Ilustrasi: Revival TV ID
Alwi Sagaf Alhadar | Ketua KPID Maluku Utara
Diskursus tentang netralitas media massa di Indonesia pada satu dekade terakhir ini -khususnya liputan PEMILU Presiden- menyisakan trauma mendalam di benak publik. Masih segar dalam memori kita saat jelang hingga pasca pemilihan presiden (pilpres) berturut-turut, 2014 hingga 2019 yang dikuti hanya dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Kala itu, terjadi kubu-kubuan. Bukan hanya di lingkup partai politik (parpol) pengusung calon presiden semata. Namun sudah merembet jauh ke tengah massa pemilih, akibat pemberitaan “berat sebelah” dari berbagai media. Terutama media penyiaran.
Berbagai media elektronik ini kemudian pecah menjadi dua kutub. Muncul pro-kontra yang berujung dikotomi. Ini televisi kami, itu televisi mereka. Ini radio kami, itu radio mereka. Terjadi polarisasi pembentukan opini publik dalam berbagai segmen pemberitaan. Padahal tugas utama media adalah menyampaikan fakta dan data secara akurat. Menjunjung akuntabilitas tanpa embel-embel.
Menyebut kata media, saya jadi ingat dengan kemeja pria. Analogi sederhana ini muncul sebab kemeja secara umum terdiri dari tiga ukuran standar. Ada ukuran S (Small), M (Medium), dan L (Large). Sesuai dengan namanya, maka media atau medium itu berada di tengah. Bukan S, bukan pula L. Tidak ke kiri, juga tidak ke kanan. Poin ini memastikan bahwa media bergerak pada tataran tengah (baca; netral). Hingga menjadi penengah dari dua sisi yang berbeda. Otomatis ia “harus” menjunjung tinggi tatanan informasi yang adil, merata, berimbang, serta bertanggung jawab tentunya.
Bahaya media partisan
Betapa dahsyatnya dampak dari pemberitaan yang tidak benar dan tak bertanggung jawab. Terutama media partisan. Bukan hanya mengobrak-abrik rasa keadilan publik. Lebih dari itu, akan mengacaukan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sini saya kemukakan suatu bentuk “kecerobohan” media penyiaran yang melahirkan suatu peristiwa tragis (genosida) yang terjadi di Rwanda, sebuah negara kecil di Afrika Tengah, medio 1994 silam. Suku Hutu sebagai suku mayoritas “membantai” suku Tutsi yang minoritas. Lewat siaran Radio Television Libre des Mille (RTLM) milik suku Hutu. Penyiarnya berulang-ulang mengumandangkan berita agitatif nan provokatif menggunakan siaran transmisi milik pemerintah. Hingga menjangkau khalayak pemirsa dan pendengar ke seantero negeri.
Materi beritanya khusus menyebarkan propaganda rasisme pada suku Tutsi. Siaran “kebencian” digarap secara intens dan masif. Hampir setiap menit tersiar seruan dan lagu yang membakar amarah suku mayoritas. Dalam kurun waktu relatif singkat, akhirnya pertumpahan darah pun tak terelakkan. Suku Hutu secara brutal membunuh setiap orang dari suku Tutsi yang ditemuinya. Tua-muda, besar-kecil, pria-wanita, semuanya dihabisi tanpa ampun. Data Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan aksi genosida ini memakan korban sia-sia lebih dari satu juta jiwa. Tragedi berdarah ini telah difilmkan oleh Hollywood (2004), dan diberi judul Hotel Rwanda.
“If You tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it” (Jika Anda mengatakan suatu kebohongan yang cukup besar dan terus-menerus mengulanginya, pada akhirnya publik akan mempercayainya). Kutipan sepenggal kalimat di atas pernah dicetuskan Joseph Goebbles, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Jerman (1933) di bawah tongkat komando diktator Adolf ‘Fuhrer’ Hitler.
Sebagai seorang propagandis ulung kala itu, Goebbels banyak disegani oleh para ilmuwan, bahkan hingga kini. Itu karena ia dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Racikan jitu hasil kepiawaiannya dijuluki teknik Big Lie.
Prinsip dan teknik ini adalah menyebarluaskan berita bohong via media massa sebanyak dan sesering mungkin. Hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Cukup sederhana, namun mematikan! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan aksi propaganda yang disebarkan tangan kanan Sang Fuhrer. Dalam menjalankan misinya, Goebbels menggunakan siaran radio dan film sebagai media propaganda massal. Asumsinya, kedua alat ini dianggap ampuh serta mampu menjangkau berbagai belahan bumi untuk menyebarluaskan doktrin Nazi.
Butuh siaran sehat berkualitas
Kini, di era kebebasan pers serta penetrasi informasi yang tinggi, masih ada sejumlah media penyiaran yang coba-coba bertindak subjektif. Khususnya yang bersegmentasi berita dan informasi. Para pemiliknya -yang kebetulan petinggi parpol tertentu- secara terang-terangan terus ‘mencitrakan’ diri dan parpolnya. Sambil menyudutkan parpol lain yang tidak sealiran. Apakah para owner itu lupa bahwa frekuensi bukan milik mereka? Hanya “dipinjamkan” secara periodik saja. Sebab alat pengantar siaran ini adalah sumber daya alam yang sangat terbatas. Mestinya digunakan untuk kepentingan publik, sebagai pemilik sah frekuensi di negeri ini.
Bagaimana menciptakan siaran televisi dan radio yang sehat dan berkualitas? Tentu berawal dari faktor regulasi. Sejauh mana aturan itu mampu menjadi guidance bagi praktik penyiaran dan bagaimana penegakkannya? Lalu faktor produksi. Aspek ini terkait dengan komitmen dan profesionalisme insan penyiaran. Harapannya, akan menghasilkan produk siaran yang baik dan berorientasi pada kepentingan publik.
Berikutnya, faktor konsumsi. Ini berkaitan erat dengan sikap, selera, dan partisipasi publik terhadap penciptaan penyiaran yang sehat dan berkualitas. Publik harus memiliki kesadaran untuk bersikap tepat dan tegas di hadapan media. Last but not least pekerja media “harus selalu” menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugasnya.
Mari bersama kita semarakkan PEMILU 2024 yang damai, berkualitas, dan berintegritas dengan pemberitaan yang sejuk dan proporsional!
Artikel ini disampaikan pada Workshop Peliputan PEMILU Legislatif dan PEMILU Presiden 2024 untuk Media di Maluku Utara, yang dilaksanakan Dewan Pers di Hotel Bela Ternate, Jumat 27 Oktober 2023.