Demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR RI : menolak revisi UU KPK dan R-KUHP (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Ja’far Assagaf
(Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan; Mahasiswa 1995-1999)
Sejak pertengahan September 2019 ini kita menyaksikan ramainya demonstrasi yang terjadi di berbagai kota di Indonesia yang dimotori oleh mahasiswa, menuntut DPR bahkan Presiden untuk membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan, maupun RUU KUHP dan sebagainya.
Eskalasi demonstrasi demikian menjadi-jadi menyusul jatuhnya korban baik dari pihak mahasiswa maupun aparat keamanan. Bahkan, dua mahasiwa dari Universitas Halu Uleo (UHO), Kendari, tewas saat demonstrasi di kantor DPRD kota tersebut.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Ir. Joko Widodo selain menunda RUU KUHP dan sebagainya juga mempertimbangkan untuk mengelurakan PERPU untuk membatalkan UU KPK, menyusul setelah mendapat masukkan dari berbagai tokoh lintas agama yang diundang ke Istana Negara pada 26-09-2019.
Demonstrasi mahasiswa yang sejatinya membawa aspirasi masyarakat Indonesia mendapat tanggapan yang berbeda dari masyarakat sendiri. Tanggapan-tanggapan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga: pertama, mereka yang tak respek dengan gerakan mahasiswa yang konon ditunggangi pihak-pihak tertentu. Kelompok yang terdiri dari Jokower dan juga pejabat pemerintah ini secara umum terlihat di berita, medsos, perdebatan dan percakapan. Rata-rata mereka adalah pendukung Presiden Jokowi yang ‘fanatik’.
Mungkin bagi mereka apa yang sudah dilakukan oleh sang Presiden tidaklah keliru, bakan cenderung menyetujui UU KPK baru. Karena itu pihak ini selalu menganggap bahwa demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai kota tersebut sesungguhnya ditunggangi oleh pihak tertentu yang ingin menggagalkan pelantikan sang Presiden 20 Oktober 2019 nanti, menjadi Presiden di periode ke 2.
Kedua, mereka yang ikut serta bersama mahasiswa berdemonstrasi, namun selain memiliki tuntutan yang sama dengan teman-teman mahasiswa, kelompok ini juga menyebarkan opini bahwa Presiden Jokowi telah gagal dalam menjalankan tugasnya, sehingga mereka melihat bahwa Presiden harus diturunkan sebagaimana dimuat dalam berbagai media tentang pernyataan Permadi Politikus Gerindra dan orasi mujahid 212 pada demonstrasi 28-09-2019. Bila diamati, kelompok ini tentu tak lain adalah mereka yang mendukung Pak Prabowo dan Pak Sandi namun kalah dalam Pilpres, April 2019.
Ketiga, mahasiswa yang didukung oleh masyarakat Indonesia yang menuntut penggantian UU KPK dengan PERPU dan Pembatalan R-KUHP dan sebagainya. Mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi dipastikan dari bebagai elemen kampus dan juga dari beragam pemeluk agama, ras, suku dan daerah. Dapat dinyatakan bahwa kelompok ini bercampur antara pendukung Presiden Jokowi dan juga pendukung Pak Prabowo dalam PILPRES, April 2019.
Meski begitu, mereka tidaklah membawa atau mengusung isu politik selepas PILPRES, terlebih ketua BEM SI M Nurdiansyah menyatakan BEM SI tidak terlibat sediktpun dengan aksi kelompok mujahid 212.
Mencermati hal tersebut, terlihat kelompok pertama sebagai Jokower ‘murni’ mungkin sangat fanatik. Segala kritikan kepada sang Presiden dianggap sebagai perlawanan, pencemaran bahkan mungkin kelompok ini anti kritik. Padahal tak semua protes, kritik merupakan musuh bahkan sebaliknya menjadi hal yang bersifat membangun dan mensejahterakan masyarakat.
Karena kefanatikkan tersebut maka kerap kali demonstrasi mahasiswa belakangan ini dikait-kaitkan dengan pihak-pihak tertentu yang ingin merubah NKRI ke Negara khilafah. Meski mungkin terdapat kelompok yang bermain agar Negara menjadi chaos dan tercapai keinginan mereka tersebut, tetapi di pihak lain gerakan moral mahasiswa tersebut bukanlah hal yang mengada-ngada, karena tak mungkin semua mahaiswa yang berdemo adalah orang-orang bodoh atau tidak tahu apa yang mereka kerjakan seperti pernyataan Ketua BEM ITB dalam acara ILC (25/09/2019). Bahkan Yenny Wahid, seperti dilansir Kompas.Com (25/09/2019), meminta pemerintah (termasuk Jokower tentunya) agar tidak menyudutkan mahasiswa bahwa mereka ditunggangi atau ada motivasi politik tertentu di balik demonstarsi.
Sementara, kelompok kedua yang merupakan eks orang-orang kalah dalam pertarungan Pilpres April 2019 lalu, selalu menggiring kondisi kini seolah-olah sang Presiden sudah teramat sangat lalai dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, sehingga mereka selalu menggaungkan bahwa Presiden harus turun dari jabatannya.
Kelompok yang kalah dalam PILPRES tak sunyi dari isue-isue yang menggunakan agama dalam aksi-aksi mereka. Karena itu marilah kita kembali kepada narasi-narasi dalil agama yang biasa mereka gunakan, bahwa di balik itu apakah mereka menyadari bagaimana sikap Islam dan ulama panutan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dahulu terhadap seorang pemimpin, bahkan misalnya jika pemimpin itu zhalim? Bukankah tidak boleh memberontak pada pemimpin yang sah? Terlebih bila sang pemimpin masih shalat di tengah-tengah kaum Muslim sebagaimana dalam salah satu hadis riwayat Muslim.
Adapun kelompok mahasiswa, menurut penulis inilah kelompok yang membawa hati nurani dan perjuangan masyarakat mereka mengajukan tuntutan kepada sang Presiden dengan sangat jelas tanpa ada kata-kata menururnkan dari jabatannya. Meski sebagian dari mahasiswa memilih pak Jokowi di Pilpres 2019, namun pilihan tersebut tak membuat mereka buta, tuli dengan suara-suara rakyat.
Banyak mereka yang memilih pak Jokowi kemarin, berusaha mengkritisi kebijakannya atau menuntut perbaikan karena menginginkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Termasuk para tokoh yang dipanggil di Istana (Kamis, 26/9/2019) dalam kaitan ini, salah satu adalah Prof Quraish Shihab. Meski demikian, pakar Tafsir tersebut tentu tidak melarang anaknya untuk menarasikan kritikannya terhadap DPR dan juga Presiden terkait UU KPK dalam Catatan Najwa.
Mengenal subtansi kebenaran tidak akan menjadikan seseorang akan menutup hati, mata dan telinga terhadap suara masyarakat umum sebab kebenarn dikenal karena substansinya, bukan mengenalnya melalui orang atau tokoh seperti kata Imam Ali ra (w. 40 H).
Meski demikian, demonstrasi mahasiswa diharapkan oleh segenap rakyat Indonesia agar tidak menjadi anarkhis yang bertujuan memecah belah bangsa Indonesia, begitu pula kepada pihak keamanan agar senantiasa mengikuti SOP pengamanan sehingga tidak ada lagi tindakan represif terlebih memakan korban tambahan. Mahasiswa adalah anak-anak dan adik-adik kita, dan generasi muda penerus bangsa Indonesia tercinta.
Kartasura, 29/09/2019