Tulisan kecil ini tidak bermaksud menjelaskan secara detail apa yang disebut dengan moderat, tetapi beberapa fenomena yang ada menjadi pendorong lahirnya tulisan ini.
Moderat sering disebut dengan mu’tadil dan atau mutawassith yang dapat diartikan berada di tengah. Keberadaannya di tengah menjadikannya seimbang.
Kata ini menjadi lawan dari Liberal maupun Radikal, karena keduanya tidak berada di tengah tetapi di pinggir (ujung), meski keberadaann Liberal dan Radikal berada di ujung namun ujung keduanya berbeda. Liberal biasa dianggap berada di ujung kiri sementara Radikal berada di ujung kanan, dan moderat berada di tengah; di antara keduanya.
Sering terdengar bahwa Islam adalah agama yang moderat termasuk Islam dengan ciri khas Indonesia adalah Islam Moderat.
Dalam keseharian terkadang terasa dan terlihat bahwa dalam memahami sumber Islam (secara khusus Al-Quran dan Hadis) kelompok Radikal melihat teks-teks agama : seperti tentang tuhan Allah swt, kerasulan Nabi Muhammad saw, jilbab, cadar, poligami, dan sebagainya merupakan sesuatu yang absolut tanpa pemahaman konteks teks tersebut. Sehingga terasa agama Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam terasa begitu kaku, jumud dan stagnan.
Sementara kelompok Liberal memahami teks-teks tersebut dan contoh-contoh di atas dengan menggunakan konteks yang bebas dan nampak terkadang sangat jauh antara konteks dengan teks-teks sumber Islam sehingga—meminjam kata Prof Mulyadhi Kartanegara— terasa akar-akar Islam seperti dicabut, hanya untuk mengejar label Islam adalah agama rahmat.
Belakangan kata-kata Islam moderat yang sering muncul terasa ruh moderat itu bukan berada di tengah tapi cenderung berada di ujung kiri (baca Liberal), identitas Islam Moderat seolah nama lain dari sebuah ruh pemahaman Liberal.
Perlu direnungkan benarkah Islam moderat yang sering didengung-dengungkan sebenarnya tak lain adalah pemahaman Liberal ataukah Islam moderat memiliki ciri tersendiri…?
Berpijak dari arti moderat (mu’tadil dan mutawassith) mestinya Islam moderat memiliki ciri tersendiri, walau diakui pembatasan antara “moderat” dengan “liberal” tidaklah mudah, karena sesungguhnya keduanya; baik moderat maupun liberal berpijak pada pemahaman konteks terhadap teks-teks sumber Islam.
Pemahaman terhadap teks-teks Qur’an, hadis bahkan ijtihad ulama memang sejak awal telah melahirkan multi interpertasi, hal ini karena selain sumber-sumber tersebut ada yang berstatus zhanniy baik wurud maupun dilalahnya seperti kebanyakan Hadis dan ijtihad, sementara al-Qur’an meski qathi al-wurud (mungkin ini juga berbeda dengan sebagian penganut liberal yang mengannggap bahwa al-Qur’an masih bahkan mungkin berstatus zhanniy al-wurud terkait penisbahan pada Allah ataukah Nabi saw) namun dilalahnya bisa zhanniy.
Mungkin barometer sementara Islam Moderat, yaitu pemahaman terhadap Usul al-ddin terbagi dua, pertama, dasar-dasar agama yang merupakan dasar utama seperti keesaan Allah, Islam agama yang paling benar dibanding agama lain bagi seorang muslim walau agama lain juga memiliki kebenaran (tentu pemeluk agama lain menyatakan merekalah yang paling benar), nubuwwah bahwa Nabi saw adalah Nabi bukan failosof, dan nubuwwah tersebut telah berakhir tidak seperti Ahmadiyyah atau Syi’ah Saba’iyyah atau Mulhid/athies(*) yang asalnya muslim dan tak percaya pada Allah, nubuwwah Muhammad saw dan hari akhir. Hari kiamat adalah pasti bukan dongeng.
Kedua, dasar-dasar agama yang merupakan cabang: percaya pada keesaan Allah adalah dasar utama, sementara percaya pada Allah memiliki sifat atau tidak, ini merupakan dasar yang cabang bukan yang utama. Nabi saw adalah Nabi terakhir yang mesti diimani oleh siapapun adalah dasar utama, sementara apakah pemeluk agama lain harus mengikuti Nabi saw ataukah tidak bukanlah dasar utama tetapi dasar cabang. Demikian pula hari akhir pasti ada, adalah dasar utama sementara apakah neraka dan surga adalah kekal merupakan dasar cabang.
Disebut dasar utama karena umat Islam dalam hal-hal tersebut tidak berbeda, baik dari Sunni, Mu’tazilah, Syi’ah dan lainnya kecuali yang benar-benar menyimpang seperti telah disebutkan.
Disebut dasar cabang karena hal-hal tersebut masih menjadi polemic, baik di antara sesama Sunni maupun antara Sunni dengan Mu’tazilah, Syi’ah dan lainnya.
Karena itu, ulama Sunni sejak awal menyebut penganut Mu’tazilah, Syi’ah dan lainnya sebagai ahl al-bida’ wa al-ahwa yang tetap sebagai Muslim.
Pembagian dasar utama Islam berpijak pada ayat-ayat yang sudah dipahami sama oleh aliran-aliran Islam seperti keesaan Allah tersebut, sementara dasar cabang Islam berpijak pada ayat yang multi interpertasi terutama Hadis, meski shahih tapi ahad yang belum sampai ketingkat yakin.
Dalam memahami syariat juga demikian, Islam Moderat dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman (pemahaman kontekstual dengan memelihara ruh syariat, bukan melepasnya sama sekali).
Sebagai contoh, khamar (apapun bentuknya) adalah haram, keharaman ini berlaku seterusnya dan tidak berubah menjadi halal hanya karena hal-hal sepele misalnya karena di kutub utara dan dan kutub selatan sangatlah dingin, sehingga keharaman khamar berubah menjadi halal. Jilbab adalah perintah Allah yang dipahami wajib bagi muslimah secara umum, namun batasan dan ukurannya menjadi hal-hal yang diperdebatkan.
(*) Mulhid berasal dari kata lahada-yalhadu seakar kata dengan lubang lahad. Karena posisi lubang lahad untuk si mayat miring atau menyimpang dari dari galian utama, orang Atheis dianggap menyimnag dari dasar utama semua agama. Dapat pula dinyatakan mulhid disebut demikian karena bagi ateis kubur adalah tempat terakhir, sebab tidak ada kehidupan setelah kematian bagi mereka.
Dalam Islam, tokoh yang sering disebut adalah Ibn Rawandiy (w. 298 H adalah tahun yang paling masyhur) telah menulis banyak buku, 20 di antaranya mengingkari atau menyatakan al-Quran memiliki kecacatan, nubuwwah berdasar pada mantera atau jimat. Di Indonesia terdapat diskusi atheis dalam Anda Bertanya Atheis Menjawab, pesertanya selain para Atheis juga Muslim, Kristen dan Budha dan umumnya mereka terdiri dari orang-orang eksak. Setidaknya sampai 2015 kelompok ini masih eksis terlibat diskusi.
Penulis : Ja’far Assagaf (Dosen IAIN Surakarta) | Kartasura, 03-06-2019