Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia. jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Islam lahir sebagai agama di abad 7 masehi bukan di ruang hampa ilmu, budaya, sosial, politik, ekonomi dan lainnya. Berbagai aspek tersebut ikut memberi warna ajaran Islam setelah memperoleh pengakuan dan ketetapan Nabi suci Muhammad saw. yang dituntun wahyu (QS al-Najm; 3-4). Haji misalnya, sebelum Islam ritual ini telah ada dan menjadi bagian dari ibadah masyarakat di jazirah Arab di musim haji (Jawad Ali w. 1407/1987 M, cet I, 1955), demikian pula dengan hukum rajam seperti laporan al-Bukhari (w. 256 H, 1994) kalau hukum ini telah ada dalam Taurat. Berpijak dari sini, dari aspek historis dapat dinyatakan bangunan ilmu dalam Islam mengalami proses sejak munculnya sampai menjadi ilmu tersendiri; memiliki teori dan dibukukan.
Berdasarkan latar belakang abad 7 masehi, ilmu yang muncul dalam Islam dapat dikategorikan menjadi: pertama, ilmu yang lahir dari Islam lantaran adanya al-Qur’an dan sunnah Nabi suci saw seperti ‘ulum al-Qur’an, ‘ulum al-hadis, usul fiqh yang melahirkan di antaranya teori asbab al-nuzul, hadis shahih, ‘am dan khas dan sebagainya; kedua, ilmu yang telah ada sebelum Islam dan menjadi media bagi ilmu-ilmu Islam seperti ilmu tentang isnad, ansab dan ‘irab; ketiga, ilmu yang telah ada sebelum Islam dan dikembangan oleh ilmuan Muslim seperti filsafat, kedokteran dan lainnya.
Bila dilihat dari aspek penyampaian ilmu, maka bagian pertama dan kedua di atas awalnya dipelajari melalui penyampaian lisan (oral) sementara yang ketiga dipelajari melalui kitab yang sudah ada di masa Nabi suci sampai masa bani Umayyah atau yang diterjemahkan seperti yang terjadi di masa khalifah al-Rasyid (w. 193 H) dan al-Ma’mun (w. 218 H) di bait al-Hikmah (al-Marwazi w. 251 H).
Ilmu di kategori pertama lahir dan berkembang lantaran adanya Islam yang ajarannya terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Hadis dalam konteks saat itu belum dibukukan namun disampaikan secara lisan meski beberapa sahabat dan tabi‘in memiliki catatan pribadi (‘Ajjaj al-Khatib w. 2021 M, 1988). Dakwah Nabi suci saw, pertanyaan, dan dialog dengannya menjadi embrio lahirnya tafsir dan ilmunya begitu pula dengan hadis dan fiqh. Akan tetapi di masa tersebut sampai abad kedua hijriyyah ilmu-ilmu di kategori ini belum dibukukan secara teoritis meski dalam prakteknya telah digunakan oleh generasi sahabat sampai penghujung abad ke 2 H dan awal abad 3 H. Tafsiran dan penjelasan Ali (w. 40 H), Ibn Mas‘ud (w. 32 H), Ibn Abbas (w. 68 H) dan sahabat lainnya serta kritikan ‘Aisyah (w. 57 H) terhadap ‘Umar (w. 23 H), Abu Hurairah (w. 59 H) dan sahabat lainnya merupakan cikal bakal munculnya teori ‘ulum al-Qur’an dan ‘ulum al-hadis. Demikian pula keputusan Nabi suci saw maupun sahabat, khususnya khulafa al-rasyidin (11-41 H) menjadi bagian dalam ilmu fiqh dan usulnya.
Akan tetapi dari periode tabi’in sampai atba‘ al-tabi‘in (150-220 H) ilmu yang ditulis secara umum adalah realisasi langsung ilmu itu tanpa menyebut atau memuat teorinya seperti karya yang dinilai milik al-Qatadah (w. 118 H) yaitu Nasikh wa Mansukh dalam ‘ulum al-Qur’an, al-Muwatta imam Malik (w. 179 H) dalam hadis. Walaupun di periode atba‘ tabi‘in muncul karya al-Syafi’i (w. 204 H) berjudul al-Risalah yang berisi teori-teori terkait usul fiqh dan ‘ulum al-hadis, namun hal ini adalah sesuatu yang jarang jika dilihat pada periode tersebut di kategori ini yaitu ilmu yang lahir dari Islam.
Pada kategori kedua, ilmu yang menjadi media bagi ilmu-ilmu Islam berkembang seiring dengan perkembangan ilmu bagian pertama. Penyebabnya selain telah terintegrasi dengan ilmu kategori pertama, ilmu isnad, ansab dan ‘irab pada prosesnya juga disampaikan secara oral. Sebelum Islam, isnad digunakan saat menceriterakan kisah-kisah orang-orang Arab dan peperangan antara kabilah mereka serta kebanggaannya. Ansab menjadi bagian kunci dari kebiasaan masyarakat Arab saat itu yang menisbahkan diri mereka pada nenek moyangnya, sementara ilmu ‘irab digunakan dalam konteks syair-syair jahiliyyah. Ketiga ilmu tersebut menjadi media dan terintegrasi dengan ilmu Islam.
Dalam Islam, ilmu isnad dipakai dalam konteks penyampaian hadis dari perawi satu ke perawi lainnya, bahkan dalam proses penukilan tafsir Nabi suci saw, sahabat dan tabi‘in. Demikian pula dalam mengisahkan sejarah Nabi suci saw seperti karya Ibn Ishak (w. 150/1 H) dan Ibn hisyam (w. 213/8 H), pola isnad digunakan meski ada perbedaan dalam ketat tidaknya dibanding dengan isnad dalam hadis. Ansab (nasab) dalam Islam dialihkan pada penisbahan perawi dari dua aspek yaitu geneologi sukunya maupun daerahnya. Tujuannya untuk melacak penyebaran hadis dari satu tempat ke tempat lain yang melibatkan sekian perawi yang berdomisili di wilayah tertentu -juga memiliki geneologi suku tertentu- maupun perawi yang berpindah-pindah lantaran rihlah fi thalab al-hadis. Sementara ‘irab berkembang dalam kajian teks-teks al-Qur’an dan hadis yang sebelum Islam difungsikan untuk syair-syair jahiliyyah.