Qadhi Syuraih (w. 78 H); Pejuang Keadilan

EMBUN JUM’AT

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia Bidang Riset Dan Pengembangan Ilmu | email:  jafar.assagaf@uin-suka.ac.id


Youtube: https://youtu.be/spyAIPBjbjg?si=Ia3S6x03Zw8TJsDK

Syuraih bin al-Harits al-Kindi adalah seorang hakim yang populer dalam sejarah Islam sebagai hakim yang adil, lantaran ia selalu berusaha memperjuangkan keadilan. Sengketa yang terjadi dan dibawa kepadanya, maka Syuraih akan memperlakukan kedua orang yang bertikai; penggugat maupun tergugat dalam posisi yang sama di mata hukum, tanpa membedakan rakyat kecil atau pejabat. Pertama kali Syuraih diminta menjadi hakim oleh khalifah Umar (w. 23 H) pada ± 18 H. Syuraih menjadi idola para khalifah setelah itu, baik di masa Utsman (w. 35 H), Ali (w. 40 H) sampai tahun 77 H di masa bani Umayyah, tepatnya pada pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (w. 86 H) dia selalu menjabat sebagai qadhi. Syuraih wafat pada 78 H, satu tahun setelah ia mengundurkan diri. 

Salah satu kisah masyhur yaitu ketika Syuraih mengadili sengketa baju besi (baju perang) antara khalifah Ali dengan salah seorang non Muslim (beragama Yahudi, namun riwayat lain menyebut ia beragama Nasrani). Disebabkan khalifah Ali maupun non Muslim tersebut masing-masing mengklaim bahwa baju besi adalah miliknya. Syuraih lalu meminta agar sang Khalifah mendatangkan saksi. Khalifah Ali kw membawa 2 saksi yaitu Qinbar (?)/Qanbar bekas budaknya dan Hasan anaknya khalifah. Syuraih menerima kesaksian bekas budak Ali namun menolak kesaksian Hasan bin Ali. Khalifah Ali heran lalu berkata: “hai Syuraih apakah engkau tidak percaya dengan kesaksian Hasan, bukankah Umar pernah meriwayatkan bahwa Nabi suci Muhammad saw bersabda: 

 … وأن الحسن والحسين سيّدا شبابِ أهل الحنة (رواه الحاكم عن إبن مسعود)

… dan sungguh Hasan dan Husein adalah penghulu pemuda penghuni Surga”.

Syuriah menjawab:” benar” tapi tidak diterima kesaksian anak (Hasan) yang membela ayahnya (Ali)”, kata Syuraih. Selang beberapa waktu, baju besi itu diputuskan untuk diserahkan kepada non Muslim. Akhirnya non Muslim tersebut mengakui bahwa baju besi itu memang milik khalifah Ali, bahkan ia masuk Islam (mualaf) lantaran melihat keadilan dalam Islam yang direalisasikan oleh Syuraih. Non muslim tercengang lantaran yang bertikai adalah khalifah pemimpin tertinggi dengan rakyat biasa yang justeru berbeda agama dengan sang khalifah, namun dalam Peradilan ia sebagai non Muslim justeru memperoleh kemenangan. Khalifah Ali pernah berkata: يا شريح فأنت أقضى العرب “hai Syuraih engkau orang Arab (Islam) yang paling paham dalam mengadili”. 

Riwayat peradilan Qadhi Syuraih di atas dalam karya Abu Nua’im (w. 430 H) dan al-Baihaqi (w. 458 H) menunjukkan setidaknya tiga hal dalam konteks berbuat adil. 

Pertama, ketika Syuraih menerima sengketa baju besi antara khalifah Ali sebagai penggugat dengan non Muslim sebagai yang tergugat, memberi arti bahwa keduanya berada dalam posisi yang sama di mata hukum, tanpa memandang kedudukan Ali sebagai khalifah maupun non muslim sebagai rakyat biasa. Letak keadilan akan terealisasi jika semua orang sama di mata hukum tanpa membedakan jabatan, agama, suku, etnis dan lainnya.

Kedua, untuk dapat berbuat adil, maka tidak boleh ada keberpihakan, kecenderungan pada salah satu dari mereka yang bermasalah/bertikai. Seseorang yang mengadili suatu perkara haruslah berada di posisi tidak memihak, tidak berat sebelah. Akan tetapi selalu menjaga dirinya berada di posisi netral dalam mengadili dan menghukumi sesuatu. Inilah yang menjadi kekhawatiran Syuraih saat mendekati ajalnya. Syuraih memandang bahwa kecenderungan dan miring pada salah satu yang bertikai akan menyebabkan kita tidak bisa memposisikan mereka sejajar di mata hukum.

Ketiga, kemungkinan mendahulukan orang yang tidak berdaya. Dalam kasus baju besi di atas, baju itu berada di tangan non Muslim sebagai rakyat biasa sementara penggugatnya adalah seorang khalifah. Disini Syuraih memberikan syarat yang cukup berat bagi khalifah sebab yang berkuasa biasanya lebih mudah untuk menekan yang tidak berkuasa. Maka Syuraih menjaga hal ini agar tidak terjadi penyimpangan dan sekaligus contoh bagi siapapun yang menghadapi perkara antara penguasa dengan rakyat biasa. Padahal Syuraih tidak mengingkari kelebihan Ali, bahkan mengakui kalau baju besi itu milik khalifah (حلية الأولياء). Nampaknya Syuraih pernah melihat baju besi itu, namun karena baju itu berada di tangan tergugat maka dibutuhkan saksi yang meringangkan penggugat. 

wa Allaâhu a‘lam bi al-shawâb … 

Ilustrasi: HayDmitriy, vistacreate

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com