Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia.
C. Guru yang Mempengaruhi Cara Berpikir Penulis Guru pada bagian ini adalah mereka berkontribusi lebih dalam pada cara berpikir, baik itu dalam bentuk ide, metode, pencerahan maupun teladan yang membekas dalam diri penulis. Guru-guru di bagian ini adalah- Ibunda Alwiyah Albaar (1932/3-1998 M) dengan latar belakang pendidikan sangat minim memberikan teladan kejujuran, kasih sayang, disiplin, ketaatan, kesetiaan, keteguhan dan perjuangan. Beliau tidak bisa/kurang bisa membaca aksara Indonesia. Namun bisa membaca huruf melayu pegon (tulisan Arab dibaca Indonesia). Sering membaca al-Qur’an dan shalat tahajjud. Penulis pernah disuruh belanja di toko Sejahtera Ternate, pemilik toko mengembalikan uang lebih. Sampai di rumah penulis disuruh balik untuk mengembalikan uang itu. Pesan ibunda, yang bukan milik kita dikembalikan meski mereka tidak seagama dengan kita. Selain suka silaturahmi, ibunda memiliki keunikan menghafal detail pertalian keluarga yang ada di tempat penulis; Falajawa. Beliau menjelaskan silsilah dari pihak keluarga ayahnya (peranakan Arab) maupun ibunya (peranakan Cina). Ibunda menguatkan penulis untuk belajar agama berulang kali, mengantar langsung penulis ke kota Palu dan Lawang-Malang.
- Ayahanda Syech Assagaf (lahir 1931 dan ini aslinya kata beliau namun tertulis di KTP 1934-wafat 1990), memberikan teladan yang sama tentang kejujuran, disiplin, ketaatan dan tanggung jawab. Saat kelas III SD, tersobek buku cetak teman sekelas akibat keteledoran penulis, ayahanda lalu memberikan uang (300 rupiah saat itu) untuk menggantinya dengan penjelasan seharusnya penulis yang menggantinya. Namun penulis belum bekerja, uang tersebut nanti diganti dengan mengurangi uang jajan penulis. Meski berlatar belakang pendidikan umum, namun antusiasnya pada agama sangat dalam, ayahanda bisa menghafal lebih dari 7 Juz al-Qur’an, membeli kamus bahasa Arab dan belajar kepada beberapa ustad/ulama.
- Ustad Muhammad Ba‘bud (w. 1993 M) guru empat generasi. Saat penulis hendak mondok di Lawang, Ust Muhdar BSA (w. 1992); salah satu ulama di Ternate ahli faraidh, datang ke rumah dan memberitahu Ust Muhammad adalah gurunya dan tingkatnya ulama/wali. Bapak Zein Abbas (w. ± 1997) juga ke rumah berpesan kesempatan belajar ke Ust Muhammad sangat beruntung, ambillah mutiara yang ada padanya. Ust Muhammad membantu mengajar pada usia 14-15 tahun lalu diangkat menjadi guru di al-Khairiyyah Surabaya di usia remaja 16-17 tahun. Ustad Umar bin Ahmad Baraja pengarang Akhlaq li al-Banin (juz II ada pengantar Ust Muhammad), dan ust Husein al-Habsyi Bangil termasuk muridnya. Mengajar menjadi kehidupannya. Tahun 1940 ust Muhammad berumur ± 33-34 tahun pindah ke Lawang dan mendirikan pesantren Dar al-Nasyiin. Saat beliau mengajar untuk murid al-kibar (senior) menggunakan bahasa Arab di ruang tamu/belajarnya. Sangat terkesan saat menjelaskan arah kiblat dan perbedaan mazhab; bagaimana Indonesia menghadap ke arah jazirah, yang di jazirah ke Mekkah, yang di Mekkah ke masjid al-Haram, yang di masjid tersebut ke Ka’bah dengan terinci, serta beberapa pengajaran lainya yang berkualitas. Saat melihat, mendengar penjelasan itu terbetik di hati penulis inilah ulama yang alim dengan pola penjelasannya.
Ust Muhammad Sunni tradisionalis, idealis, namun sangat sederhana. Sampai wafat beliau belum berhaji, mungkin uang spp anak yang mondok untuk biaya mereka dan pembangunan pondok, tidak untuk yang lain. Penulis mengerti sanad ilmu melalui ilbasnya kepada penulis bersama beberapa teman. Kopiah dipakaikan ke kepala kami lalu dibacakan bahwa beliau mengilbas sebagai transfer ilmu dari guru beliau sampai ke Nabi suci saw. Tiga guru beliau disandarkan saat ilbas yaitu Habib Muhammad al-Muhdar Bondowoso (pimpinan al-Khairiyyah), Habib Ali Kwitang (ulama fiqh) dan ust Abdul Qadir Bilfaqih Malang (ulama hadis). Meski tradisionalis beliau tetap kritis, saat membaca hadis Mu’awiyah (w. 60 H) dilewati walaupun beliau juga sangat tajam mengkritik Syi‘ah. Beliau memiliki karya tulisan tangan (sebagian sudah dicetak pdf kalangan terbatas). Setelah wafat, penulis ke kamarnya diajak oleh salah satu sibthnya Quraish al-Idrus. Di situ penulis melihat buku hijau dahulu berukuran besar (3 atau 4, tidak ingat persis). Isinya tulisan tentang keislaman: ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh, nasab, sejarah Islam dan lainnya dengan berbahasa Arab. Saat ujian masuk S2, penguji lisan Prof Aqil al-Munawwar bertanya pada penulis pernah mondok di mana saja, saat disebut Dar al-Nasyi’in, Prof Aqil berkomentar ust Muhammad alim. Ust Muhammad wafat di usia 87 tahun.
- Prof Dr. Said Aqil al-Munawwar. Doktor alumni Ummul al-Qura Mekkah, direktur pascasarjana UIN Jakarta (1999-2003), Menag (2001-2004). Melaluinya pola pemikiran penulis tertata tentang kronologi ulama hadis dan tahun wafatnya, pemetaan kitab hadis, rijal, ulum al-hadis, dan syarh, model dan metode ahli hadis dalam rentetan sejarah, penjelasan hadis perspektif ushul al-fiqh. Beliau pernah mengizahkan kami di kelas hadis riwayat al-Thabarani (w. 360 H) mengenai tahapan umur manusia dan anugerah Allah pada mereka. Prof Aqil juga membaca disertasi penulis meski saat itu bukan pembimbing, dengan memberikan arahan dan referensi tambahan. Selain di kelas, penulis juga bertanya kepadanya seputar hadis dan ilmunya baik di kantor maupun pernah ke rumahnya di Ciputat (sebelum sekarang di Bintaro).
- Dr. Sahabuddin, doktor alumni al-Azhar Cairo. Memberikan pemetaan dalam pemikiran penulis tentang pemahaman topik dan ma‘ani al-hadis dari kitab syarh maupun kitab fiqh. Menariknya beliau memiliki kedalaman dari aspek fiqh al-Syafi’iyyah, dan tak bosan untuk melayani pertanyaan penulis terus-menerus yang menjadikan diskusi hangat. Penulis juga sering bertanya pada beliau di luar kelas terkait hadis, terutama di saat bimbingan disertasi. Selesai S3, penulis kerap kali menghubungi beliau melalui sms (sebelum ada wa) sampai tahun 2013-2014 untuk bertanya seputar hadis dan fiqh. Sekarang penulis kehilangan kontak dengan beliau.
- Dr. KH Ahmad Lutfi Fathullah (1964-2021 M), doktor alumni universitas Kebangsaan Malaysia dan S2 Jordan University. Memetakan dengan jelas pembagian besar kajian hadis. Pola mengelompokkan thabaqah al-ruwat menjadikan penulis terlatih mengaitkan jaringan ulama hadis di masanya. Pokok ilmu hadis dalam kitab Ibn Shalah (w. 643 H) terus ditekankan untuk dikuasai oleh muridnya. ‘ilal hadis merupakan bagian istimewa pembelajaran penulis dengan menelusuri riwayat al-Zuhri kepada murid-muridnya tentang shalat witir. Beliau kerap menceritakan pengalamannya di Suriah bersama ulama hadis, saat penulis ke rumahnya bimbingan tesis di kawasan kuningan (masjid Baitul Mughni). Terakhir sebelum beliau wafat, penulis sempat menjadi narasumber bersama di UII secara online di masa covid-19.
- O. Hashem/ami Umar Assagaf (w. 2009 M), dokter yang menekuni sejarah Islam, dan menguasai lebih dari 1 bahasa asing (Inggris, Belanda, terakhir belajar bahasa Arab menerjemahkan Nahjul Balaghah sampai khutbah ke 85. Kalau Puncak Kefasihan Nahjul Balaghah terjemahan lengkap oleh kakaknya M. Hashem). Tahun 1989, O. Hashem mengirim ayahanda buku terjemahan berjudul sebuah kajian tentang sejarah dan hadis karya Murtadha al-Askari (w. 2007). Ayahanda sebagai Sunni berkata kalau buku itu syi’ah tapi kamu (penulis) bisa membacanya. Ami Umar memang beberapa kali mengirim buku ke ayahanda baik buku karyanya atau lainnya yang di publish oleh YAPI Bandar Lampung. YAPI; Yayasan Penyiaran Islam ami Umar dirikan bersama Hadi A. Hadi, Suherman (Muhammadiyah), Nabhan (al-Irsyad) dan Ust Husein al-Habsyi tahun 1961, agaknya ini yang menginspirasi ust Husein menamakan pondoknya dengan YAPI berdiri 1976. Ami Umar waktu ke Ternate 1997, memberikan ketajaman kritis tentang sejarah Islam, meski penulis yang berlatar Sunni tradisionalis tidak menerima begitu saja namun diskusi di malam-malam itu -sebagian bersama sepupu penulis Muhammad Albaar- mempengaruhi penulis dalam konteks memahami berbagai perspektif sejarah Islam. Berlanjut di Jati Bening Bekasi (rentang 2000-2002) penulis ketemu ami Umar lebih dari sekali juga berdiskusi. Kata beliau orang bisa berbeda, terpenting memiliki hujjah, dan saling menghargai, insight yang sangat berharga.
Ami Umar dokter muda di Airlangga -kalau tidak keliru sekelas Tarmidzi Taher; Menag1993-1998- dan dokter lengkapnya di Unpad Bandung. Dokter idealis, syi‘ah, namun sederhana. Sampai pensiun beliau belum memiliki rumah. Di Jati Bening rumah yang sederhana tersebut infonya diberikan seseorang kepadanya. M Natsir (w. 1993) dan HM Rasyidi mengaguminya. Ami Umar menulis beberapa karya di antaranya: Keesaan Tuhan, Marxisme dan Agama, dan paling dikenal karena Saqifah Awal Perselisihan Umat. Seminar 21 September 1997 di Istiqlal, besoknya langsung dijawab Ami Umar dengan judul syi’ah ditolak syi’ah dicari, penulis juga dikirimi buku tersebut. Saat di Ternate, beliau meminta untuk mempertemukan dengan ulama, kata penulis ada paman (khal) penulis tapi Muhammadiyah, kata beliau tidak masalah (sayang, tidak sempat ketemu). Ini mengajarkan sesama tokoh agama, cendekiawan, ulama perlu silaturahmi meskipun nanti berbeda tidak masalah dan mungkin juga menyamakan persepsi tentang umat Islam dan masyarakat di masa depan.
- Ustad Ali Albaar Lc (w. 2016 M) kakak ibunda (khal) penulis. Tokoh Muhammadiyah, ketua majelis Tarjih dan ketua MUI Maluku Utara mungkin sekitar 1980-1990. Beliau belajar langsung pada A Hasan (w. 1958) pendiri Persis saat mondok di Bangil (kisaran 1951-1955) lalu ke al-Azhar Mesir. Desember 2013 penulis menjembatani pertemuannya dengan Prof Quraish saat berada di Ternate. Kampus STAIN Ternate menyebut Ust Ali sebagai kamus berjalan. Beliau Sunni modernis, idealis, dan sederhana, pernah memulangkan sepeda kumbang/ontel ke DPRD Ternate saat mewakili ulama/tokoh agama di dewan sekitar tahun 1970-an. Banyak ceritanya hal-hal tersebut di kampus STAIN Ternate. Di luar kampus, penulis selain lanjut membaca al-Manhal al-Lathif (1997-awal 1998), kerap kali bertanya dan diskusi dengannya meski berbeda episteme. Beliau sering katakan mau mengikuti Nabi suci saw atau ulama? Pertanyaan yang cukup berat dijawab sebab butuh diskusi dan referensi untuk menjawabnya. Ramadhan 2016 sebelum wafat, beliau memberikan hadiah kitab pada penulis, di antaranya karya al-Baqilani (w. 403 H), Syaltut (w. 1963 M), Sayid Sabiq (w. 2000) dan lainnya. Pola pikirnya kembali ke sumber hadis asli mempengaruhi penulis agar menelusuri tidak hanya hadis tapi perkataan yang dinisbahkan ke ulama siapa saja.
- Ustad Saqqaf al-Jufrie, MA (w. 2021) alumni al-Azhar. Saat penulis kuliah di Ciputat, bertemu dengannya lebih dari sekali termasuk di rumah Prof Huzaemah, kesempatan ini penulis bertanya, diskusi dengannya. Pertemuan di rapat MUI di Jakarta pada tahun 2009 dan 2010, penulis sebagai anggota komisi Fatwa 2008-2010 perwakilan Maluku Utara, lalu menjadi ketua Komisi Fatwa MUI provinsi Maluku Utara (2010-2015) (penulis masuk menjadi pengurus MUI diajak oleh ketua MUI Maluku Utara bapak Yusuf Abd Rahman w. 2011 M, juga rektor Unkhair Ternate 1983-1998). Dua hal dari Ustad Saqqaf yang menguatkan pemikiran penulis; pertama, acara MUI 2010 beliau mengulangi insight tentang koordinasi pemuka agama dan kerukunan untuk bangsa Indonesia; kedua, perbedaan mazhab bukan menjadi halangan dan tidak boleh saling menyalahkan apalagi mengkafirkan. Terakhir ketemu dengan beliau tahun 2018 di rumahnya kebetulan hadir pula pak Dr. Haidar Baqir dan saudaranya Dr. Zainal Abidin Baqir, bertepatan saat penulis menghadiri AICIS di Palu.
- Dr. Fuad Jabali, S3 lulusan McGiil University. Dosen menginspirasi kritis terhadap sejarah Islam klasik. Proses pembacaan referensi outsider berbahasa Inggris menguras tenaga dan waktu penulis. Saat itu teman kami yang dinilai paling bisa bahasa Inggris di kelas Dadang Darmawan (satu angkatan S3 dan dosen UIN Bandung) kerap kali membantu kami sekelas menerjemahkan sumber-sumber itu. Sikap terbuka pak Fuad saat dialog di kelas, sambil menjelaskan dan bertanya sambil kritik menjadikan penulis melakukan hal yang sama kepada mahasiswa. Bagi penulis pak Fuad adalah guru besar dari aspek keilmuannyak. Agustus 2023, saat penulis mengantar Prof Kamaruddin Hidayat ke Bandara Adi Sucipto setelah acara 70 Tahun Prof Amin Abdullah, mengatakan hal yang mirip tentang keilmuan pak Fuad Jabali.
- Prof Dr. Muh. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia lulusan al-Azhar Mesir. Saat penulis di akhir S2 (2002) beliau kembali ke Indonesia setelah tugas sebagai dubes. Penulis mulai mengikuti kuliahnya sebagai mustami, dan diizinkan berbicara. Saat tes lisan masuk S3 beliau pengujinya, meminta penulis membaca ulum al-hadis karya Ajjaj al-Khatib (w. 2021) lalu beliau bertanya. Dari 5 pertanyaan, penulis menjawab semua kecuali pertanyaan pertama (mungkin karena nervous). Sebelum berakhir penulis teringat dan ingin menjawab pertanyaan pertama, kata beliau tidak usah, insya Allah lulus. Dari sini penulis bertambah paham tentang kata dan makna insya Allah menurut ahli tafsir tersebut. Insight beliau banyak penulis dapat dari karyanya membumikan al-Qur’an sampai karyanya sekarang masih sering mengoleksinya. Cara beliau menyelesaikan suatu pertanyaan terkait al-Qur’an dan menganalisisnya adalah hal yang berharga bagi penulis.
- Prof Badri Yatim (w. 2009 M) bagi penulis selain dosen juga tempat bertukar pikiran tentang sejarah Islam, termasuk awal disertasi pemetaan ahl al-kitab dan lainnya terkait sejarah agama di jazirah Arab. Kepiawaiannya mengronologis sejarah Islam klasik sampai modern mendasari penulis secara kuat tentang ini. Saat mencari beasiswa, penulis memintanya untuk memberikan rekomendasi, beliau menandatangani sambil berkata boleh mengisi rekomendasi itu sesuka (positif) penulis. Tahapan-tahapan dinasti Abasiyyah sangat kuat melekat di hati penulis lantaran beliau meminta kami mendalaminya. Pernah ketemu di klinik UIN Ciputat saat beliau berobat dan kami ngobrol tentang sejarah Islam sampai dokter memanggil giliran beliau. Terakhir saat penulis wisuda S3 2008, secara kebetulan beliau bersama Pak Fuad Jabali, Pak Abd Chair lalu berfoto bersama. Semoga fotonya masih ada di kamar belajar penulis di Ternate
- Ust Ali Ba’bud (w. 2007) banyak menguatkan penulis dari aspek moril. Saat kuliah di Jakarta, 1 atau 2 bulan sekali penulis meneleponnya meminta doanya juga bertanya seputar keagamaan. Nasehat-nasehatnya via telepon tetap berbekas di hati penulis. Terakhir penulis ketemu dengan beliau di Lawang pada tahun 2004 dan 2005.
- Ust Qaimuddin pesantren Dalwa Bangil, beliau kalau tidak keliru pernah mondok di Sidogiri dan beberapa pondok lainnya di Jawa Timur. Cara beliau menjelaskan Fath al-Mu’in di sore hari waktu tertentu dengan metode bandongan sangat membekas tentang pola ahli fiqh. Uniknya kadang hukum suatu masalah dalam kitab tersebut dipaparkan dari aspek usul fiqh dan kaidahnya, sembari terkadang juga diselingi humor. Ust Qaimuddin juga mengajar ushul fiqh di kelas penulis pagi hari menggunakan karya Abd Hamid Hakim dan Sayyid al-Maliki.
- Ust Saqqaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar (w. 2010) Parung Bogor. Selain pernah mengajak penulis tinggal dalam pondok, beliau mencerahkan penulis tentang funun al-‘ilm (ragam disiplin ilmu) mengapa harus ada? dan bagaimana para ahlinya? Penulis pernah diajak berkeliling sebagian pondok Nurul Iman al-Ashriyyah sambal beliau jelaskan fungsi bangunan dan lainnya, secara tidak langsung dijelaskan pola mengelola pondok. Penulis diminta mengajar ulum al-hadis disini setelah Ust Saqqaf mengajukan beberapa pertanyaan seputar ilmu tersebut.