Berhentilah Menyatakan Ilmiah apalagi Tesis pada Tulisan e-Book Menakar

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA 

email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan kepada siapapun bahwa karya Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia Sebuah Penelitian Ilmiyah oleh Imanuddin Utsman al-Bantani (selanjutnya ditulis Imad) tidak layak disebut sebagai karya Ilmiah. Sebuah karya ilmiah itu memiliki standar misalnya telah diuji dari berbagai aspek, sumber, metode dan logika yang dipakai oleh penulis. Tentunya juga diuji oleh ahli di bidang itu. Sebenarnya saya penulis telah menunjukkan dalam e-book penulis Konektivitas 21 April 2023 diterbitkan oleh Al-Khairaat Ternate bahwa tulisan Imad itu berasal dari kutipan https://www.alshibami.net/saqifa/archive/index.php/t-44394.html awalnya tahun 2008/9 isinya sama mempertanyakan baalwi tentang Ubaidillah yang kosong disebut dalam kitab, kemudian disebut oleh al-Janadi (w. 730/2 H) dengan nama Abdullah sambil menunjukkan bahwa kitab Ubaidili (430/7 H), Thahtaqi (w. 709 H) dan Ibn ‘Inabah (w. 826/8 H) namun blogspot ini sudah tidak bisa diakses sekarang tapi pada April 2023 masih bisa diakses.

Bukan Cuma itu, e book Imad itu isinya sama persis dengan isi di blogspot  https://tanzeehalawi.blogspot.com/2017/09/blog-post_1.html sekitar 2015 lalu direproduksi ulang 2017 insya Allah masih bisa diakses sampai tulisan ini dibuat 30 Juni 2024. Di dalam tanzeehalawi ini disebut pula bahwa ‘Razi’ (razi Sunni apa Syi’ah, penulis telah buktikan bahwa itu bukan karya al-Razi Sunni 606 H, dan masih ada keterangan rinci lain yang akan penulis tambahkan jika melengkapi e book konektivitas) menyebutkan bahwa anak Ahmad ada 3. Point utamanya bahwa dua blogspot itu bukan karya ilmiah lalu isinya sama dengan e book Imad berjudul menakar. Dari sini masih bisakah kita sebut e-book Menakar itu karya ilmiah apalagi sebuah tesis? Jika kita membaca dua blogspot itu dan e book Menakar Imad yang terbit sekitar Oktober/Nopember 2022 maka dapat dipastikan sama. Paling Imad hanya menambah narasi tapi inti mempertanyakan Ubaidillah dengan berbagai sumber kitab nasab di atas dan perbedaan dengan Abdullah sudah diulas sebelum Imad, jadi bukan Imad yang ulas ini pointnya. Oleh karena itu berhentilah menyatakan karya Imad itu adalah karya ilmiah apalagi tesis.

Herannya sedemikian jelas kalau e book Imad bukan karya aslinya sendiri alias kutipan atau kasarnya copas ide dan sumber lalu Imad narasikan, ternyata orang-orang yang katanya intelektual seperti:

  1. Syafiq Hasyim (sudah penulis sebut di Konektivitas, disebut ulang untuk mempertanyakan tingkat akademisinya sebagai seorang dosen terhadap apa yang disebut karya Ilmiah).
  2. Prof. Dr. KH Said Aqil Siraj, selanjutnya disebut SAS. SAS nampak lebih condong mendukung Imad, tapi belum benar-benar tegas. Penulis punya pengalaman ilmiah tentang kuliah ilmiah umum yang SAS sampaikan di STAIN Ternate kisaran tahun 2010/2011, saat STAIN Ternate belum menjadi IAIN dengan puketnya pak Dr Yamin almarhum (karena pak Yamin inilah yang menyampaikan kepada saya bahwa SAS bertanya sekembali ke hotel tentang siapa yang komentar tadi? Saat itu penulis komentari sesuatu bersifat ilmiah di sela-sela acara itu. Poin ini penting kalau tidak diceritakan maka Imad katakan tidak ada.). Kejadian itu saat penulis belum pindah tugas ke IAIN Surakarta 2013. Materi kuliah itu juga bermiripan dengan yang SAS sampaikan saat melantik pengurus PCNU Sukoharjo 2015-2020. Inti kuliah umum itu menyebutkan kiprah 3 tokoh yaitu Imam Syafi’i (w. 204 H), Abu Hasan al-As’ari (w. 324 H) dan terakhir hadratusyeikh Hasyim al-Asy’ari (w. 1947 M). semoga SAS bisa mengingatnya dengan baik, khususnya yang di Ternate sehingga penulis tidak dibilang berbohong.
  3. Menachem Ali (selanjutnya disebut MA) yang jelas-jelas mendukung Imad namun penjelasan MA tentang kitab sezaman Sopronius w. 638 M terkait kata kata Hajar, Ismail dan Saracen dalam karya Sopronius menurutnya adalah Nabi suci Muhammad saw? Padahal contoh yang MA tampilkan itu secara tegas tidak menyebut Muhammad tapi menyebut Hajar, Ismail dan Saracen. Kalau tiga kata itu MA tafsirkan dengan hanya karena nabi Muhammad saw wafat 632 M dan Sophronius wafat 638 M adalah keliru dari 2 aspek: (1) jika pakai metode Imad, maka kata yang disebut harus jelas, misalnya Ubaidillah ya Ubaidillah bukan Abdullah. Lha ini kata Ismail, Hajar dan Sarchen (apakah benar arti Saracen itu ibunda Sarah atau lain? Sesuai penggunaannya saat itu) MA nyatakan bahwa 3 kata itu merujuk pada Muhammad. Lah, ini kan tafsir bukan ibrah yang tegas, atau lebih tepat pelintiran. Maka dengan metode aneh Imad, ungkapan MA gugur secara otomatis. Kalau MA katakan itu tafsiran, maka mengapa keberatan menerima kesinambungan belasan ulama (dari 600-850/5 H) yang Samarqandi (w. 996 H) tulis dalam Tuhfah al-Thalib dan al-Khatib (w. 850/5 H) dalam al-Jauhar mengakui nasab baalwi. Dan mereka semua itu bukan ba’alwi dan mereka tidak mengutip menyebut dari al-Sakran (818-895H). Kecuali MA telah terinfeksi Imad bahwa semua itu kolega Yaman. Terus MA bisa menerima nasab nabi itu dari mana? Sumber non Muslim kedua (selain Sopronius) yang MA tampilkan itu tidak menjelaskan detil nasab nabi suci Muhammad hanya menyebutkan bahwa ia turunan Ismail. Disini MA memelintir. Begitu juga misalnya keterangan tokoh Kristen tentang sejarah Kristen mereka, bukankah semua itu juga internal bukan eksternal?; (2) jika MA nyatakan bahwa Sopro dan nabi Muhammad sezaman itu betul tapi apakah ungkapan Sopro bahwa mereka akan memerangi turunan Ismail, Hajar dan Saracen itu konotasinya ke Nabi Muhammad saw? Disinilai letak kelemahan filologi MA terhadap sejarah Islam dengan konteksnya. Sebab bila dilihat ungkapan Sopro itu lebih tepat pada Umar (w. 23 H) sebab pada sekitar 15-16 H Umar menaklukkan Baitul Maqdis. Jadi ungkapan Sopro itu ditujukan pada pasukan Islam yang akan menaklukan Baitul Maqdis, dan Sopro sendiri akhirnya menyerah dan menyerahkan kunci Baitul maqdis pada Umar. Sopro yang wafat pada 638 H itu setara dengan 17-19 H.
  4. Ada dua kawan penulis yaitu Ishomuddin yang pernah satu kelas di makul Asar Ikhtilaf yang diampuh oleh beliau KH Dr. Masyhuri Na’im di UIN Ciputat kisaran 2002, saat itu penulis S2 dan pak Ishomuddin S3 dan mengambil makul pilihan yang sama, saat itu boleh di UIN Ciputat jika makul pilihan, bukan makul wajib. Sampai sekarang penulis tidak tahu apakah pak Ishomuddin selesai studinya atau tidak? Juga kawan sekampus yaitu pak Moh Mahbub di IAIN Surakarta (sekarang UIN Raden Mas Said), keduanya juga mendukung Imad dari kalangan kampus dan bisa dilihat dari komentar dan postingan mereka silakan dicari sendiri.
  5. Ketua Syuriah NU Sukoharjo yaitu Pak Abdulah Faisal yang nampak postingannya di grup WA PCNU mendukung Imad, terakhir postingan pak Faishal saat Imad ke Klaten (pernah disinggung oleh KH. Miftachul Akhyar Rais Am PBNU bahwa PCNU Solo Raya mengikuti Imad). Herannya Imad ke Sragen, ke Klaten dan mungkin ke daerah Solo raya lainnya, saya sebagai Wakil Katib PCNU Sukoharjo tidak pernah diajak untuk dialog. Jadi Imad seolah diberi panggung sendiri. Dimanakah konsep tabayun NU selama ini? jika hanya berpijak pada satu narasi yang mana narasi itu berasal dari blogspot?

Lima contoh di atas, tanpa mengurangi keilmuan mereka di bidang mereka masing-masing, tapi penulis bisa menyatakan bahwa literasi mereka tentang teori, metode dan pola Ilmu Rijal cukup rendah alias mereka bukan orang yang menekuni ini. Ilmu Rijal setidaknya mencakup lima hal pokok: al-asma dan bagian-bagiannya (termasuk al-kuna dan al-alqab), al-Thabaqat, al-Ansab, al-Buldan¸ dan al-jarh wa al-Ta’dil. Ini bukan berarti penulis alim di bidang ini, namun setidaknya penulis menekuni bidang ini. Setiap makul Ilmu Rijal hadis, pasti ada satu item yang penulis sisakan materi tentang al-Ansab dan al-Buldan para ulama hadis. Jika seandainya para tokoh intelektual di atas (kecuali MA, penulis tidak tahu afiliasi organisasinya kemana) bisa bertabayun, bukan hanya dari Imad, maka akan lebih jelas. Meskipun setelah itu mereka juga menolak, no problem, asal ditabyunkan dahulu ke siapa saja yang mendalami ilmu rijal hadis sesuai dengan teori, metode, pola ahli rijal, nasab dan sejahrawan.

Sebelum menutup penulis perlu mengungkap bahwa dalam e-book konektivitas, penulis pernah menyatakan bahwa Zarbathi tidak menyebut Ubadilillah dalam al-Jaridahnya, seolah dia tidak tegas (Konektivitas, h. 12). Namun belakangan dalam kitabnya al-Wajiz dia menyebutkan secara tegas ba‘alwi turunan dari Imam ja’far al-Shadiq (80-148 H). Jadi tinggal Murad Syukri ulama Wahabi yang tidak akui ba‘alwi.

 Terakhir, penulis perlu menyebutkan bahwa e-book konektivitas, hanya ditanggapi oleh Imad 3,5 halaman di e-book kedua Terputusnya 30 Mei 2023, langsung penulis tanggapi balik pada 31 Mei 2023 juga sekitar 3 halaman dengan judul Tanggapan dari Tanggapan. Setelah itu Imad tak pernah menjawab tulisan penulis secara detail dan ilmiah, yaitu Terdeteksi al-Sakran, Narasi al-Janadi 1-3, dan Inkonsistensi 1-7, apalagi sebagian tulisan Imad itu nampak banyak dan sengaja diframing seperti sudah penulis jelaskan berkali-kali. Pernah kawan penulis di Tangerang saudara Andi Rosa, sebelum pilpres meminta agar penulis berdialog dengan Imad tentang isi karya Imad, tapi penulis melihat time-nya belum pas karena sangat politis (apalagi kemungkinan besar Imad dengan penulis memiliki kesamaan paslon capres dan cawapres saat itu). Sekarang setelah pilpres, mungkin tepat waktu kalau mau dialog meski masih kelihatan politis karena Imad selalu meminta harus RA. Padahal telah mengarah pada qadzaf dan rasis terhadap semua nasab baalwi di Indonesia khususnya, dan Yaman, Mesir serta wilayah Afrika  lainnya, Hijaz, sebagian kecil di Yordania, Suriah, Irak dan Iran pada umumnya. Penulis meski bukan RA tapi ba’alwi jadi berhak untuk menjawab. Hal ini penulis telah sampaikan di Asosisi ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) untuk memfasilitasi dialog tersebut, hanya penulis dengan Imad sebab dia menulis e book dan penulis juga menulis e book, jadi jelas. Hanya saja penulis meminta pakai zoom sebab dari beberapa narasi Imad di youtube sudah mengandung rasis, kalau tidak rasis maka dialog ketemu itu jauh lebih baik. Namun sudah rasis jadi zoom saja.

Kalau dialog terjadi penulis minta Imad saja sebab Imad yang menulis dan dia tokoh sentralnya. Ada riwayat, seperti ini صاحب ‌الشيء ‌أحق بحمله maksudnya pemilik sesuatu (barang, tulisan atau apa pun itu) lebih berhak membawanya, bertanggung jawab atas kepemilikannya.

Ilustrasi dari muslimheritage

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com