan Salidu, Azhar Nonci, Ust. Manshur Baba, Tamsil, Muhdi Alhadar, Irwan B, dan Ust. Basyir Mardjudo.


Alwi Sagaf Alhadar  |  Pengurus Komwil Alkhairaat Maluku Utara

Jelang Haul Guru Tua Sayyid Al- Habib Idrus bin Salim Aljufri ke-54, tiba-tiba memori saya berbalik 47 tahun silam. Tepatnya awal tahun 1976.

Kala itu saya bersama empat teman dari Ternate tiba dengan KM Tobelo di Pelabuhan Donggala, setelah singgah di Bitung. Lalu kami lanjutkan perjalanan darat. Kota Palu yang dituju.

Inap beberapa malam di rumah panggung besar milik mertua Ustad Prof Dr. M. Nur Sulaiman di Kampung Baru, lalu kami diantarkan “masuk” ke asrama putera Pondok Pesantren (Pontren) Modern Alkhairaat pertama di Kelurahan Kamonji, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.

Di situlah kami tinggal bersama teman-teman dari berbagai wilayah Nusantara. Antara lain dari Papua, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Jawa Tengah, hingga Jakarta. Mereka ini bisa “disematkan” dalam kategori Assabiquunal Awwaluun.

Bangunan asrama ini dibangun oleh Departemen Agama RI. Setelah kami tinggal beberapa waktu, lalu Pontren yang terdiri dari asrama, gedung sekolah, aula, lapangan olahraga lengkap dengan beberapa rumah guru ini diresmikan oleh Menteri Agama RI dalam Kabinet Pembangunan lll, Letjen. Alamsjah Ratu Prawiranegara.

Asrama berdiri megah dikelilingi sawah dan di belakangnya terdapat anak sungai yang membatasi tanah milik Alkhairaat.

Saat itu fasilitasnya bisa dikatakan cukup lengkap. Terdiri dari 6 kamar tidur. Ada ruang makan yang cukup luas, dapur, sejumlah kamar mandi dan wc, plus sebuah sumur lengkap dengan water-tank.

Lalu di ujung utara terdapat perpustakaan dan ruang keterampilan, yang juga difungsikan menjadi mushollah. Di sisi selatan terdapat kamar pengasuh serta ruang kantor. Sedangkan area samping kiri, kanan, dan depan asrama ada lahan untuk pertanian, perikanan, serta peternakan.

Kala itu, kami diasuh oleh kepala asrama, Ustad Manshur Baba, dibantu Ustad Basyir Mardjudo, Ustad Djasman, serta Ustad Kamaluddin. Semuanya di bawah tongkat komando Ustad Al-Habib Abdillah bin Muhammad bin Idrus Aljufri. Yang sering kami sapa dengan panggilan kehormatan, Abi.

Selain pelajaran agama Islam dan berbagai mata pelajaran umum serta bahasa Inggris, kami juga diajarkan aneka ketrampilan disertai praktik lapangan.

Mulai dari cara bercocok-tanam, beternak hewan serta mengelolah kolam ikan. Selain itu ada ketrampilan perbengkelan dan merajut benang menjadi aneka pakaian dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Semuanya ditunjang dengan peralatan modern kala itu.

Aneka jenis ketrampilan di atas diajarkan oleh para Kepala Dinas terkait saat tatap muka di ruang kelas. Sedangkan, saat praktik lapangan kami didampingi oleh para instruktur yg expert di bidang masing-masing.

Namanya asrama, maka kehidupan sehari-hari pun penuh suka-duka serta diatur dengan berbagai peraturan yang ketat. Setiap aktifitas telah dijadwalkan mulai dari bangun tidur hingga pergi tidur kembali.

Di sinilah muncul dinamika. Sebab penghuninya datang dari berbagai latar- belakang yang berbeda dengan aneka watak yang saling bertolak belakang. Namun – Alhamdulillah- semuanya “dipersatukan” dalam balutan persaudaraan sejati ‘Abnaulkhairaat’.

Saya ingat betul, saat yang krusial terjadi ketika jelang sholat subuh. Awalnya banyak yang susah bangun. Namun seiring waktu, lambat-laun mulai ada yang mulai terbiasa. Bagi yang “bandel” siap-siap untuk selalu jemur kasurnya setiap pagi.

Saat yang menggembirakan, ketika lonceng berbunyi, tanda untuk sarapan pagi, makan siang, serta malam. Selain itu setiap sore (ba’da ashar) kami dibebaskan untuk berolahraga. Ada tenis meja, volly ball, badminton, hingga sepak bola. Yang terakhir ini jadi olahraga favorit bagi para santri.

Ada juga santri yang mengisi waktu sore itu dengan mendatangi para Kyai sepuh yang tinggal di luar pondok. Mereka belajar aneka mata pelajaran yang bersumber dari “kitab kuning”.

Setelah itu siap-siap untuk mandi sore. Karena kamar mandi hanya 3 unit, banyak yang senang mandi di kali kecil di belakang asrama. Padahal airnya keruh berasal dari buangan air sawah. Maka tak heran, bila ada sebagian yang sering menderita kulit gatal-gatal.

Kini alumninya bertebaran di berbagai bidang kehidupan, namun tetap berkiprah dalam bingkai Fastabiqul Khairaat. Banyak pula yang telah kembali ke Hadirat Ilahi. Untuk mereka, mari kita haturkan Surah Al- Fatihah.

Sejenak kita kembali ke bangunan asrama bersejarah ini. Jujur saja, beberapa hari ini lalu saya agak trenyuh melihat postingan dari salah satu teman di WA Group Alumni Ponpes Alkhairaat Kamonji Palu.

Kini, fisik bangunan serta keadaan di sekitarnya sungguh “amat memprihatinkan”. Bagaimana tidak, bangunan yang telah mencetak banyak orang sukses, namun jauh dari rasa peduli untuk merevitalisasinya?

Sebab dari gadung asrama inilah kita mengasah masa depan. Atau mungkin ada pihak pemerintah setempat “tersentuh” untuk memoles agar kembali menjadi “baru”.

Akhirnya, mari kita berkolaborasi untuk mengembalikan marwah monumen bersejarah ini, agar ia tetap kokoh berdiri dan kembali berguna bagi generasi pelanjut.

Maaf, di sini sengaja saya kutip sebuah pepatah Inggris sebagai himmah. “Honouring the past, celebrating the future”.

Selamat Hari Santri Nasional!

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com