“Muka Tiga”

 

 

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia. jafar.assagaf@uin-suka.ac.id

 

 

Ungkapan ‘muka tiga’ yaitu bermuka tiga bukanlah sebutan yang populer dibandingkan dengan ungkapan muka dua. Bila kata muka dua disemayatkan pada seseorang (baca bermuka dua), itu berarti orang tersebut identik dengan pribadi yang tidak jujur, tidak satu pendirian; bercabang pendiriannya (KBBI online). Dalam term Islam, orang yang bermuka dua disebut munafiq yaitu siapapun yang menyembunyikan kekufuran dalam aqidah namun menampakkan keimanan dalam perkataan (al-Jurjani w. 816 H), ini dalam konteks iman, namun dapat terjadi dalam pergaulan sehari-hari seperti yang dipahami dalam hadis riwayat imam Malik (w. 179 H) dan lainnya.

Bila muka dua selalu berkonotasi negatif, maka ‘bermuka tiga’ belum dapat dipastikan, apakah berkonotasi positif atau negatif, agaknya dilihat terlebih dahulu konteks orang yang ‘bermuka tiga’ tersebut. Bermuka tiga dapat diartikan seseorang memiliki pendirian, ideologi, rencana, taktik yang berbeda dengan dua orang/kelompok. Orang tersebut ‘bermain’ di antara dua orang/kelompok, namun dia tidak sedang mengikuti salah satu darinya. Jika bermuka dua; munafiq bermain di dua sisi yang berbeda untuk mengamankan dirinya, kepentingannya dan nampak bersahabat dengan kedua orang/kelompok agar dia aman, maka orang yang ‘bermuka tiga’ tidaklah demikian, sebab dia memiliki prinsip tersendiri yang telah direncanakan bahkan cenderung melawan dua orang/kelompok yang berbeda dengannya.

Dalam sejarah mungkin dapat diambil beberapa persitiwa yang menunjukkan orang maupun kelompok yang bermuka tiga. Pertama, perang Khandaq antara kaum muslim dengan kafir Quraisy beserta sekutunya pada 5 H. Nu‘aim bin Mas‘ud (w. ± 36 H) saat itu baru masuk Islam, dia memiliki kedekatan dengan kafir Quraisy maupun bani Quraizah. Padahal antara kaum muslim dengan bani Quraizah memiliki perjanjian damai, namun saat itu agaknya mereka akan menghianati kaum muslim sebab mereka pun memiliki hubungan baik dengan kafir Quraisy. Atas petunjuk Nabi suci Muhammad saw, Nu‘aim yang memiliki hubungan dengan dua kelompok tersebut,  berusaha mengkonfrontasikan kedua musuh dimaksud sementara mereka tidak mengetahui kalau Nu‘aim sudah berbeda ideologi (Ibn Hisyam w. 218 H, 2004);

Kedua, Raden Wijaya (w. 1309 M) raja pertama Majapahit yang mengelabui Jayakatwang (w. 1293 M) raja kerajaan Kediri yang telah meruntuhkan kerajaan Singosari dengan membunuh Kartanegara (w. 1292 M). Ketika tentara Kubilai Khan (w. 1294 H) balik lagi ke Jawa, raden Wijaya juga mengelabui mereka sehingga Jayakatwang mampu dikalahkan. Setelah itu, raden Wijaya pun menyerang tentara Kubilai Khan dan mengusir mereka (Wardaya, 2009);

Ketiga, bani ‘Abbasiyyah melalui Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas (w. 125 H) dan kaki tangannya sejak 100 H melakukan intrik menjatuhkan pemerintahan bani Umayyah (Ibn al-Atsir w. 630 H, 1979). Salah satu caranya membuat propaganda di masyarakat yang sudah lama tidak menyukai bani Umayyah. Dengan dalih kekhalifaan nanti akan diserahkan kepada keluarga Rasul suci saw. Tentu hal ini akan didukung oleh masyarakat. Namun apa lacur, persepsi masyarakat tentang keluarga Nabi suci yaitu Ali dan keturunannya berbeda dengan framing bani Abbasiyyah bahwa yang dimaksud keluarga Nabi adalah bani Abbasiyyah sendiri.

Peristiwa Nu‘aim dan raden Wijaya memiliki titik temu dalam hal menyelamatkan prinsip, ideologi dan keyakinan sembari membenturkan dua kekuatan yang berbahaya, dan hal itu bukan mereka berdua yang memulai permusuhan, namun dari kedua musuh mereka masing-masing. Dalam konteks perang hal ini dinilai sesuatu yang wajar; boleh, dalam hadis disebut الحرب خدعة (perang adalah siasat) maka ‘muka tiga’ dalam konteks ini mungkin dapat disebut adu domba ‘positif’. Agak berbeda dengan peristiwa bani Abbasiyyah yang dapat dikategorikan sebagai ‘muka tiga’/adu domba negatif, sebab merekaberusaha meruntuhkan pemerintahan bani Umayyah yang sudah ada dengan membenturkan dengan masyarakat melalui cara framing demi kepentingan bani Abbasiyyah secara khusus bukan untuk kepentingan umum. Pada faktanya setelah bani Abbasiyyah berkuasa, tidak lebih baik dari bani Umayyah terhadap masyarakat bukan dalam aspek ekspansi dan ilmu, alias 11-12 kurang lebih sama. Ini jika perbuatan Nu‘aim dan raden Wijaya dinilai sebagai pengorbanan untuk menyelamatkan kepentingan umum, yang berbeda dengan bani ‘Abbasiyyah untuk kepentingan kelompoknya.

Dalam konteks kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai 79 tahun, adu domba negatif pasti merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, sementara adu domba ‘positif’ mungkin dapat dan cukup membantu kelangsungan kejayaan Indonesia, salah satunya dengan tetap memelihara ideologi Pancasila dan menolak serta berusaha secara rahasia maupun terang-terangan membenturkan ideologi selainnya, pemahaman, dan rencana-rencana kelompok yang tidak menyukai kelangsungan bangsa Indonesia untuk hidup rukun, aman, dan bahagia berdasar Pancasila dan UUD 1945.    

wa Allaâhu a‘lâm bi al-shawâb …

ilustrasi: The Man With Three Faces By thunderflight

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com