EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
(Dosen UIN SUKA Yogyakarta dan Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu)
——————————————————–
Tak jarang ketika kita melihat seseorang melakukan perbuatan baik, kerap kali kita tertipu lantaran amalan tersebut merupakan perbuatan baik atau diwajibkan dan dianjurkan oleh agama. Tentu hal ini tidak sepenuhnya keliru mengingat salah satu riwayat hadis Nabi suci Muhammad saw mengungkapkan bahwa jika kita melihat orang yang terbiasa ke masjid maka kita dapat menyaksikan kalau orang itu termasuk kategori orang beriman (HR. Turmudzi) bahkan dalam QS: al-Taubah;18 menginformasikan tentang keimanan orang yang memakmurkan masjid-masjid (Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw, 37). Kedua nash tersebut dipahami dalam konteks agar kita tidak mudah berburuk sangka pada sesama saat melihat seseorang melakukan kebaikan, karena kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya menjadi niat dan motivasi dari orang itu saat melakukan amalan tersebut.
Niat dan motivasi seseorang yang melakukan kebaikan hanya Allahlah yang mengetahui, dan karena itu pelaku amal tidaklah berleha-leha sekedar melakukan kebaikan, namun sebuah amalan dengan niat yang kuat dan ikhlas hanya pada Allah swt menjadi kunci dari amalan tersebut diterima dengan kasih sayang Allah swt. Dalam riwayat Muslim, dinyatakan:
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
Artinya: “Sungguh Allah swt tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia selalu melihat pada hati (niat ikhlas) dan amalan kalian”. (Muslim, II,518)
Hadis ini menegaskan Allah swt tidak melihat semua bentuk lahir perbuatan seseorang, namun Allah menilai perbuatan orang tersebut yang dilandasi hati yang ikhlas (Jejak-Jejak Cahaya…, 4). Hadis ini sangat jelas menyatakan bahwa segala benda/materi yang menyertai amalan seseorang tidak bernilai apa-apa, wajah yang rupawan bahkan anggota tubuh seperti tangan, kaki, lidah dan sebagainya yang digunakan saat shalat, dan menolong, membantu serta menyelesaikan kesulitan orang lain, begitu pula harta yang dikeluarkan sebagai amalan kebaikan, tentu tak bernilai apa-apa jika tidak disertai niat yang ikhlas. Hadis ini menekankan tentang amalan baik yang dilakukan oleh anggota tubuh akan bernilai bila hati pelakunya ikhlas karena Allah swt. Amalan yang baik saja bisa tertolak kalau niatnya keliru maka bagaimana dengan amalan yang sudah jelas buruk dan jahat?
Niat secara bahasa meski berkonotasi maksud yang terbetik dalam hati seseorang, entah maksud tersebut baik maupun buruk, namun ulama seperti al-Munawiy (w. 1030 H) mengiring makna niat secara istilah yaitu mengumpulkan keinginan dari pelaku amal untuk beribadah dengan bentuk ibadah tertentu (Jejak-jejak Cahaya…, 6). Penekanan pada kata ibadah agar setiap Muslim menyadari kalau amalan yang mereka kerjakan tentu haruslah amalan yang baik (amalan yang diwajibkan, dianjurkan dan amalan yang boleh) yang didasari niat yang ikhlas, meski secara bahasa niat dapat berupa maksud untuk berbuat baik maupun buruk tetapi melalui makna istilah tersebut maka pintu-pintu semua keburukan, kejahatan ditutup sehingga yang tersisa adalah ibadah yang mestinya didasari niat yang ikhlas dari pelaku.
Dalam hadis populer tentang niat (riwayat Bukhari), niat diaplikasikan melalui contoh hijrah yang merujuk pada tekad untuk melakukan hijrah dengan berbagai niat; (1) mencari ridha Allah swt dan rasul-Nya; (2) mencari dunia atau wanita dan; (3) niat yang menggabungkan dari dua niat sebelumnya. Dari ketiga niat tersebut maka point (1) merupakan niat yang paling tinggi kualitasnya lalu poin (3) dan terakhir poin (2). Niat hanya pada Alla dan rasul-Nya biasanya dijalankan oleh orang-orang yang berkategori dekat dengan Allah (al-muqarrabin), orang yang baik (al-abrar) dan orang yang ikhlas (al-muklishin), sementara mereka yang berniat double; niat akhirat dan duniawi dalam melaksanakan sebuah kebaikan biasanya mereka berkategori orang-orang yang beriman (al-mu’minin), orang-orang yang baik (al-muhsinin) dan mereka yang melakukan sebuah kebaikan hanya karena kepentingan materi (benda) atau semata mata karena dunia maka mereka termasuk orang-orang yang tertipu (al-magrurin) dan merugi (al-khasirin).
Ilustrasi hadis tentang niat yang dikaitkan dengan hijrah merujuk adanya perubahan menuju kebaikan dengan tekad yang kuat hanya pada Allah swt dan rasul-Nya. Di sini adalah letak dari hakikat sebuah hijrah yaitu terjadi perubahan spiritual dari keburukan menuju kebaikan, kebaikan yang telah ada menjadi motivasi untuk meningkatkannya lagi, sehingga setiap hari terjadi perubahan ke arah yang selalu baik. Meski terkadang dalam konteks dan kondisi tertentu hijrah bersifat fisik tetap dibutuhkan seperti saat ditindas dan keselamatan jiwa, agama, keluarga, kehormatan bahkan harta terancam secara nyata, namun inti dari pada hijrah adalah merubah ke arah kebaikan yang diridhai Allah swt dan rasul-Nya seperti isyarat yang terdapat dalam kisah hijrah di hadis tentang niat.
Dari hadis niat yang dikaitkan dengan hijrah, dapat pula diambil pelajaran tentang capaian-capaian dari sebuah hasil yang baik biasanya dilalui dengan lika-liku, kesulitan, kesusahan dan aneka kegetiran seperti hijrah di masa Nabi suci saw yang mengancam nyawa secara langsung. Tetapi niat dan tekad bulat hanya pada Allah dan rasul-Nya maka aneka kesulitan tersebut akan dapat dilewati secara bertahap.
Wa Allahu a’lam bi al-Shawab…