EMBUN JUM’AT
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia bidang Pendidikan Agama dan Budaya, Sukoharjo, Jawa Tengah
Ucapan yang kerap kali terdengar saat memasuki bulan suci Ramadhan adalah marhaban ya Ramadhan. Marhaban dari kata رحب (dibaca rahiba/rahuba) berarti menjadi luas atau luasnya suatu tempat, dan kadang digunakan untuk mengungkap keluasan atau kelapangan dada (al-Ishfahaniy w. 503 H). Kata marhaban (مرحبا) dalam tradisi digunakan untuk menyambut orang yang baru saja datang berkunjung ke tempat kita, dengan penuh persahabatan dan kehangatan seperti dalam literatur hadis shahih tentang kedatangan utusan qabilah ‘Abd Qais (Ibn al-Atsir; Mubarak bin Muhammad w. 606 H) dari Bahrain pada tahun 5 H atau tahun sebelumnya. Adapun kata Ramadhan dari kata رمض (ramidha) artinya teriknya sengatan matahari. Agaknya bulan-bulan Ramadhan lebih banyak panas cuacanya, ketimbang dingin.
Dari aspek hukum, fuqaha berbeda pendapat tentang menyebut Ramadhan tanpa embel-embel (tambahan) seperti bulan Ramadhan. Al-Nawawi (676 H/1233 M) menyatakan terdapat tiga pendapat: (1) melarang menyebut Ramadhan tanpa didahului bulan, karena Ramadhan merupakan nama dari nama-nama Allah swt, namun mereka berdalil dengan hadis lemah menurut al-Baihaqiy (w. 458 H) dan ulama hadis lainnya; (2); tidak mengapa menyebutkan Ramadhan asalkan ada sebelumnya kata-kata yang mengarah kesitu, misalnya kami berpuasa Ramadhan. Agaknya dalil yang digunakan kelompok kedua ini sama dengan kelompok pertama; (3) tidak mengapa menyebut Ramadhan seperti Marhaban ya Ramadhan, Ramadhan karim, tanpa didahului oleh kata bulan Ramadhan atau kata apapun. Pendapat kelompok ketiga dikawaki oleh al-Bukhari (w. 256 H) dan ulama peneliti (muhaqqiq), dan inilah pendapat yang benar (al-Nawawi, vol IV, juz VII), sebab dalam beberapa riwayat hadis shahih disebutkan Ramadhan tanpa didahului dengan kata bulan (syahr) atau sejenisnya.
Baik kata marhaban maupun Ramadhan di atas memberikan makna tentang sambutan yang diberikan buat kedatangan Ramadhan berisi kesungguhan menyambut bulan suci tersebut. Ibarat seseorang sedang mempersiapkan menyambut tamu agung, maka pasti akan terlihat sangat istimewa karena dia akan mengeluarkan hal-hal yang terbaik dari miliknya untuk tamu yang akan berkunjung ke tempatnya. Menyambut Ramadhan dengan lapang dada yaitu menerimanya melalui berpuasa secara ikhlas, bukan saja tidak makan dan minum serta menahan hal-hal lain yang membatalkan puasa, namun menjadikan Ramadhan sebagai ladang amal pahala dengan peduli sosial, saling bantu membantu dalam kebaikan karena di dalamnya terdapat aneka keutamaan termasuk pahala yang berlipat ganda (HR. Bukhari), dan ketika Ramadhan meninggalkannya, orang itu akan dibersihkan dari dosa dan kesalahannya ibarat panasnya terik matahari yang membakar ilalang, maka Ramadhan akan membakar, membersihakan dosa-dosa tersebut.
Salah satu keutamaan Ramadhan yang didambakan oleh kaum Muslim adalah pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dibelenggu syaithan dan tipu daya Jin serta beberapa hal lainnya dalam riwayat al-Turmudzi. Al-Faqih Ibn al-‘Arabiy al-Malikiy (w. 543 H) menyatakan dalam ‘Aridhah al-Ahwadziy bahwa hadis tersebut memuat beberapa hal, di antaranya: pertama, hadis itu juga memiliki redaksi dibukanya pintu-pintu Rahmat yang dapat memiliki dua makna: (1) Surga merupakan salah satu rahmat Allah swt. Dalam riwayat disebutkan bahwa Allah swt berfirman pada Surga: “engkau adalah rahmatKU, kasihilah melaluimu siapa yang engkau inginkan” (HR Bukhari); (2) kehendak Allah swt memberi ni‘mat, pahala kepada hamba-Nya dan ini adalah sifat Allah swt (baca: pengasih dan penyayang). Sifat surga dan sifat Allah swt bertemu pada sama-sama mengasihi pihak lain, memberikan faedah agar setiap Muslim mengasihi siapapun, karena Tuhan mereka (Allah swt) sumber kasih sayang bahkan tempat yang mereka tuju; Surga, diperoleh dengan kasih sayang, maka keliru mereka yang berkehendak memasuki Surga namun menempuh cara dengan merusak apalagi menghancurkan seperti bom bunuh diri di tempat ibadah umat agama lain.
Kedua, masih terdapat fenomena kalau orang berpuasa namun tetap berbuat dosa, maka hadis tentang syaithan dibelenggu dapat dipahami dengan: (1) yang dibelenggu adalah syaithan dan jin yang berdaya menipu; menjadikan orang berbuat zhalim inilah yang dibelenggu dan selebihnya tidak; (2) maksiat terjadi karena bisikan syaithan, sementara di bulan puasa mereka dibelenggu, maka yang tersisa adalah syahwat manusia dan tujuan-tujuan yang buruk dari manusia itu sendiri, itulah yang menggiring manusia tetap berbuat maksiat meski di bulan Ramadhan. Bukankah al-Qur’an juga menyatakan kalau yang membuat was-was (bisikan) bukan hanya dari komunitas jin/syaithan tetapi juga manusia ? (QS: al-Nas; 6) bahkan sebagian manusia yang jahat dan buruk disebut syaithan (QS: al-An‘am; 112).
Ketiga, di setiap malam bulan Ramadhan Allah swt membebaskan atau memilih orang-orang yang bebas (عتقاء) dari api neraka. Di malam hari setelah shalat tarawih dan witir di masjid, mushalla dan surau-surau di Indonesia ditemukan kata ‘utaqa tersebut yang dibaca oleh imam dalam lantunan doa-doa mereka. Kasih sayang Allah swt semakin berlimpah di bulan suci tersebut maka diperkenankan orang-orang bebas dari api neraka, dan ini hanya terjadi secara berkesinambungan di bulan Ramadhan.
Dalam hadis popular yang lain (HR. Bukhari dan selainnya) dinyatakan: “siapapun yang bepuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka diampuni dosanya yang telah lalu” dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak Allah swt akan diampuni. Pemahaman hadis ini juga memberikan makna yang mendalam tentang hubungan iman dan perhitungan atau kesiap-siagaan berbuat kebaikan memperoleh ampunan Allah swt. Tentu melalui sikap siaga itu, mereka yang berpuasa selain berjaga-jaga di malam-malam bulan suci, juga akan mendatangkan kesadaran akan dosa-dosa dan kesalahannya. Kesadaran ini akan mengantar mereka memperoleh ampunan melalui rahmat Allah swt, dan di akhir Ramadhan mereka akan keluar sebagai orang-orang yang bebas dari neraka, mereka yang kembali pada fitrahnya seperti awal ia diciptakan oleh Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
wa Allahu a‘lam bi al-shawaab…