Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Sekitar 7 hari lagi bulan suci Ramadhan 1446 H akan menghampiri umat Islam di seluruh dunia. Di bulan yang penuh berkah itu di dalamnya terdapat aneka keutamaan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa dengan penuh perhitungan yang didasari keimanan yang sungguh-sungguh. Salah satu keistimewaan bulan ini terhadap mereka yang berpuasa yaitu akan memperoleh ganjaran surga yang prerogatif, di mana hak tersebut tidak akan menimpa siapapun yang tidak berpuasa; tanpa alasan yang benar menurut hukum Islam.
Al-Rayyan adalah pintu surga yang hanya dianugerahkan pada orang-orang yang berpuasa. Di hari kiamat nanti ketika manusia sibuk, bingung dan tidak tahu akan nasibnya, pintu al-Rayyan akan ‘memberikan’ hal yang mengembirakan kepada orang-orang yang berpuasa. Al-Rayyan akan memangil-manggil agar orang yang berpuasa memasuki pintunya. Dalam hadis Bukhari dari sahabat Sahal bin Sa’ad al-Anshari al-Khazraji (w. 88/91 H) bahwa Nabi suci Muhammad saw bersabda:
إن في الجنة بابا يقال له الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة، لا يدخل منه أحد غيرهم، يقال: أين الصائمون، فيقومون لا يدخل منه أحد غيرهم، فإذا دخلوا أغلق، فلم يدخل منه أحد
Artinya: “sungguh di surga (terdapat) pintu dikatakan (disebut) padanya sebagai al-Rayyan, akan masuk darinya orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak akan masuk darinya (pintu al-Rayyan) seorang pun selain mereka (yang berpuasa). Dikatakan: dimana orang-orang yang berpuasa? Maka berdirilah (maju) mereka (yang berpuasa), tidak masuk darinya (pintu al-Rayyan) seorang pun selain mereka. Maka apabila mereka (yang berpuasa) telah masuk ditutuplah (pintu al-Rayyan), maka (setelah ditutup) tidak akan masuk darinya seorang pun.”
Kata الريان berasal dari الري /ريا bukan ران, kata الري berarti segar, puas minum (Ibn Manzhur) penamaan al-Rayyan sendiri telah memberikan hal yang menggembirakan orang yang berpuasa di hari kiamat, sebab melalui kata الريان seolah telah memberikan kepuasan menghilangkan dahaga terhadap mereka yang hari itu dalam kondisi tidak menentu. Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan penamaan الريان karena haus itu lebih sulit bagi orang yang berpuasa ketimbang lapar (Fath al-Bari). Kata الريان pada dasarnya telah mendorong secara psikologi orang yang berpuasa baik di dunia terlebih di akhirat bahwa dia tidak akan mengalami dahaga, hilangnya dahaga sebagai bagian kecil ilustrasi dari kebahagiaan abadi bagi mereka yang berpuasa.
Apakah ‘panggilan’ dan ajakan al-Rayyan kepada mereka yang berpuasa saja? Jawabannya iya, lalu apakah yang diajak adalah semua yang berpuasa secara fisik atau berkategori puasa yang sesungguhnya? Secara riwayat maupun logika ‘panggilan’ al-Rayyan kepada mereka yang berpuasa tidak sekedar menahan haus dan lapar, sebab kalau hanya itu maka tentu semua yang berpuasa bisa memperolehnya. Padahal dalam riwayat al-Darimi (w. 255 H) maupun al-Nasa’i (w. 303 H) memberikan pesan kalau banyak dari orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali haus dan lapar. Berpijak dari sini, setiap muslim secara mendasar perlu memahami tahapan dalam berpuasa.
Pertama, memenuhi rukun dan wajib puasa. Rukun puasa terdiri dari niat, menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa. Sementara kewajiban puasa diperuntukkan bagi orang Islam yang berakal, baligh dan mampu melaksanakan puasa; yaitu tidak terhalang oleh kondisi tertentu seperti sakit, berlayar dan lainnya. bagian ini bila dilaksanakan maka puasa seseorang secara hukum telah sah. Kedua, berusaha melaksanakan sunnah-sunnah ketika sedang berpuasa misalnya sahur, menghidupkan bulan Ramadhan dengan beribadah, di aspek lainnya meninggalkan hal-hal yang buruk seperi mencaci, mengibah dan sebagainya. Menurut al-Auza’i (w. 157 H) ghibah dapat membatalkan puasa, bukan hanya menghilangkan pahala, tapi puasa bisa batal. Ketiga, melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh dengan berusaha agar tidak melakukan hal-hal; yang makruh apalagi haram dan selalu menghadirkan spirit puasa dalam aktivitas keseharian.
Ketika seseorang berpuasa dan mampu tidak berbuka meski memiliki kesempatan sebab orang lain tidak melihatnya, namun kesadarannya akan Allah swt mendorongnya untuk tetap berpuasa adalah bagian dari spirit puasa yang harus diimplementasikan dalam keseharian. Tidak berbuka karena meyakini Allah swt mengawasinya. Logika dan dorongan psikologinya saat bekerja, orang tersebut juga harusnya tidak menyakiti orang lain baik secara lisan; terang-terangan, maupun secara tersembunyi dan direncanakan. Konteks inilah yang tidak masuk dalam kategori panggilan al-Rayyan, sebab mereka yang diajak al-Rayyan setidaknya berusaha menahan -sesuai makna dasar puasa- untuk tidak menyakiti apalagi menzalimi sesama.
wa Allaâhu a‘lam bi al-shawaâb …
ilustrasi: