Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA
email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Keempat, Imad menulis “Begitu pula untuk nasab yang jauh, syuhroh wal istifadloh disyaratkan harus setiap generasi, atau yang dikenal ahli nasab dengan istilah syuhroh walistifadloh fi al-tarikh (kemashruhan sepanjang sejarah), ia tidak boleh bertentangan dengan kesaksian kitab-kitab dalam setiap generasi”. Ia juga menyatakan “Setiap generasi dari keturunannya itu harus tidak bertentangan dengan kitab-kitab nasab sezaman atau yang berdekatan” (Ilmu Nasab, h. 27-28). Dua penggalan kalimat yang ditebalkan merupakan penggiringan (framing) Imad supaya pembaca memahami bahwa harus ada kitab sezaman. Padahal adanya syuhrah dan istifadhah untuk nasab yang jauh sudah cukup dengan ibrah tasamu’ (dengar mendengar dari generasi ke generasi dan tak harus mutawatir,Namanya juga syuhrah) terlebih jika tidak ada yang menolaknya seperti perkataan Abu al-Mahasin al-Ruyani (w. 502 H) yaitu وعدم الدافع; sumber yang Imad kutip tapi tidak ia jelaskan apa yang dimaksud tidak ada penolakan, karena ingin menframingkah?. Selain itu, menysratakan kitab sezaman juga tidak ada dalam kutipan yang Imad ambil di internet yaitu dari Pusat Study Nasab Asyraf Al al-Thayyar. Disitu dimuat bahwa:
متن علم الأنساب الذي يتمثل ِبجموعات من كربَيت كتب الأنساب المعتربة والمتفق على كونها مناىج صاحلة بسمعة اصحابها ونزاهىتهم عن الغلو واالمجلاملة والتحريف
Dalam lanjutan kutipan di atas bahwa kitab-kitab nasab tersebut saling melengkapi. Dengan demikian tidak disebutkan harus ada kitab sezaman, sebab semua orang dapat mengetahui dengan mudah kalau kitab induk ilmu nasab itu ditulis di zaman-zaman yang berbeda dan tentu saling melengkapi data. Jadi dimana ibrah di atas yang menyatakan harus sezaman? Hal ini telah penulis ungkap di bahasan sebelumnya (pada sub judul Abdullah dan ‘Ubaidillah sosok yang berbeda?) bahwa Ibn ‘Inabah (w. 828 H) melengkapi data ahli nasab terdahulu seperti al-‘Umari (w. 443/459/490 H?) dan lainnya.
Di point ini perlu ditegaskan apakah ada syarat harus adanya kitab nasab sezaman menurut ulama nasab, dan apakah ada penolakan terhadap nasab ba‘alwi dari ahli nasab di masa itu dan setelahnya? (kecuali yang datang kemudian seperti Murad Syukri, Imad dan mereka yang mengikutinya). Jika Imad “mencurigai (atau framing?)” nasab ba‘alwi baru dibuat pada abad 9 H oleh Ali al-Sakran (w. 895 H) (penulis sudah jelaskan kelemahan argumentasi Imad di bahasan Terdeteksi al-Sakran?), mengapa tidak ada ulama yang menolaknya apakah semua ulama abad tersebut sampai masa kini seperti Mahdi Raja’i begitu bodoh dan awam ? bahkan sebaliknya mereka mengitsbat nasab ba‘alwi.
Kelima, Imad mencontohkan al-Dzahabi (w. 748 H), Tajjuddin al-Subki (w. 771 H), Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) termasuk ulama yang membongkar nasab palsu (Terputusnya, h. 2) lalu mengapa mereka tidak menyatakan nasab ba’alwi adalah palsu jika benar nasab ini palsu? Padahal ketiga ulama tersebut hidup di masa-masa tokoh ba‘alwi hidup semasa atau berdekatan; sebagaimana Imad inginkan harus sezaman agar jadi bukti?. Misalnya Faqih Muqaddam (653 H), Muhammad Mauladawilah (w. 765 H), Abd Rahman Assagaf (w. 819 H), Umar Muhdar (w. 833 H), dan Abdullah al-’Idrus (w. 865 H). Secara logika, ketiga ulama di atas akan membongkar nasab ba‘alwi jika benar nasab itu palsu. Faktanya tidak ada. Khusus untuk Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H), semakin meyakinkan bahwa Ibn Hajar tidak menafikan nasab ba‘alwi sebab:
(1) dipastikan Ibn Hajar telah membaca, menyelami kitab al-Janadi (w. 730/2 H) al-Suluk fi Thabaqah al-Ulama wa al-Muluk bahkan mengutip beberapa kali data al-Janadi di beberapa karya Ibn Hajar (al-Ishabah, II, 441; al-Durar al-Kaminah; V, 222; Tabshir al-Muntabih, I, 164, 460, III, 991 dan sebagainya); (2) Ibn Hajar juga dipastikan membaca karya Ali al-Khazraji (w. 812 H) penulis al-‘Iqd al-Fakhir bahkan bertemu dengannya seperti diungkap Ibn Hajar sendiri (1994, III, 181-182) dan muridnya yaitu al-Sakhawi (830/1-902 H, lihat V, 210).
Dua point di atas sangat penting menunjukkan Ibn Hajar tidak menafikan nasab ba‘alwi. Kok bisa? Sebab Ibn Hajar telah membaca dua karya di atas yang jelas-jelas menulis Abu Jadid ba‘alwi dan khusus karya al-Janadi beberapa tokoh ba‘alwi disebut (lihat pembahasan narasi al-Janadi I-II). Dari sini ada dua hal penting yaitu: (a) nasab ba‘alwi tidak dinafikan oleh Ibn Hajar al-Asqalani padahal ia telah membaca karya al-Janadi dan al-Khazraji; (b) runtuhnya argumentasi Imad yang coba menframing bahwa ba‘alwi Abu Jadid dalam karya al-Janadi dan karya al-Khazraji berbeda dengan ba‘alwi Faqih Muqaddam. Jika berbeda, mengapa Ibn Hajar tidak memberikan koreksi? Jika berbeda mengapa Ibn Hajar hanya diam saja padahal saat itu terdapat tokoh ba‘alwi yang sezaman dengannya dari turunan Faqih Muqaddam? Jika berbeda, mengapa murid ideologisnya yaitu al-Sakhawi secara eksplisit mengitsbat nasab ba‘alwi? Hubungan Ibn Hajar dengan al-Sakahawi tidak perlu ditanyakan, saking al-Sakhawi mengikuti gurunya yaitu Ibn Hajar, al-Suyuthi (w. 911 H) mengkritisinya dengan beragam hal termasuk kutipan-kutipan al-Sakhawi.
Perlu diingat dalam konteks Ibn Hajar kiranya kita pakai rujukan yang Imad pakai yaitu Husein bin Haidar al-Hasyimi (h. 199) mengarahkan dan patut disebutkan bahwa:السكوت في النسب كالإقرار )diam dalam persoalan nasab seperti mengakui nasab itu). Diamnya Ibn Hajar setelah membaca karya al-Janadi dan al-Khazraji tentu menunjukkan Ibn Hajar tidak menafikan nasab ba‘alwi, terlebih dalam menetapkan sebuah nasab lebih cepat (mudah, dibanding) dari pada menafikannya. Oleh sebab itu nasab ditetapkan dengan kemungkinan (jarak kelahiran anak dengan ayahnya, dan data lainnya), pengakuan dan diam, yang dimaksud diam yaitu diamnya para ahli. Begitu juga beberapa ketentuan lainnya bahwa nasab pada dasarnya ditetapkan bukan dinafikan, nasab secara umum di dalamnya ditetapkan dan ketentuan lainnya tentang nasab (Husein bin Haidar al-Hasyimi, h. 196). Sebenarnya tanpa menyebut karya Husien sudah cukup dengan kitab klasik ulama fiqh dan lainnya di bahasan syuhrah dan istifadhah. Namun sengaja dikutip karya Husein agar sekaligus menujukkan Imad memang memilih bagian terntu untuk diframing seperti yang penulis telah tunjukkan di inkonsistensi bagian V tentang keculasan Imad menghilangkan penggalan kalimat.
Bila Imad menyatakan tokoh seperti Faqih al-Muqaddam dan lainnya tidak syuhrah dan tidak istifadhah sehingga pada dasarnya Ibn Hajar tidak tahu tentang ba‘alwi. Kemungkinan ini bisa ada, namun kecil bahkan argumentasi ini lemah disebabkan oleh tiga hal:
(1) Ibn Hajar telah ke Zabid Yaman dan bertemu dengan Khazraji, tentu nama seperti Abd Rahman Assagaf, Umar Muhdar dan lainnya akan terdengar karena sezaman dengan Ibn Hajar. Hal ini diperkuat oleh al-Syarji (w. 893 H) dan al-Sakhawi tentang keluarga ba‘alwi dengan menyebut tokoh-tokohnya. Perlu diingat al-Syarji demikian pula al-Sakhawi tidak ketemu Ali al-Sakran yang Imad kambing hitamkan sebagai common link (lihat bahasan Terdeteksi al-Sakran dan Narasi al-Janadi II);
(2) antara Ibn Hajar dengan al-Sakhawi adalah guru dan murid sehingga dipastikan Ibn Hajar tidak menafikan nasab ba‘alwi. Jika ba‘alwi Abu Jadid berbeda dengan ba‘alwi Faqih al-Muqaddam tentu Ibn Hajar akan bicara, selain karena dia ke Yaman dan bertemu al-Khazraji juga karena ia dikenal pakar logika dirayah, sangat kritis terhadap riwayat; bahkan terhadap kakak seperguruannya al-Haitsami (w. 807 H) pun ia kritisi. Di poin ini hubungan Ibn Hajar al-Asqalani dengan al-Sakhawi sebenarnya sudah cukup membuktikan bahwa nasab ba‘alwi telah syuhrah dan istifadhah sebelum zaman mereka berdua. Hal ini dibuktikan dengan komentar al-Janadi bahwa mereka senantiasa dikenal dengan keluarga ayah/abi alwi (lihat bahasan narasi al-Janadi I);
(3) terbentuknya marga-marga di klan ba‘alwi seperti Mauladawilah, Assagaf, dan lainnya justeru pasca tahun 750 H, dimana Ibn Hajar hidup dan sezaman dengan mereka. Jika nasab mereka palsu, maka tidak mungkin Ibn Hajar diam terlebih pengarang Fath al-Bari ini telah ke Yaman.
Bila Imad masih menyatakan bahwa nasab ba‘alwi tidak syuhrah dan tidak istifadhah kecuali setelah abad 9 H, sebab abad 4-8 H nasab mereka tidak demikian (Terputusnya, h. 39) maka disini perlu ditelusuri logika dan nalar yang Imad pakai untuk mengukur syuhrah dan istifadhah sebuah nasab serta melihat kelemahan dan terutama framingnya.
Sketch: 1001 Inventions
5 Comments
Jafar Assagaf
Disni anda harus bedakan antara apa yg telah diakui oleh ulama saat itu dengan gan pola penukilan. Dengan apa yang Anda tulis zaman kini dengan pola penulisan. Kitab Hadis, perawi, ulama itu banyak yang ditulis bukan zamannya tapi melalui pola penukilanini berbeda epistemologi. Jadi yang Anda sebut kebenaran universal apakah hanya berbasis tulisan saja? Begitu banyak ahli sejarah tidak hanya berdasar tulisan tapi sumber ” Lainnya
Jafar Assagaf
https://www.alkhairaat-ternate.or.id/2023/12/24/inkonsistensi-rancu-dan-lemahnya-nalar-tentang-syuhrah-dan-istifadhah-di-tulisan-menakar-dan-terputus-bagian-vii-selesai/
Asik Surya
Yang memgklaim yang membuktikan.. Iyu aksiomanya. Saat ini kajian genealogi genetika nasab baalawi (haplogroupnya G) tidak tersambung haplogrouo DNAnya dengan Nabi Ibrahim (haplogroup J) bahkan bertemu kake moyangnya (kakek bersamanya) 30.000. tahun. Jadi jangankan suku Qurays ngaku orang Arab saja sudah jauh.. Kajian ini kajian ilmoah.. Bukan kajian hitoris yang lemah, apalagi berdasarkan konsep syughro wal istifasoh. Butuh bukti kitab sezaman, itupun konfirmasi paling lemah dalam kajian ilmiah.. Ilmu nasab itu saat ini sebatas level “omon omon” tidak ilmiah kecuali anda melibatkan kajian genetika. Nasab itu urusan keilmuan biologi. Saat ini ada metode yang lebih valid untuk menentukan tersambung atau tidak secara genetika.
H. Ahmad Daud, S.Ag
Pak Sam, nasab memang benar urusan keluarga, tapi jika nasab tsb disambung sambungkan ke nasab Nabi Muhammad, bisa menjadi urusan umat, bukan lagi urusan keluarga pribadi.
Heri
Assalamualaikum om. Saya mau jawab logika anda yang no 5.
Soal logika ulama terdahulu yang membongkar nasab palsu, tapi tidak membongkar nasab baalaw adalah metodologi penelitian yang belum berkembang jadi sulit untuk melakukan penelitian saat itu